MAKNA, DALIL, DAN PENERAPAN الأمور بمقاصدها



BAB I

PENDAHULUAN


A.   Latar Belakang

             Sebagai landasan aktivitas umat Islam sehari-hari dalam usaha memahami maksud-maksud ajaran Islam (maqasidusy Syari’ah) secara lebih menyeluruh, keberadaan Qawa’idul Fiqhiyyah menjadi suatu yang amat penting. Baik dimata para ahli usul (usuliyyun) maupun fuqaha, pemahaman terdahap qawa’idul fiqhiyyah adalah mutlak diperlukan untuk melakukan suatu “ijtihad” atau pembaharuan pemikiran dalam permasalahan-permasalahan kehidupan manusia. Manfaat keberadaan qawa’idul fiqhiyyah adalah untuk menyediakan panduan yang lebih praktis yang diturunkan dari nash asalnya yaitu al-Qur’an dan al-Hadits kepada masyarakat.
B.     Rumusan Masalah
Makalah  tentang “Khiyar” ini mencakup permasalahan sebagai berikut:
a.       Apa makna dari kaidah الأمور بمقاصدها ?
b.      Bagaimana dalil yang menjelaskan tentang الأمور بمقاصدها ?
c.       Bagaimanakah penerapan kaidah الأمور بمقاصدها ?

C.   Tujuan Penulisan Makalah

               Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliyah “Qawa;idul Fiqhiyyah” pada khususnya, serta untuk lebih mengetahui tentang “Makna, Dalil, Dan Penerapan الأمور بمقاصدها ” pada umumnya.

 


 




BAB II

PEMBAHASAN


A.    Makna Qa’idah
        Lafal al-umuru merupakan bentuk jama’ dari kata tunggal al-amru yang secara bahasa memiliki arti “perubahan” dan “tingkah”. الأمور بمقاصدها  adalah segala sesuatu yang tergantung tujuannya. Maksudnya adalah niat atau motif yang terkandung didalam seseorang saat melakukan perbuatan, menjadi kriteria yang dapat menentukan nilai dan status hukum amal perbuatan yang telah dilakukan, baik berhubungan dengan peribadatan ataupun adat-kebiasaan.[1] Intinya dalam qa’idah ini mencakup semua hal tentang niat.
          Kaidah ini memiliki arti bahwasanya setiap perbuatan yang dilakukan tergantung pada niat yang dimunculkan, artinya setiap niat yang terefleksikan dalam tindakan nyata, maka niat yang tidak terealisasikan dalam bentuk dlhohir maka tidak akan berimplikasi pada wujud syar’i.
Hukum perbuatan dikembalikan pada niat, apabila seseorang meningggalkan hal-hal yang dilarang demi melaksanakan perintah, maka dia diberi pahala atas perbuatannya., tapi apabila dia meninggalkan hal-hal yang dilarang tersebut hanya berdasarkan kebiasaan maka tidak ada pahala baginya, contoh:Allah melarang makan bangkai diselain keadaan darurat, berdasarkan firman Allah:
حرمت عليكم الميتة                                        
“ Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, “

Apabila seseoraang meninggalkan makan bangkai karena dia jijik, maka tidak ada pahala baginya, tapi apabila dia tidak makan bangkai karena ada larangan syara’ maka Allah memberi pahala baginya.

Makna niat
         Lafal niat merupakan bentuk masdar dari kata نوى, secara bahasa artinya “ bermaksud atas sesuatu”, seperti ucapan نويتsaya bermaksud/sengaja”. Secara terminologi fiqh, niat adalah “kesengajaan untuk melakukan ketaatan dan pendekatan kepada Allah dengan cara melakukan perbuatan atau dengan cara meninggalkannya”.[2]
Hal-hal Yang Berhubungan Dengan Niat
        Secara garis besar, hal-hal yang berhubungan dengan niat ada tujuh macam yaitu :
1. Subtansi niat
         Niat secara etimologi adalah kesengajaan atau tujuan, sedangkan menurut pengertian syariat adalah ketetapan hati untuk melaksakan sesuatu, sedangkan menurut istilah fuqoha’ niat adalah kesengajaan melakukan sesuatu yang bersamaan dengannya.

2. Status niat
        Fuqoha’ berbeda pendapat dalam menentukan status niat dalam ibadah, apakah ia merupakan syarat atau rukun? Adapun pendapat yang mengatakan niat itu termasuk rukun adalah pendapat yang dibuat pegangan.Ulama’ yang melihat dari sisi penyebutan niat harus dilakukan pada permulaan ibadah, akan menyimpulkan bahwa niat adalah rukun.Sementara mereka yang memandang bahwa niat harus tetap ada (tidak ada perbuatan yang bertentangan dan memutus niat), akan memberi status niat sebagai syarat.

3. Tempat niat
          Tempat niat adalah didalam hati, sehingga apabila ada sebuah niat yang diucapkan dengan lisan maka niat itu tidak sah. Dan apabila ada sebuah niat dilakukan pada dua tempat yaitu hati dan lisan maka yang dimenangkan adalah niat yang ada didalam hati.Misalkan seperti dalam sholat,.ketika seseorang sholat dhuhur, dan lisannya berniat sholat dhuhur dengan jama’ah sedangkan didalam hatinya tidak bt sholat jama’ah, maka seseorang itu tidak dihukumi sholat jama’ah.
Perbedaan ulama’tentang melafadzkan niat:
Madzhab Syafi’i: Sunnah
Madzhab Maliki: boleh, tetapi lebih utama ditinggal, bahkan sebagian pengikutnya yang lain menganggap bid’ah kecuali bagi orang-orang yang ragu-ragu, maka boleh melafadzkan niat untuk mengusir ragu-ragu.
Madzhab Hanbali.:bagi orang yang tidak mampu menghadirkan niat dalam hati atau ragu-ragu dalam niatnya, maka cukup baginya, niat pada lisan.
Madzhab Hanafi:sebagian mengatakan sunnah, dan sebagian yang lain mengatakan makruh.

4. Waktu pelaksanaan niat
             Pelaksanaan niat secara umum adalah pada awal ibadah.Hal ini didasarkan penelitian ulama’yang mengatakan bahwa huruf ba’ yang terdapat pada kata bi al niyyat mempunyai makna mushahabah (membersamakan). Hal ini memberikan sebuah pengertian bahwa niat merupakan bagian dari amal itu sendiri.Namun ada pengecualian dalam hal ini. Seperti pada ibadah puasa wajib.Pada awalnya, niat puasa wajib harus dilakukan pada awal pelaksanaannya;yaitu tepat pada saat muncul fajar shadiq. Namun karena melihat kenyataan bahwa sangat sulit mengetahui munculnya fajar shadiq, maka syari’at memberi kebijakan bahwa niat puasa dimajukan waktunya, yaitu sebelum waktu subuh tiba.
Dalam masalah waktu pelaksanaan niat ini, banyak ritual ibadah yang mempunyai dua permulaan , yaitu:
• Awal Haqiqi adalah permulaan suatu pekerjaan yang tidak didahului oleh apapun
• Awal Nisbi adalah permulaan yang masih didahului perkara lain
Contoh ibadah yang mempunyai dua awalan ini adalah tayamum, yang pertamakali harus dilakukan adalah niat yang bersamaan dengan memindah debu(awal haqiqi), juga harus niat berbarengan dengan awal mengusap debu dengan wajah (awal nisbi).

5. Hal-hal yang membatalkan niat
              Hal-hal yang membatalkan niat diantaranya:
a. Riddah atau Murtad; yaitu terputusnya agama islam seseorang, baik yang ditimbulkan dari i’tiqad (niat),ucapan atau perbuatan yang yang menyebabkannya kufur.
b. Berniat memutus atau tidak melanjutkan ibadah yang sedang dijalankan.
c. Niat mengganti atau memindah satu ibadah dengan ibadah yang lain
d. Ketidak mampuan orang yang berniat untuk melaksanakan ibadah yang diniati

6. Tata cara melakukan niat
          Dalam pelaksanaanya, niat adalah suatu yang kondisional tergantung pada manwi (objek yang di niati). Jika kita mengerjakan wudhu, maka yang kita niati adalah menghilangkan ‘penghalang’ sholat seperti hadats. Lain lagi dengan sholat; dalam sholat yang di niati adalah melakukan beberapa pekerjaan dan ucapan tertentu yang di mulai dengantakbir dan di akhiri dengan salam.
Tata cara berniat ketika dikaitkan dengan masalah shalat itu berbeda-beda tergantung status shalat yang dikerjakan. 
·         Apabila yang dilakukan berstatus Fardlah maka ada 3 hal yang harus terpenuhi yaitu : Qashdul fiil, Ta’yin dan niat fardlu 
·          Apabila berstatus sunnah baik yang disandarkan pada waktu-waktu dan sebab tertentu maka ada 2 hal yang harus terpenuhi diantaranya : Qashdul fiil dan Ta’yinApabila berstatus sunnah mutlak maka yang harus terpenuhi hanyalah Qashdul fiil 
7. Syarat-syarat niat
        Niat, seperti yang telah di paparkan di atas, pada dasarnya adalah ibadah yang tentunya mempunyai syarat-syarat tertentu.
Tanpa syarat-syarat itu, seorang tidak dapat di sebut berniat, Diantaranya:
a. Islam
b. Tamyiz (dapat membedakan baik dan buruk)
c. Mengetahui terhadap yang di niati (al-manwi)
d. Tidak adanya perkara yang menafikan niat
e. Adanya kemampuan terhadap yang diniati

8. Tujuan pelaksanaan niat
          Tujuan niat mempunyai posisi yang sangat penting bila dikaitkan dengan beragam aktifitas manusia, antara lain:
a. Untuk membedakan aktifitas yang berstatus ibadah dan adat, contoh: mandi besar untuk menghilangkan jinabat dan mandi untuk membersihkan badan.
b. Untuk membedakan tingkatan-tingkatan ibadah, contoh: puasa dan sholat adakalanya yang wajib dan yang sunnah.

Maka tidak disyaratkan niat dalam ibadah yang tidak serupa dengan kebiasaan, contoh : membaca al-qur’an dzikir dan adzan.

B.     Dalil Tentang Qa’idah
 Al-Qur’an
           Mengenai keharusan melakukan niat dalam beribadah, Allah SWT menyatakan dalam al-Qur’an surah al-Bayyinah [98] ayat 5:
وَمَا أُمِرُوْا الَّا لِيَعْبُدُوْا اللّه مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ
“Mereka (orang-orang kafir) tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah (beribadah) kepada Allah, seraya memurnikan ikhlas dalam beragama (beribadah)”.
      Al-Qurthubi menafsikan ayat in bahwa ikhlas yang termuat dalam lafadz mukhlisin, adalah perbuatan hati yang hanya dilakukan dalam rangka beribadah. Ikhlas sendiri adalah pekerjaan hati yang hanya bisa terwujud melalui perantara hati.

        Al-Hadits
      Hadits Nabi saw. Yang menjadi pondasi terbangunnya qa’idah ini adalah:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَات
“Sesungguhnya sahnya amal adalah tergantung pada niat”.
        Pada terapan awal pemahaman makna hadits ini, mungkin akan menimbulkan interpretasi bahwa ibadahtidak akan ada tanpa niat. Namun hadits ini tidak bisa dimaknai secara ssepintas, lantaran sebuah pekerjaan tidak lantas menjadi tiada dengan tanpa adanya niat. Karena jika hadits ini diterjemahkan seadanya; tanpa prroses penafsiran lebih dalam, maka akan mempunyai arti “sebuah perbuatan tidak akan ada dan wujud tanpa niat”. Padahal, tentu sangat banyak perbuatan yang bisa “ada” tanpa melalui niat.[3]



C.    Penerapan Qa’idah
      Dalam mengomentari hadits إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَات, Abu Ubaidah mengatakan, “tidak ditemukan dalam hadits-hadits Nabi sesuatu yang lebih mengakomodir dan lebih banyak faedahnya daripada hadits tentang niat”.[4]
Menurut Imam Baihaqi, hadits tersebut merupakan 1/3 ilmu, karena ibadah seseorang harus terdiri dari 3 unsur:[5]
1)      Bi qolbihi (dengan hatinya)
2)      Bi lisanihi (dengan lisannya)
3)      Bi jawahirihi (dengan anggota tubuhnya)
         Menurut Imam Mahdi, hadits tentang niat tersebut berada pada 30 bab ilmu. Sedangkan menurut Imam Syafi’i pada 70 bab ilmu. Diantaranya, yang ¼ masuk pada masalah ibadah, seperti masalah wudhu’, mandi wajib dan sunat, mengusap sepatu bot, tayammum, menghilangkan najis, memandikan mayit, wadah yang dilapisi emas, sholat dengan berbagai macamnya,mengeluarkan zakat, memakai perhiasan emas atau menyimpannya, sadaqah, dan ibadah lainnya yang dapat mendekatkan diri kepada Allah.[6]
         Selanjutnya problrm yang muncul dalam qa’idah ini yaitu bagaimanakah menyatukan dua niat atau dua tujuan dalam satu perbuatan. Disini ada beberapa pembagian;[7]
          Pertama, bersamaan dengan niat ibadah, seseorang juga niat untuk tujuan lain yang bukan ibadah. Misalnya, melakukan wudhu’ dengan niat menghilangkan hadas kecil dan mencari kesegaran. Menurut sebagian ulama, melakukan wudhu’ dengan dua niat semacam ini adalah tidak sah, karena menyatukan dua niat atau tujuan dalam satu perbuatan. Namun, menurut pendapat yang terkuat, wudhu’nya tetap sah, karena ras segar setelah melakukan berwudhu’ adalah konsekuensi alamiah yang bisa diperoleh, baik ia meniatinya atau tidak.
           Kedua, kebersamaan niat ibadah fardhu, seseorang juga niat untuk tujuan ibadah lain yang sunnah. Disini ada beberapa akibat;
1)      Tidak membatalkan keduanya (sunah dan fardhu), melainkan sama-sama sah.
    Contoh, melakukan haji pertama kali dengan niat untuk haji wajib dan umrah sunah, maka kedua niat tersebut bisa tercapai dan tidak membatalkan hajinya.
2)      Fardhunya yang sah, sedangkan sunahnya batal.
      Contoh, melakukan haji pertama kali dengan niat untuk haji wajib dan haji sunnah, maka yang sah adalah haji wajibnya saja, sekalipun ia niati sunah, haji pertama kali tetap menjadi haji wajib.
3)      Sunahnya yang sah, sedangkan fadhunya batal.
       Contoh, mengeluarkan harta lima dirham dengan diniati untuk zakat dan shadaqah sunah, maka yang sah adalah shadaqahnya saja.
4)      Kedua-duanya batal
        Contoh, melakukan shalat dengan diniati shalat fardhu dan shalat rawatib, maka tidak sah kedua-duanya.
         Ketiga, bersama dengan melakukan ibadah fardhu, ia niati pula untuk fardhu yang lain. Menurut Ibnu Subki, hal ini tidak sah kecuali dalam masalah haji dan umrah.
        Keempat, bersamaan ibadah sunah ia niati pula dengan sunah yang lain. Menurut Ibnu Qaffal, keduanya tidak sah, kecuali pada saat hari raya yang bertepatan dengan hari jum’at.


BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
      Dalam pembahasaan ini dapat disimpulkan bahwa kaidah الأمور بمقاصدها  memiliki arti bahwasanya setiap perbuatan yang dilakukan tergantung pada niat yang dimunculkan, artinya setiap niat yang terefleksikan dalam tindakan nyata, maka niat yang tidak terealisasikan dalam bentuk dlhohir maka tidak akan berimplikasi pada wujud syar’i.
       Dalil yang menjelaskan tentang qa’idah ini yaitu al-Qur’an surah al-Bayyinah [98] ayat 5:
وَمَا أُمِرُوْا الَّا لِيَعْبُدُوْا اللّه مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ
“Mereka (orang-orang kafir) tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah (beribadah) kepada Allah, seraya memurnikan ikhlas dalam beragama (beribadah)”.
Juga terdapat dalam      Hadits Nabi saw. Yang menjadi pondasi terbangunnya qa’idah ini adalah:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَات
“Sesungguhnya sahnya amal adalah tergantung pada niat”.
Menurut Imam Baihaqi, hadits tersebut merupakan 1/3 ilmu, karena ibadah seseorang harus terdiri dari 3 unsur:[8]
1)      Bi qolbihi (dengan hatinya)
2)      Bi lisanihi (dengan lisannya)
3)      Bi jawahirihi (dengan anggota tubuhnya)



B.   Saran

Kami menghasilkan sebuah makalah yang mungkin terjadi kesalahan baik dalam penulisanya atau hal lainya yang ada dalam makalah ini. Karena kami hanyalah seorang manusia biasa yang pasti ada kekurangan dan kelebihanya.Kami mengharapkan kritik dan saran untuk memperbaiki makalah. Mohon maaf apabila ada kesalahan dalam makalah kami, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin ya robbal ‘alamin.




DAFTAR PUSTAKA
   Zainy Al-Hasimy, Ma’shum, Pengantar Memahami Nadzom Faroidul Bahiyyah, (Jombang: Darul Hikmah, 2010), cet. ke-1.
   Toha Andiko, H., Ilmu Qawa’idul Fiqhiyyah, (Yogyakarta: Teras, 2001), cet. ke-1.
   Haq Abdul, Mubarok Ahmad, Ro’uf Agus, Formulasi Nalar Fiqh, (Surabaya: Khalista, 2006), cet. ke-2.
     Khusnan Manshur H.M. Yahya, Ulasan Nadzom Qawa’idul Fiqhiyyah Al-Faroidul Bahiyyah, (Jombang: Pustaka Al-Muhibbin,2011).


        [1] Ma’shum Zainy Al-Hasimy, Pengantar Memahami Nadzom Faroidul Bahiyyah, (Jombang: Darul Hikmah, 2010), cet. ke-1, hlm. 26.
        [2] H. Toha Andiko, Ilmu Qawa’idul Fiqhiyyah, (Yogyakarta: Teras, 2001), cet. ke-1, hlm. 36.
       [3] Abdul Haq, Ahmad Mubarok, Agus Ro’uf, Formulasi Nalar Fiqh, (Surabaya: Khalista, 2006), cet. ke-2, hlm. 92.
        [4] Toha Andiko, Ilmu Qawa’idul Fiqhiyyah, (Yogyakarta: Teras, 2011), cet. ke-1, hlm. 50.
        [5] H.M. Yahya Khusnan Manshur, Ulasan Nadzom Qawa’idul Fiqhiyyah Al-Faroidul Bahiyyah, (Jombang: Pustaka Al-Muhibbin,2011), hlm. 24.
        [6] Toha Andiko, Ilmu Qawa’idul Fiqhiyyah, (Yogyakarta: Teras, 2011), cet. ke-1, hlm. 51.
        [7] Ibid, 56.
        [8] H.M. Yahya Khusnan Manshur, Ulasan Nadzom Qawa’idul Fiqhiyyah Al-Faroidul Bahiyyah, (Jombang: Pustaka Al-Muhibbin,2011), hlm. 24.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment