KRITISISME



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Pada pembahasan yang lalu, telah menyebutkan dua aliran berbeda dalam kajiannaya tentang wujud (Being) dan pemahamannya tentang pengetahuan manusia.
  Aliran pertama adalah aliran Rasionalisme yang bertolak dari akal (rasio). Parafilsuf aliran ini berpendapat bahwa wujud hakiki adalah wujud yang kita rasionalisasikan. Mereka juga berpendapat bahwa sumber dari pengetahuan yang meyakinkan adalah akal, sedangkan pengetahuan persepsi (indrawi) tidak mencapai derajat pengetahuan yang meyakinkan.
 Aliran kedua adalah aliran Empirisme yang bertolak dari persepsi dan pengalaman Indra, baik mereka yang memperluas kawasan pengetahuan manusia sehingga menjadikan pengalaman indrawi dan keaktifan jiwa sebagai sumbernya, maupun mereka yang mempersempit kawasan pengetahuan itu, sehingga mereka membatasi hanya pada pengalaman indrawi saja sambil menganggap kerja jiwa sebagai reseptivitas negatif murni bagi berbagai persepsi.
 Kedua aliran itu berbeda dalam titik tolak pijakan, perbedaan kedua aliran ini semakin menajam pada abad ke-17 dan ke-18 . Kemudian datanglah madzab Kritisisme yang di usung oleh Immanuel Kant yang menggabungkan kedua aliran itu dan menggariskan satu filsafat yang menengahi  akal dan pengalaman inderawi. Filsafat ini tidak murni rasional dan juga tidak murni empirik, namun menggabungkan dari unsur-unsur kedua aliran. Akan tetapi mengapa filsafat ini di namakan filsafat kritisisme?
            Kritik adalah salah satu untuk memverifikasi berbagai pendapat dan membebaskan berbagai pemikiran dari keyakinan sebagai pemikiran-pemikiran yang ajeg (mantap tak berubah).

B.  Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian kritisisme ?
2.    Bagaimana ciri-ciri kritisisme ?
3.    Apa tujuan kritisme ?
4.    Bagaimana kritik menurut Immanuel Kant ?
C.   Tujuan
1.    Untuk mengetahui pengertian kritisisme.
2.    Untuk mengetahui ciri-ciri kritisisme.
3.    Untuk mengetahui tujuan kritisisme.
4.    Untuk mengetahui kritik menurut Immanuel Kant.















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Kritisisme
            Kritisisme berasal dari kata kritika yang artinya memeriksa dengan teliti, menguji, membeda-bedakan.[1] Isme yang berarti paham, ajaran atau kepercayaan. Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan rasio dan batas-batasnya. Filsafat kritisisme adalah faham yang mengkritik terhadap faham Rasionalisme dan faham Empirisme. Yang mana kedua faham tersebut berlawanan.
            Pelopor kritisisme adalah Immanuel Kant. Immanuel Kant (1724-1804) mengkritisi Rasionalisme dan Empirisme yang hanya mementingkan satu sisi dari dua unsur (akal dan pengalaman) dalam mencapai kebenaran. Menonjolkan satu unsur dengan mengabaikan yang lain hanya akan menghasilkan sesuatu yang berat sebelah. Kant jelas-jelas menolak cara berfikir seperti ini. Karena itu Kant menawarkan sebuah konsep “filsafat kritisisme” yang merupakan sintesis dari rasionalisme dan empirisme. Kata kritik secara harfiah berarti pemisahan.
            Filsafat Kant bermaksud membeda-bedakan antara pengenalan yang murni dan yang tak murni, yang tiada kepastiannya. Ia ingin membersihkan pengenalan dari keterkaitannya kepada segala penampakan yang bersifat sementara. Jadi filsafatnya dimaksudkan sebagai penyadaran atas kemampuan-kemampuan rasio secara objektif dan menentukan batas-batas kemampuannya, untuk memberi tempat kepada iman kepercayaan.
            Dengan filsafatnya, Kant bermaksud memugar sifat objektivitas dunia dan ilmu pengetahuan. Agar maksud itu terlaksana, orang harus menghindarkan diri dari sifat sepihak rasionalisme dan dari sifat sepihak empirisme. Rasionalisme mengira telah menemukan kunci bagi pembukaan realitas pada diri subjeknya., lepas dari segala pengalaman. Sedangkan empirisme mengira hanya dapat memperoleh pengenalan dari pengalaman saja. Ternyata bahwa empirisme sekalipun mulai dengan ajaran yang murni tentang pengalaman, tetapi melalui idealisme subjektif bermuara pada suatu skeptisisme yang radikal.
            Dengan kritisisme, Immanuel Kant mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar separuh, dan salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita. Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang dunia. Kant setuju dengan Hume bahwa kita tidak mengetahui secara pasti seperti apa dunia “itu sendiri” ( das ding na sich ), namun hanya dunia itu seperti tampak “bagiku”, atau “bagi semua orang”. Namun, menurut Kant ada dua unsur yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia. Yang pertama adalah kondisi-kondisi lahirlah ruang dan waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indera kita. Ruang dan waktu adalah cara pandang dan bukan atribut dari dunia fisik dimana hal itu merupakan materi pengetahuan. Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniah dalam manusia mengenai proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang tak terpatahkan.[2]
B.     Ciri-Ciri Kritisisme
Imanuel Kant menyebut tiga hal mengenai ciri-ciri kritisisme[3]:
1.      Menganggap bahwa obyek pengenalan itu berpusat pada subjek dan bukan pada obyek.
2.      Menegaskan keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk mengetahui realitas atau hakekat sesuatu. Rasio hanyalah mampu menjangkau gejalanya fenomenanya saja.
3.      Menjelaskan bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoeh atas perpaduan diantara perana unsur Anaximenes apriori yang berasal dari rasio serta berupa ruang dan waktu dan peranan unsur aposteriori yang berasal dari pengalaman berupa materi.

C.    Tujuan Filsafat Immanuel Kant
            Melalui filsafatnya, Kant bermaksud memberi pencerahan mengenai sifat objektivitas dunia ilmu pengetahuan.Supaya maksud dari Kant itu terlaksana,orang itu hendaknya menghindarkan diri dari sifat sepihak rasionalisme atau sifat sepihak empirisme.[4] Rasionalis menganggap bahwa pengetahuan berdasarkan dari diri sendiri (akal)/subjeknya, sedangkan empirisme menganggap pengetahuan berdasarkan dari pengalaman. Padahal jika difikir bahwa pengetahuan berdasarkan pengalaman, sekalipun itu murni sebenarnya hal itu tidak bisa terlepas dari rasio (akal) berfikir. Nah, di bagian bawah akan dibahas mengenai kritis terhadap rasio murni.
            Hume mengatakan bahwa, ada jurang yang memisahkan antara kebenaran rasio murni dengan realitas dalam dirinya sendiri.[5] Kant berpendapat bahwa syarat dasar bagi segala ilmu pengetahuan itu : [6]
a. Bersifat umum dan mutlak
b. Memberi pengetahuan yang baru
D.    Kritik Menurut Immanuel Kant
a. Riwayat Immanuel Kant
            Immanuel Kant lahir di kota Konigserg di Prusia dari keluarga miskin, tapi ia sangat saleh dan mulia. Kant belajar di sekolah teologia dan sangat menyenangi kajian-kajian alam dan astrologi, termasuk kajian filsafat.[7] Pemikiran dan tulisannya sangat penting dan membawa revolusi yang jangkauannya jauh dalam filsafat modern. Dia yang mempunyai problema:what can e know ? (apa yang dapat kita ketahui?) what is nature and what are the limits of human knowlwdge ? (apakah alam ini dan apakah batas-batas pengetahuan manusia itu?) sebagian besar hidupnya dia gunakan untuk mempelajari logika process of thaught (proses penalaran logis), the external world (dunia eksternal) dan the relity of things (realita segala wujud). Dan Kant juga menghasilkan karya-karya tulis yang bannyak.[8]
1.      Kritik Atas Rasio Murni
Kritisisme Kant dapat dianggap sebagai suatu usaha raksasa untuk mendamaikan rasionalisme dengan empirisme. Rasionalisme mementingkan dalam “akal”, sedangkan empirisme mementingkan dalam “indrawi”. Menurut Kant, baik rasionalisme dan empirisme keduanya saling berkaitan. Ia berusaha menjelaskan bahwa pengalaman manusia merupakan paduan antara pemikiran dan pengindraan.
·    Pada Taraf Indra
Menurut Kant, unsur pemikiran itu sudah terdapat pada indra. Ia berpendapat bahwa pengetahuan indrawi selalu ada dua bentuk yaitu ruang dan waktu.[9] Keduanya merupakan bentuk apriori sensibilitas yang berarti keduanya sudah berakar dalam struktur subjek. Kant berkata: memang ada das Ding an sich selalu tinggal suatu X yang tidak dikenal.[10] Yang dimaksud disini yaitu pemahaman yang lebih sederhana untuk mendeskripsikan sesuatu dengan kesadaran atau pengalaman. Misalnya batu itu bersifat keras. Kita mengetahui bahwa batu itu keras karena kita sadar dan mengetahuinya melalui alat indra yaitu kulit. Jika kita tidak mengetahui melalui kulit dan hanya dengan pemikiran, maka kita tidak akan mengetahui bahwa batu itu keras.
·    Pada Taraf Akal Budi
Tugas akal budi ialah menciptakan orde antara data-data indrawi. Akal budi menciptakan sesuatu yang timbul akibat alat indra. Pengenalan akal budi juga merupakan sintesa antara bentuk (rasionalisme) dengan materi (empirisme). Bentuk apriori ini dinamakan dengan istilah “kategori”. Menurut Kant ada 12 kategori, tetapi yang terpenting disini hanya dua kategori saja, yaitu substansi dan kausalitas.
Substansi bukan saja dasar atau landasan, melainkan seluruh “aku” yang berarti bahwa “aku”, manusia yang berada di bawah semua perbuatan dan perubahan. Dari hidup manusia terdapat fakta yang tetap dari dulu hingga sekarang yaitu kenyataan perjalanan hidup yang telah diatur oleh Tuhan. Kausalitas adalah hubungan antara suatu hubungan dengan hubungan yang lain. Kant berpendapat bahwa sebab dan akibat tidak diturunkan dari pengalaman, melainkan dari pemahaman murni. Contohnya jika orang menggunakan kacamata berwarna merah, maka ia melihat segala benda itu merah. Tentu tidak berarti bahwa semua benda itu merah. Keadaan tersebut disebabkan karena melalui pengalaman yang dilakukan serta faktor kacamata merah tersebut, benda yang dilihat menjadi merah.
·    Pada Taraf Rasio
Tugas rasio ialah menarik kesimpulan dari argumentasi-argumentasi. Kant memperlihatkan bahwa rasio membentuk argumentasi-argumentasi dengan dipimpin oleh tiga ide, yaitu bidang gejala-gejala psikis (jiwa), bidang kejadian-kejadian jasmani (dunia), dan bidang segala-galanya yang ada (Allah). Ketiganya saling berkaitan. Misalnya, meja asal mulanya dari pohon yang kemudian dijadikan meja oleh manusia. Pohon tumbuh di dunia, tetapi yang menciptakan pohon itu adalah Allah.
2.      Kritik Atas Rasio Praktis
Rasio praktis yaitu rasio yang memberi perintah kepada kehendak kita. Misalnya, bila kita meminjam barang orang lain, maka kita harus mengembalikannya. Kemudian Kant bertanya “bagaimana keharusan itu mungkin ? apakah yang memungkinkan keharusan itu ?”[11] Kalau kita harus, maka kita juga bisa. Kant beranggapan bahwa ada tiga postulat dari rasio praktis yaitu :[12] kebebasan kehendak, immoralitas jiwa, dan adanya Allah. Jadi, apa yang tidak dapat difikirkan melalui ilmu pengetahuan harus diandaikan atas rasio praktis.
3.      Kritik Atas Daya Pertimbangan
Sebagai konsekuensi dari kritik atas rasio umum dan kritik atas rasio praktis adalah munculnya dua lapangan yaitu lapangan keperluan mutlak di bidang alam dan lapangan kebebasan di bidang tingkah laku manusia. Hal ini terjadi dengan menggunakan konsep finalitas (tujuan).[13] Finalitas bisa bersifat subjektif dan objektif. Kalau finalitas bersifat subjektif, manusia mengarahkan objek pada diri manusia sendiri. Sedangkan finalitas bersifat objektif dimaksudkan keselarasan satu sama lain dari benda-benda alam.
Kant mempertegas bahwa rasio tidak mutlak dapat menemukan kebenaran, karena rasio tidak membuktikan. Demikian juga dengan pengalaman tidak bisa dijadikan tolak ukur karena tidak semua pengalaman nyata dan rasional, sebagaimana mimpi seakan-akan nyata tetapi tidak real.
Dengan pemahaman tersebut, rasionalisme dan empirisme seharusnya bergabung agar melahirkan suatu paradigma baru bahwa kebenaran empiris harus rasional, dan sebaliknya. Dengan demikian kemungkinan lahir aliran baru yaitu rasionalisme empiris.[14]

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kritisisme Immanuel Kant merupakan perpaduan antara dua pemikiran yaitu rasionalisme yang dipelopori oleh Rene Descartes dan empirisme yang dipelopori oleh David Hume. Kant mempertegas bahwa rasio tidak mutlak dapat menemukan kebenaran, karena rasio tidak membuktikan. Demikian pula pengalaman, tidak dapat dijadikan tolak ukur karena tidak smua pengalaman itu nyata.
Tiga karya Immanuel Kant yang sangat penting merupakan kritik atas rasio murni, kritik atas rasio praktis, dan kritik atas pertimbangan. Ketiga karya ilmiah ini sangat mempengaruhi mempengaruhi filosof sesudahnya, karena pemikiran kritisisme mengandung patokan-patokan berfikir yang rasional dan empiris. Artinya bahwa aliran kritisme menggunakan pemikiran serta indra dalam memperoleh pengalaman atau sesuatu yang baru.










DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Asmoro. Filsafat Umum. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013.
Hadi, Soedomo. Logika Filsafat Berfikir. Surakarta: Sebelas Maret University Press, 2006.
Hakim, Atang Abdul. Filsafat Umum dari Metologi Sampai Teofiologi. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Ismail, Fuad Farid, dkk. Cepat Menguasai Ilmu Filsafat. Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.
Praja, Juhaya S. Aliran-aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: Kencana, 2003.


[1] Soedomo Hadi, Logika Filsafat Berfikir, (Surakarta: Sebelas Maret University Press, 2006), hlm 103.
[2] https:ilmuwan9saja.wordpress.com/2012/12/12/kritisisme-Immanuel-Kant/
[3] Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, (Jakarta: Kencana, 2003), hlm. 114.
[4] Ibid., 116.
[5] Ibid., 116.
[6] Ibid., 116 .
[7] Fuad Farid Ismail, dkk, Cepat Menguasai Ilmu Filsafat, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), hlm. 96.
[8] Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, (Jakarta: Kencana, 2003) hlm. 115.
[9] Ibid., hlm. 117.
[10] Ibid., hlm. 118.
[11] Ibid., hal. 122.
[12] Ibid., hal. 122.
[13] Ibid., hlm. 123.
[14] Atang Abdul Hakim, Filsafat Umum dari Metologi Sampai Teofiologi, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 287.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment