Seputar Tentang Sunnah

A.    PENDAHULUAN
        Di dalam Agama Islam terdapat dua sumber hukum pokok yaitu Al Quran dan Hadits. Al Quran berasal dari Allah SWT. Sedangkan Hadits berasal dari Rasulullah SAW. Hadits sama dengan Sunnah yaitu semua yang berasal dari Nabi SAW. Baik berupa perkatan, perbuatan maupun ketetapan beliau.
        Sunnah atau Hadits adalah sumber hukum kedua setelah Al quran. Jika umat islam mengalami perbedaan pendapat tentang sesuatu yang tidak dijelaskan secara jelas dalam Al Quran maka mereka harus kembali ke Sunnah atau hadits.
        Di dalam islam terdapat banyak istilah yang berkaitan dengan kehidupan Nabi SAW. Diantaranya hadits, sunnah, khabar, dan atsar. Istilah-istilah tersebut mempunyai persamaan dan perbedaan yang setiap ulama’ mempunyai definisi sendiri sesuai dengan ilmu yang dipelajarinya. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas “Seputar tentang sunnah”



B. SUNNAH
Pengertian sunnah
    Sunnah secara bahasa adalah  الطريقة المسلوكةcara yang ditempuh, baik terpuji maupun tidak.[1]
Secara istilah definisi sunnah ada bermacam-macam antara lain sebagai berikut. 
Menurut Dr. Yusuf Musa, seorang guru besar di Cairo University dalam bukunya sebagai berikut.
السنة ما صدر عن الرسول من قول اوفعل او تقرير
“Sunnah ialah apa yang keluar dari Rasul, baik berupa perkataan, atau perbuatan ataupun taqrirnya.”
    Menurut Ibn Kamal yaitu :
السنة مانقل عن النبي ص م فعلا كان او قولا
“Sunnah ialah sesuatu yang dinukil dari Nabi SAW. Baik berupa perbuatan ataupun  sabdanya.”
        Menurut Dr. Taufiq dalam kitabnya        دين الله في كتب انبيائئه
“Sunnah ialah suatu jalan yang dilakukan oleh Nabi secara kontinu dan diikuti oleh para sahabatnya.”
        Menurut Imam Asy-Syatibi
“Sunnah menjadi lawan dari bid’ah, dikatakan fulan di atas As sunnah bila ia berbuat sesuai dengan ajaran Nabi SAW. Fulan di atas kebid’ahan bila perbuatannya bersebrangan dengan ajaran beliau.” (Al Muwafaqat, asy Syatibi jilid 4, hal 4)
        Menurut Syaikhul Ibn Taimiyah
“Sunnah itu adalah syari’at, yakni apa-apa yang disyari’atkan Allah SWT. Dan rasul-Nya SAW. Dari agama (ini).” (Majmu’ Fataawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, jilid 4, hal 436).
        Menurut ulama’ Syafi’i
“Sunnah ialah suatu yang dipahalai orang yang mengerjakannya, tidak disiksa orang yang meninggalkannya.”
Menurut ulama’ Hanafi
“Sunnah ialah suatu yang disunnahkan nabi SAW. Atau para khalifah serta dikekalkan mengerjakannya.”
        Dari uraian di atas, sunnah meliputi:
a.    Perkataan Nabi SAW.
b.    Perbuatan Nabi SAW.
c.    Ketetapan Nabi SAW.
Macam-macam sunnah
    Sunnah dibagi menjadi tiga, yaitu:
1.    Sunnah qauliyah, yaitu perkataan yang disandarkan kepada Nabi SAW.
2.    Sunnah fi’liyah, yaitu perbuatan yang disandarkan kepada Nabi SAW.
3.    Sunnah taqririyah, yaitu sikap diam Nabi SAW. terhadap apa yang dilakukan oleh sahabat.
4.    Sunnah Hammiyah, yaitu kehendak Nabi SAW. untuk melakukan suatu perbuatan tapi belum sampai beliau laksanakan.

Kedudukan sunnah
    Sunnah adalah sumber hukum yang kedua setelah Al Quran. Sunnah menjelaskan apa saja yang telah dijelaskan di dalam al quran secara lebih rinci. Umat islam dianjurkan untuk kembali merujuk kepada sunnah bila terjadi perselisihan dalam mengambil keputusan tentang suatu masalah. Nabi SAW. Bersabda : riwayat ibn Abbas yang dinilai sahih oleh Al Hakim serta disepakati Adz Dzahabi
قدتركت فيكم ما ان اعتصمتم به  فلن تضلوا أبدا:كتاب الله وسنة نبيه  (رواه الحاكم )
“Telah aku tinggalkan untuk kalian yang apabila kalian berpegang teguh kepadanya, kalian tidak akan tersesat, yaitu kitabullah(Al quran) dan sunnah Nabi-Nya”
Selain itu Al Quran juga menjelaskan bahwa kita diperintahkan oleh Allah untuk taat kepada Rasul-Nya sebagaimana menaati Allah sendiri baik terhadap larangan-larangannya maupun perintah-perintahnya. Firman Allah SWT.
ومااتاكم الرسول فخذوه ومانها كم عنه فانتهوا
Artinya:“Apa-apa yang telah diberikan Rasul terimalah, dan apa-apa yang dilarang oleh Rasul maka jauhilah.” [2]
Pentingnya mempelajari sunnah
            Sebagai umat islam Sunnah sangat penting untuk dipelajari. Untuk mempelajarinya para sahabat membagi ilmu-ilmu tentang sunnah, diantaranya ilmu syarhul hadits, fiqh sunnah, ulumul hadits. Dan pebahasan khusus tentang sunnah. Hal ini dibag lagi antara lain pengetahuan tentang sanad-sanad, yang kemudian bercabang pada ilmu jarh wa ta’dil, ataupun tentang sambung dan terputusnya sanad.[3]

 Permasalahan dalam sunnah
            Para ulama’ hadits maupun imam madzhab memiliki perbedaan antara satu dengan yang lainnya mengenai sunnah tetapi sebenarnya pada intinya sama sunnah itu disandarkan kepada Rasulullah SAW. baik qauli, fi’li, maupun taqriri.

C. KHABAR
Pengertian khabar
            Menurut  bahasa khabar diartikan berita النباء jamaknya أخبار. Menurut istilah
ماجاءعن النبي صلي الله عليه وسلم وغيره من اصحا به اوالتابعين او تابع التابعين اومن دونهم

  “Sesuatu yang datang dari Nabi SAW. Dan dari yang lain seperti dari para sahabat, tabi’in dan pengikut tabi’in atau orang-orang setelahnya.” 
Mayoritas ulama’ memandang bahwa khabar datang tidak hanya dari Nabi SAW. Tetapi juga dari yang lain, termasuk berita-berita umat dahulu, para nabi, dan lain-lain.
Macam-macam khabar
Dilihat dari segi penyandarannya. Khabar dibagi menjadi :
a.    Khabar marfu’, ialah khabar yang disandarkan kepada Rasul SAW.
b.    Khabar mauquf ,ialah khabar yang disandarkan kepada sahabat.
c.    Khabar maqthu’, ialah khabar yang disandarkan kepada tabiin atau generasi setelahnya.
Dilihat dari banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan, khabar dibagi menjadi :
a.    Khabar mutawatir
خبرجمع محسوس يمتنع تواطئهم على الكذب من حيث كثرتهم  
“Mutawatir adalah khabar yang diriwayatkan oleh orang banyak tentang sesuatu yang dipercaya oleh panca indranya yang menurut adat mereka tidak mungkin berbuat dusta disebabkan banyaknya jumlah mereka.[4] ” 
Khabar mutawatir dibagi menjadi dua :
1.    Mutawatir lafdhi, ialah khabar yang lafadz dan maknanya mutawatir.
2.    Mutawatir ma’nawi, ialah khabar yang maknanya mutawatir namun lafadznya tidak.
b.    Khabar ahad
        Khabar ahad ialah perawi-perawinya tidak mencapai syarat-syarat perawi khabar mutawatir. Dengan kata lain khabar ahad ialah selain khabar mutawatir.[5]
Syarat-syarat diterimanya khabar
             Syarat-syarat seorang mukhbir (orang yang meyampaikan khabar) antara lain islam, baligh, berakal, adil dan dlabith.

Khabar yang disampaikan oleh seorang anak kecil yang jujur tidak diterima jika tidak ada seseorang yang baligh yang juga menyaksikannya.
Perbedaan antara hadits dengan khabar
        Hadits berasal dari nabi SAW, sedangkan khabar berasal dari Nabi SAW. dan selainnya. Khabar lebih umum dari hadits, bisa dikatakan bahwa setiap hadits adalah khabar dan tidak sebaliknya khabar tidak mesti hadits. Hadits meliputi qauli, fi’li, dan taqriri sedangkan khabar meliputi qauli dan fi’li saja.
Isi khabar
            Khabar sama dengan hadits. Khabar berisi ketentuan hukum syariat, baik bagi muslim sebagai individu maupun muslim secara kolektif, walaupun dengan pola pemberitahuan bukan pola perintah insya’. Redaksi insya’ mencakup makna perintah, larangan, dan doa (permohonan dari yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi dan kata lain yang semakna.
    Isti’adzah adalah redaksi khabar, tatapi maknanya insya’ karena mengindikasikan adanya perintah Allah SWT. Untuk memohon pelindungan dari sesuatu yang dianggap tidak baik. Contoh :
أعوذ بكلمات الله التامات من شر ماخلق
“aku memohon perlindungan dengan kalimat-kalimat dari Allah SWT. yang  sempurna dari keburukan sesuatu yang Dia ciptakan”[6]
  D.    HADITS
Pengertian hadits:
A.    Secara bahasa (Lughot)
    Ditinjau dari segi bahasa lafadz الحديث  berasal dari fiil madhi حدث dan fiil mudhori’يحدث yang memiliki empat makna, yaitu : Af’al (perbuatan), akhbar/aqwal (cerita atau perkataan atau kabar), jadid (baru), dan terakhir qarib (dekat).[7]  Maksudnya yang qadim sebagai Kitab Allah, sedangkan “yang baru” yaitu apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.
    Selain itu hadits juga bisa diartikan Qarib (dekat) , atau yang belum lama terjadi seperti dalam perkataan haditsul ahdi bil islam artinya orang yang baru memeluk agama islam.[8]
B.    Secara istilah
Secara istilah hadits mempunyai beberapa pengertian, diantaranya:
    Menurut al-Sakhâwiy, hadis adalah:
ما أضيف إلى النبي صلى الله عليه و سلم قولا أو فعلا أو تقريرا أو صفة حتى الحركات و السكنات في اليقظة و المنام
    “Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw. Baik berupa Perkataan, perbuatan, persetujuan dan sifat sampai gerak dan diam dalam terjaga dan tidur yang disandarkan kepada Nabi Saw.”
    Menurut Ibn Hajar, yang dimaksud dengan hadis dalam pengertian syar’iy adalah:
ما يضاف فيه إلى النبي صلى الله عليه و سلم
“Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw.”

اَلْحَدِيْثُ مَا جَاءَ عَنِ النَّبِيِّ صَلىَّ الله عَلَيُهِ وَسَلَّمَ , سَوَاءً كَانَ قَوْلاً اَوْ فِعْلاً اَوْ تَقْرِيْرًا اَوْ صِفَةً
“Hadits adalah apa-apa yang datang dari Nabi Saw., baik yang berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, ataupun sifat.[9]

Kemudian menurut Ulama Ahli hadits berbeda-beda pendapatnya dalam menta’rifkan Al-hadits. Perbedaan itu disebabkan oleh terbatas dan luasnya peninjauan mereka masing-masing. Dari perbedaan itu melahirkan dua macam ta’rif, yakni yang terbatas dan ta’rif yang luas. Ta’rif yang terbatas sebagaimana dikemukakan oleh jumhurul muhadditsin, ialah;
مَا أُضِيْفَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوْلاً أَوْ فِعْلاً أَوْ تَقْرِيرًا أَوْ نَحْوَهَا
“ Ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammmad Saw. Baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan yang sebagainya.”[10]
Sementara ta’rif Al-hadits yang luas, sebagaimana yang dikemukakan oleh sebagian Muhadditsin, tidak hanya mencakup sesuatu yang dimarfu’kan kepada Nabi Saw. saja, tetapi juga perkataan, perbuatan, dan taqrir yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’iy pun juga disebut hadits. Dengan demikian al-hadits menurut ta’rif ini, meliputi segala berita yang marfu’, mauquf, dan maqthu’.
أَقْوَالًهُ ص.م. وَ أَفْعَالُهُ وَتَقَارِيْرُهُ مِمَّايَتَعَلَّقُ بِهِ حُكْمٌ بِنَا
Bahwa hadits adalah ”Segala perkataan, segala perbuatan, dan segala taqrir Nabi yang bersangkutan dengan hukum”jadi tidak termasuk hadits sesuatu yang tidak bersangkut paut dengan hukum seperti urusan pakaian dan sebagainya.
Unsur pokok hadits
    Hadits dari Nabi Muhammad saw. unsur-unsur seperti pemberita, materi berita dan sandaran berita, satu sama lain tidak dapat ditinggalkan . Para muhaditsin menciptakan istilah-istilah untuk unsur-unsur itu dengan nama sanad, matan, dan rawi.
1.    Sanad
    Kata sanad  menurut bahasa adalah “sandaran” atau sesuatu yang kita jadikan sandaran .sedangkan menurut istilah sanad adalah
 الإِخْبَرُ عَنْ طَرِيقِ الْمَتَنِ
  "berita tentang jalan matan"

 Yang lain menyebutkan
سِلْسِلَةُ الرُّوَاةِ الَّذِيْنَ نَقَلُوْ الْمَتْنَ عَنْ مَصْدَرهل الأَوَّنِ
“Silsilah para perawi yang menukilkan hadits dari sumbernya yang pertama.”[11]
    Kata-kata yang berkaitan dengan sanad diantaranya isnad, musnid, dan musnad. kata-kata tersebut secara terminologis sebenarnya mempunyai arti yang cukup luas sebagaimana yang telah dikembangkan oleh para ulama
 Isnad menurut bahasa berarti menyandarkan,sedang menurut istilah isnad mempunyai arti menerangkan sanad hadits atau menyandarkan hadits kepada orang yang mengatakannya (raf’u hadits ila qailih)
Musnid adalah orang yang menerangkan hadits dengan menyandarkan sanadnya sedangkan musnad menpunyai beberapa pengertian. Musnad bisa berarti hadits yang disandarkan atau diisnadkan oleh seorang  bisa juga berarti suatu kitahb yang menghimpun hadits hadits dengan sistem penyususnan berdasarkan nama-nama sahabat para perawi hadits seperti kitab musnad Ahmad, bisa juga berarti hadits yang marfu’ dan muttashil[12]  
2.    Matan
     Kata matan atau al-matnu menurut bahasa berarti ma’irtafa'a min al-ardhi (tanah yang meninggi) sedang menurut istilah adalah:
مَا يَنْتَهِى إِلَيْهِ السَّنَدُ مِنَ الْكَلاَمِ
“suatu kalimat tempat berakhirnya sanad” [13]
Atau dengan redaksi lain:
اَلْفَاظُ الحَدِيُثُ الَّتِى تَتَقَوَّمُ بِهَا مَعَانِيُهِ
“lafadz-lafadz yang didalamnya mengandung makna-makna tertentu”[14]

Dari semua pengertian diatas menunjukkan bahwa yang dimaksud matan adalah materi(isi), atau lafadz hadits itu sendiri.
3.    Rawi
    Kata “rawi” atau “al-rawi” berarti orang yang meriwayatkan atau memberitakan hadits (    naqil al-hadits). Lebih tepatnya rawi adalah orang yang menyampaikan atau menulis dalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya oleh seseorang(guru)
Rawi pertama ialah shahaby dan yang terakhir ialah yang membukukannya seperti Imam bukhory dan yang lainnya yang merupakan perawi terakhir bagi kita.
Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an
    Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber pokok ajaran Islam dan merupakan rujukan umat Islam dalam memahami syariat. Pada tahun 1958 salah seorang sarjana barat yang telah mengadakan penelitian dan penyelidikan secara ilmiah tentang Al-Qur’an mengatan bahwa : “Pokok-pokok ajaran Al-Qur’an begitu dinamis serta langgeng abadi, sehingga tidak ada di dunia ini suatu kitab suci yang lebih dari 12 abad lamanya, tetapi murni dalam teksnya” .[15] Diantara fungsi hadits terhadap Al-qur’an diantaranya meliputi:
    a.    Bayan At-taqrir
    Yaitu menetapkan atau memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam Al-Qur’an. Fungsi hadits ini hanya memperkokoh kandungan Al-Qur’an. Suatu contoh hadits yang diriwayatkan Muslim danIbnu Umar
فَإِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوا.
“Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah itu maka berbukalah”(HR. Muslim)
Hadits ini men-taqrir  ayat Al-Qur’an yang berbunyi
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَفَلْيَصُمْهُ
“Makabarang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa”(QS. Al-Baqarah:185)
    b.    Bayan al-Tafsir
    Yaitu Hadits berfungsi untuk memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih bersifat global(Mujmal). Memberikan persyaratan/batasan (taqyid) ayat al-Qur’an yang masih bersifat mutlak, dan mengkhususkan (Taqkhsis) terhadap ayat Al-Qur’an yang masih bersifat umum.
        Contohnya:
صَلُّو كَمَا رَأيْتُمُنِي اُصَلِّي
        “ Shalatlah engkau sebagaimana Aku Shalat”. (HR. Muslim)
        Hadits ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam Al-Qur’an tidak menjelaskan secara rinci. Salah satu ayat yang mmerintahkan shalat adalah:
وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَاَتُوا الزَّكاَةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِين
“Dan Kerjakanlah Shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.”(QS. Al-Baqarah:43)
c.    Bayan at Tasyri’
    Maksudnya yaitu mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam Al-Qur’an, atau dalam l-Qur’an hanya pokok-pokoknya (ashl) saja. Contohnya:
اَنَّ رَسُولُ الله ص.م. فَرَضَ زَكَاَةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنَ المُسْلِمِينَ
“Bahwasanya Rasul Saw. Telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan Muslim”.(HR. Muslim)
Kewajiban Umat Islam tehadap hadits
    Perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. Menjadi suri tauladan bagi umat manusia. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa beliau diutus untuk menyempurnakan Akhlaq dan budi pekerti manusia. Kebiasaan-kebiasaan kaum muslimin pada masa sahabat adalah mengambil hukum-hukuim syariat Islam dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasululloh SAW. Begitu pula dengan Amirul Mu’minin sampai para wali maupun pejabat-pejabat pemerintah lainnya.
    Kaum muslim sepakat bahwa Hadits merupakan hukum yang kedua setelah Al-Qur’an. Hal ini berdasarkan kepada kesimpulan yang diperoleh dari dalil-dalil yang memberi petunjuk tentang kedudukan dan fungsi Hadits. Maka dengan demikian kewajiban umat Islam Hadits harus dijadikan hukum (hujjah) dalam melaksanakan perintah Al-Qur’an yang masih bersifat Ijma dan Hadits sebagai penjelas untuk melaksanakannya. Melaksanakan apa yang dicontohkan oleh Rasululloh SAW berarti mentaati perintah-perintah Alloh.
Alloh SWT berfirman :
 مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
“Barang siapa yang mentaati Rosul, maka sesugguhnya dan telah mentaati Alloh”. (QS. An-Nisa : 80)

Dalam ayat lain Alloh berfirman :
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”. (QS. Al-Hasyr : 7)
    Dari penjelasan kedua ayat di atas jelaslah bahwa umat Islam harus menjadikan Hadits dan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
D.    ATSAR
Pengertian atsar
    Kata al-Atsar (الأثر) adalah salah satu kata bahasa Arab. Jamaknya adalah آثار (âtsâr). Secara bahasa kata الأثر berarti: بقية الشيء (bekas sesuatu)[16]
Sedang secara istilah ada beberapa versi, diantaranya:
Menurut Al-Nawawiy, Al-Atsar adalah:
المروي مطلقا سواء كان عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أو عن الصحابي
“Sesuatu yang diriwayatkan secara muthlaq baik yang berasal dari Rasûlullah Saw atau dari shahaby.”

اَلأَثَرُ مَا جَاءَ عَنْ غَيُرِ النَّبِيِّ ص.م. مِنْ الصَّحابَةِ أَوْ التَّابِعِيْنَ أَوْ تَابِعْ التَّابِعِيْنَ أَوْ مِنْ دُوْنَهُم
“Atsar adalah segala yang datang dari selain Nabi Saw., yaitu dari shabat, tabi’in, atau generasi setelah mereka.”[17]
Menurut ahli fiqh Khurasân, antara lain Abû al-Qâsim al-Fawrâniy, sebagaimana dikutip oleh al-Khasyû’iy al-Khasyû’iy Muhammad al-Khasyu’iy, al-atsar adalah:
ما يروى عن الصحابي
“Sesuatu yang diriwayatkan dari Shahaby”
Pendapat Ulama’ mengenai Atsar
    Yang kami maksudkan dan kami titik beratkan disini adalah mengenai perbedaan pendapat tentang apakah atsar itu sama dengan hadits atau berbeda, disini ada beberapa pendapat ulama’ tentang masalah tersebut.
    a.    Jumhur ulama sepakat bahwa atsar mempunyai persamaan arti dengan khabar yaitu sesuatu yang disandarkan kepada nabi.[18]
    b.    Para Fuqoha memakai perkataan atsar untuk perkataan-perkataan ulama salaf, sahabat, tabi’in. Ada juga yang mengatakan atsar itu lebih ‘am (umum) daripada khabar. Atsar dihubungkan kepada yang datang

dari Nabi dan selainya, sedangkan khabar dihubungkan kepada yang dating dari Nabi saja.[19]
    c.    Imam Al-Nawawi menerangkan bahwa fuqoha khurasan menamai perkataan-perkataan sahabat (hadits mauquf) dengan atsar, dan menamai hadits Nabi dengan Khabar. Tetapi para Muhadditsinumumnya, menamai hadits Nabi dan perkataan sahabat dengan atsar juga. Dan setengah ulama’ memakai pula kata atsar untuk perkataan-perkataan tabi’in saja.
    d.    Az Zarkasyi memakai kata atsar untuk hadits mauquf. Namun membolehkan  memakainya untuk perkataan Rasul Saw.
    e.    At Thahawy memakai kata atsar untuk yang datang dari Nabi dan sahabat. Ada sebuah kitab beliau bernama Mu’anil Atsar. Di dalamnya beliau terangkan hadits-hadits yang datang dari Nabi dan yang datang dari sahabat. [20]
    f.    Para Ahli hadits memandang atsar searti dengan khabar, sunnah, dan hadits. Bila orang mengatakan: Atsartu al-hadits, itu berarti: aku meriwayatkan  hadits. Tidak ada alasan mengkhususkan atsar hanya untuk apa yang disandarkan kepada sahabat (mauquf) dan tabi’in (maqthu’). Sebab, yang mauquf dan  yang maqthu’ itupun riwayat, seperti halnya yang disandarkan kepada Nabi Saw. (marfu’). Hanya saja, yang mauquf dinisbatkan kepada sahabat, maqthu’ kepada tabi’in, dan marfu’ kepada Nabi Saw.[21]

E. PENUTUP
    Dari uraian diatas bisa disimpulkan perbedaan Hadist dan sinonimnya.[22]
Hadits dan sinonimnya    Sandaran    Aspek dan spesifikasi                                          Sifatnya
Hadits                          Nabi SAW    Perkataan(qauli),perbuatan(fi’li),                        Lebih khusus dan

                                                         persetujuan(taqrir)                                      sekalipun dilakukan sekali
Sunnah                        Nabi SAW.    Perbuatan (fi’li)                                                   Menjadi tradisi

                                dan para sahabat
Khabar                       Nabi SAW.    Perkataan(qauli), perbuatan(fi’li)                            Lebih umum

                                  dan selainya
Atsar                          Sahabat dan    Perkataan(qauli), perbuatan(fi’li)                               Umum

                                      Tabiin

    Khabar dan atsar sebenarnya sama, bedanya terletak pada tahap penyampaiannya. 


DAFTAR PUSTAKA

Khon, Abdul Majid.Ulumul Hadits.Jakarta:AMZAH,2009.
Al Qardhawi, Yusuf. Pengantar Studi Hadits. Pustaka Setia, 2007.
Zuhdi, Masjfuk. Pengantar Ilmu Hadits. PT. Bina Ilmu, 1985.
 Rifa’I, Moh. Ushul Fiqh. Bandung: PT. Alma’arif, 1973.
Thohan, Muhammad.“Taisir Mushthalahul Hadits.”, (CD-ROM:MaktabahSyamilah).18-17
“Ilmu Mushthalah Hadits”
Rohman, abdur.Al Istabshar fii naqdil Akhbar . Vol. I
Syarhul Bahits al Hatsits fii Ikhtishari Ulumil Hadits. 
An-Najmi, Muhamad sodiq. Adho’u ‘alal shohihain
Ash -Shiddieqy, M. Hasbi. Sejarah Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: Pustaka Riski Putra, 1992
Salim, Amr Abdul Mun’im. Taysir Ulum Al-hadits lil Mubtadiin;Mudzakirat Ushul Al-hadits lil Mubtadiin
Rahman, Fatchur. Ikhtisar Musthalahu’l hadits. Bandung: PT Alma’arif,1974
Al-Atsaqalani, Ibnu Hajar. Fathul Baari syarah shahih bukhori. Riyadz: Maktabah Darussalam,1997, Vol 1
Nashif, Mansur ‘Ali. A-taju’I jami’. vol.III
Suparta, Munzier. Ilmu Hadis . Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2003
Ash-suyuti, Jalaluddin. Alfiyah ash-suyuti fii ‘ilmul hadits
AL-Suyuthi, Tadrib Al-Rawy fi syarh taqrib Al-Nawawi. Beirut:Dar Al-Fikr, 1998, Vol. I
As-Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995
Ibn Manzhûr, Muhammad ibn Mukarram. Lisân al-’Arab. Al-Qâhirah: Dâr al-Hadis, 2003


[1]Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadits (Surabaya:Bina Ilmu, 1975), 13.
[2]QS. Al Hasyr(24):7.
[3]Syarhul Bahits Fi Ikhtishari Ulumil Hadits,(t.tp.:al maktabah asy syamilah), 26.
[4]Moh. Rifa’I, Ushul Fiqh(Bandung:PT. Al Ma’arif, 1973),120.
[5]Ibid., 123.
[6]Yusuf Al Qardhawi, Pengantar Studi Hadis, terj. Agus Suyadi Raharusun dan Dede Rodin(Bandung:Pustaka Setia, 2007), 35.
[7]Syeikh Muhamad sodiq An-Najmi, Adho’u ‘alal shohihain, 35
[8]M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: Pustaka Riski Putra, 1992), 1.
[9]Amr Abdul Mun’im Salim, Taysir Ulum Al-hadits lil Mubtadiin;Mudzakirat Ushul Al-hadits lil Mubtadiin, 11.
[10]Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahu’l hadits (Bandung: PT Alma’arif,1974), 20.
[11]Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2003), 45
[12]Hadits marfu’dan hadits muttasil adalah dua istilah untuk hadis yang disandarkan kepada Nabi saw. Dan sanadnya bersambung
[13]Jalaluddin ash suyuti, Alfiyah ash-suyuti fii ‘ilmul hadits, 1
[14]Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2003), 47
[15]Ahmad Syauki, Lintasan Sejarah Al-Qur’an” (Bandung:CV Sulita Bandung, 1984), 33
[16]Ibn Manzhûr, Muhammad ibn Mukarram, Lisân al-’Arab (Al-Qâhirah: Dâr al-Hadis, 2003), 75
[17]Amr Abdul Mun’im Salim, Taysir Ulum Al-hadits lil Mubtadiin;Mudzakirat Ushul Al-hadits lil Mubtadiin, 11
[18]Ibid. 16
[19]M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: Pustaka Riski Putra, 1992), 15
[20]Ibid.
[21]Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), 21
[22] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits(Jakarta:AMZAH, 2007), 10.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment