اذا اجتمع أمران من جنس واحدٍ ولم يختلف مقصودهما دخل احدهما فى الاخر غالباً



1.      Pendahuluan
                        Jika dikaitkan dengan kaidah-kaidah ushulliyah yang merupakan     pedoman dalam menggali hukum islam yang berasal dari sumbernya,     Qur’an dan Hadits,kaidah fiqhiyyah merupakan kelanjutannya, yaitu    sebagai petunjuk operasional dalam peng-istimbath-an hukum islam.            Kaidah Fiqhiyah disebut juga sebaagai Kaidah Syar’iyyah.

Hal yang berhubungan dengan Fiqh sangat luas, mencakup berbagai hukum furu’. Karena luasnya, maka itu perlu ada kristalisasi berupa kaidah-           kaidah umum (kulli) yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi beberapa kelompok. Dan tiap-tiap kelompok itu merupakan kumpulan         dari masalah-masalah yang serupa. Hal ini akan memudahkan para mujtahid dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.
Kaidah Fiqih merupakan kaidah yang bersifat kulli yang dirumuskan           dari masalah fur'iyah. Daya berlakunya hanya bersifat aghlabi, yaitu berlaku        untuk sebagian furu' saja. Dengan demikian, dalam kaidah tersebut dimungkinkan masih ada beberapa masalah yang dikecualikan atau dengan kata lain, masalah-masalah furu' yang tidak diberi ketentuan hukumnya berdasarkan rumusan kaidah tersebut, maka ketentuan hukumnya adalah ditentukan secara khusus oleh dalil-dalil yang ada dalam sumber hukum Islam. Dan di dalam makalh ini akan kami jelaskan tentang kaedah fiqih kesembilan yaitu اذا اجتمع أمران من جنس واحدٍ ولم يختلف مقصودهما دخل احدهما فى الاخر غالباً




2.      Pembahasan

اذا اجتمع أمران من جنس واحدٍ ولم يختلف مقصودهما
دخل احدهما فى الاخر غالباً

“Ketika dua perkara sejenis berkumpul dan maksudnya tidak berlawanan, maka secara umum salah satunya akan masuk pada yang lain.”
           
            Seringkali aktifitas-aktifitas yang dilakukan manusia memiliki          persamaan ciri dan karakteristik dari sisi wujud (eksistensi) tujuan serta hukum yang terkandung di dalamnya. Sebagaimana mandi yang dikerjakan setelah terputusnya darah haid dengan mandi setelah berhentinya darah nifas, dimana keduanya merupakan kewajiban dengan pertalian karakteristik dan praktek yang serupa antara yang satu dengan yang lain, serta memiliki maksud yang selaras pula. Atau contoh lain, seperti mandi sunnah Hari Raya yang serupa bentuk dan maksudnya dengan mandi sunnah pada hari Jumat. Dalam hal ini antara satu dengan yang lain dapat tergabung menjadi satu (tadakhul). Sehingga ketika akan melakukan mandi untuk dua maksud di atas, maka yang dilakukan cukup sekali dan dengan satu niat saja.[1]
                        Namun hukum penggabubgan satu aktifitas dengan yang lain, ternyata tidak secara mutlak berlaku pada semua masalah. Dan yang terjadi adalah pemberlakuan secara mayoritas (akomodatif universal), layaknya kaidah aghlabiyah yang lain.[2]


3.      Klasifikasi tadakhul[3]
            Memandang tempat terjadinya, tadakhul terbagi menjadi tiga bagian,          diantaranya adalah :
            1. Tadakhul dalam ibadah
            2. Tadakhul dalam hak-hak Allah ('uqubat)
            3. Tadakhul dalam perusakan atau itlafat
           
1.      Tadakhul dalam Ibadah
                               Tadakhul di dalam kamus bahasa arab dapat diartikan :   (hal    saling   berjalinan, memasuki, overlapping).
       Dalam al-Mautsur, al-Zarkasyi menyatakan bahwa tadakhul yang masuk pada permasalahan ibadah wajib terbagi menjadi 2 bagian, yaitu : 1) dua ibadah wajib yang di dalamnya sama-sama terdapat tuntutan, namin maksudnya berbeda. maka tidak terjadi tadakhul, 2) dua ibadah wajib yang diperintahkan, namun memiliki maksud yang sama. bagian ini bisa digabungkan menjadi satu pekerjaan (tadakhul).
                        Bagian pertama dapat dicontohkan sebagaimana thawaf wada' dan thawaf ifadah yang memiliki tujuan sendiri-sendiri. Thawaf ifadah merupakan salah satu rukun haji yang dilakukan setelah melakukan berdiam atau wukuf di di 'Arafah. Sedangkan thawaf wada' adalah jenis thawaf yang wajib dilakukan karena hendak meninggalkan kota Mekkah. Dengan demikian thawaf iafadah ini tidak dapat dijadikan sebagai pengganti thawaf wada'. Esensi tujuan thawaf ifadah yang merupakan salah satu rukun haji ini, tidak dapat diganti dengan thawaf wada' yang bukan merupakan salah satu rukun haji. Oleh karena itu jika ada seseorang yang telah bermalam di Mina dan setelah itu hendak meninggalkan kota mekkah tanpa melakukan thawaf wada’, thawaf wada' yang telah ia lakukan setelah melakukan wukuf di Arafah tidak dapat menggantikan thawaf wada' yang juga wajib dilakukan sebagai tanda perpisahan dengan Masjidil Haram.
            Untuk bagian yang kedua dapat dicontohkan sebagaimana mandi karena telah mengeluarkan darah haid dan mandi karena mengeluarkan cairan sperma. Keduanya dapat digabungkan dalam satu kali pelaksanaan mandi. Dua ibadah ini adalah dua bentuk ibadah yang disyariatkan, namun karena mempunyai maksud yang sama yaitu sama-sama bertujuan menghilangkan hadas besar, maka dapat terjadi tadakhul.
                               Sebagai catatan tambahan, selain tadakhul dapat terjadi pada dua kewajiban seperti di atas, tadakhul juga masuk dalam praktek ibadah-ibadah sunnah. Dalam hal ini tadakhul terperinci menjadi dua bagian : pertama, jika ibadah sunnah masih termasuk jenis ibadah wajib yang dilakukan, maka ibadah sunnah dapat masuk di dalamaya. seperti shalat sunnat tahiyyat al-masjid yang dapat ber-tadakhul dalam shkat fardu. Dalam arti, dengan hanya melakukan shlat fardu saat kita masuk ke dalam masjid, shalat sunnat tahiyyat al-masjid yang berhukum sunnah sudah dianggap cukup. Karena shalat tahiyyat al-masjid termasuk dalam jenisnya shalat.
                               Dan jika tidak termasuk jenis ibadah yang dilaksanakan, maka tidak bisa masuk ke dalam ibadah yang dimaksud. Seperti orang yang masuk Masjidil Haram Mekah dan melaksanakan shalat berjama’ah yang kebetulan baru dilaksanakan, maka ia tidak mendapat keutamaan tahiyyat al-bait. Kkarena tahiyyat al-bait tidak termasuk dalam jenisnya ibadah (shalat) yang ia lakukan.
                   Sama dengan hal di atas (hukuman yang satu jenis) adalah beberapa kafarat dan beberapa pertanggunh jawaban terhadap barang yang dirusak (gharamat). Sebagai contoh apabila ada seseorang yang berulang kali melakukan hubungan intim pada siang hari bulan Ramadhan, maka kafarat yang dikenakan padanya cuma satu kali. Dan menurut keterangan yang diambil dari madzhab Hanbali, bahwa apabila terdapat banyak hal-hal yang menuntut terhadap kafarat, maka kafarat yang diwajibkan hanya satu. Hal ini agak berlainan dengan pendapat kebanyakan ulama yang mengatakan bahwa hal yang menuntut kafarat hanyalah hubungan intim yang pertama, dan bukan perbuatan yang dilakukan pada saat setelahnya.
2.      Tadakhul dalam ‘Uqubat
             Selain masuk dalm masalah ritual ibadah, tadakhul juga berhubungan dengan hukuman yang berkaitan dengan uqubat. Dalam hal ini nantinya akan terbagi menjadi dua : pertama adalah uqubat yang berhubungan dengan hak-hak Allah.[4] Jika terjadi uqubat dalam hak Allah yang berasal dari satu jenis, maka bisa masuk dalam bingkai tadakhul. Seperti seorang gadis (bikr)[5] atau perjaka yang berkali-kali melakukan zina, maka ia hanya dikenai hukuman had (deraan) satu kali. Begitu juga dalam permasalahan seseorang yang mencuri atau mabuk minuman keras berulang kali. Maka hukuman yang ditimpakan kepada mereka tidak berulang kali sebagaimana perbuatannya, akan tetapi hanay satu kali saja.
Senada dengan contoh di atas adalah tadakhul yang terjadi pada perempuan yang masih perawan berzina dan belum menjalani had, kemudian ia mengulangi mengulangi perbuatannya setalah ia berstatus janda, maka had hukuman zina pada saat ia masih berstatus perawan dicukupkan dengan had pada saat ia berstatus janda, sebagaimana yang dinyatakan dalam satu pendapat ulama yang lebih kuat (qawl ashah)
             Sebagai tambahan perbendaharaan kita, jika perbuatan yang dilakukan terdiri berbagai jenis, maka jumlah hukuman yang dikenakan sesuai dengan berbagi jenis pelanggaran yang dilakukan. Agar hukuman yang dikenakan dapat terlaksana secara keseluruhan, maka teknis pelaksanaan hukuman-hukuman itu adalah dengan cara mendahulukan hukuman tindak kriminal yang lebih ringan, kemudian lebih berta dan seterusnya.
             Dari macam ragam hukuman yang diberlakukan ini dilatarbelakangi oleh “jenis” pelanggaran yang berbeda, sehingga dalam kasus ini tidak terdapat proses tadakhul.
Kedua, ‘uqubat yang berhubungan dengan hak-hak adami. Diantaranya adalah hubungan seksual berulang-ulang yang terjadi pada pernikahan yang tidak memnuhi syarat nikah ditetapkan (nikah fasid), maka orang yang melakukannya diwajibkan membayar mahar satu kali saja.[6]
Demikian pula tindakan kriminal yang berhubungan dengan pembunuhan dan pencelakaan anggota tubuh. Dalam tindakan kriminal ini juga terdapat tadakhul, seperti halnya diyat pencelakaan anggota tubuh dan panca indra yang berakibat pada kematian, maka diyat yang berlaku hanyalah diyat pembunuhan.
3.      Tadakhul dalam itlafat (perusakan)
Tadakhul yang ketiga adalah tadakhul yang terjadi dalam permasalahan perusakan (itlafat). Sebagai contoh seorang yang melakukan haji qiran[7] yang membunuh hewan buruan di tanah haram. Hanya karena melakukan satu kali perbuatan ini ia telah dianggap melakukan dua pekerjaan haram yang dilakukan. Yaitu merusak nilai kesakralan haji dan umrah secara bersamaan. Namun karena di sini terjadi proses tadakhul, maka ia hanya diwajibkan membayar denda satu kali.
             ‘Izuddin bin Abdissalam membagi iabadah yang berkaitan dengan tadakhul dalam beberapa bagian. Hal-hal tersebut diantaranya “
1.      Haji dan umrah yang dapat dilaksanakan secara sekaligus dalam hal ini adalah haji qiran.
2.      Wudhu, yang cukup dilakukan satu kali, walaupun berasal dari sebab-sebab yang berbeda seperti menyentuh kemaluan, kentut, dan sebagainya. Atau sebab yang sama namun berulang kali, seperti menyentuh lawan jenis yang bukan mahram berulang kali.
3.      Mandi. Sama persis dengan wudhu, mandi juga hanya diwajibkan satu kali walaupun mempunyai sebab-sebab yang berbeda atau sebab yang berulang-ulang.
4.      Dua sujud sahwi yang cukup dilakukan satu kali walaupun kesunnahannya disebabkan oleh sebab yang bermacam-macam.
5.      Bermacam had yang sama (mutamatsilah) yang cukup dilakukan satu kali, namun dengan syarat antara sebab-sebab yang melatarbelakangi beberapa had yang sama tidak diselai had yang lain.[8]

4.      Hal-hal yang tidak terjadi tadakhul
             Hal-hal yang tidak terjadi tadakhul, dalam pandangan Izzudin adalah seperti halnya shalat, zakat, shadaqah, hutang (hak adami), haji dan umrah. Seperti contohnya seseorang yang melakukan satu shalat namun dengan tujuan untuk mmenuhi dua shalat dzuhur, maka shalatnya tidak sah.
             Sedangkan untuk contoh yang berhubungan dengan hak adami adalah kafarah karena melakukan hubungan badan pada saat puasa pada bulan Ramadan. Seseorang yang melakukan hubungan badan pada saat bulan Ramadan sebanyak misalkan 30 kali dalam 30 hari, maka ia diwajibkan untuk membayar kafarat sebanyak 30 kali karena dalam kafarat tidak terjadi proses tadakhul. Karena di sini terjadi pengulan ibadah yang di dalamnya terdapat hubungan badan (jinayah). Artinya karena di sini terjadi pengulangan ibadah maka juga akan mendorong pengulangan kafarat ketika terjadi hubungan badan di siang hari bulan Ramadhan.[9]

5.      Hal-hal yang dikhilafkan dalam tadakhul
             Hal-hal yang dikhilafkan dalam tadakhul diantaranya tadakhul macam-macam kafarah, wudhu yang dapat bertadakhul dalam mandi. Untuk kafarah berdasarkan pendapat yang terpilih tidaklah terjadi tadakhul, berbeda dengan Abu Hanifah ra, yang menyatakan ada tadakhul dalam kafarah. Dengan demikian dalam contoh orang yang melakukan hubungan badan berkali-kali dalam bulan Ramadhan, menurut Abu Hanifah hanya diwajibkan membayar satu kafarah, nberbeda dengan apa yang ada dalam madzhab syafi’i yang mewajibkan banyak kafarah sesuai dengan banyaknya hubungan badan yang dilakukan. Alasan yang mendasari dalam kafarah tidak terjadi tadakhul karena pada dasarnya pembanyakan jumlah adalah sudah keluar dari hukum asli. Artinya, hukum asal dalam fiqh adalah terjadinya pembanyakan hukum ketika sebab yang melatar belakangi juga bermacam-macam.[10]

6.      Kesimpulan
             Tema tadakhul yang kita bahas pada makalah ini sudah keluar dari hukum asal hukum fiqh. Artinya jika terjadi tadakhul pada hal-hal yang berkaitan dengan ritual ibadah, hak adami dan hak Allah, dan itlafat sebenarnya sudah keluar dari hukum asli.
      Kemasan tadakhul yang paling intens digalakkan dalam syari’at adalah tadakhul yang berhubungan dengan had, karena had sebenarnya adalah faktor yang paling berpeluang untuk ‘memusnahkan” populasi manusia.


Daftar Pustaka

Haq, Abdul. Formulasi Nalar Fiqh Telaah Kaidah Fiqh Konsteptual. (Surabaya : khalista. 2005).
Abd al-Salam, Izuddin. Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-An’am. ( Libanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah)
Syekh Abu al-Faydl Muhammad Yasin bin ‘Isa al-Fadani, Al Fawa’id al-Janiyyah, (Beirut : Dar al-Fikr, 1997)


[1] Syekh Abu al-Faydl Muhammad Yasin bin ‘Isa al-Fadani, Al Fawa’id al-Janiyyah, Beirut : Dar al-Fikr, Cet. I, 1997, h.429.
[2] Abdul Haq. Formulasi Nalar Fiqh Telaah Kaidah Fiqh Konsteptual. (Surabaya : khalista. 2005). Hal 107.
[3] Ibid, 108.
[4] Hak-hak Allah dalam bahasa fiqh adalah sesuatu yang mengandung kesejahteraan universal yang diperuntukkan bagi seluruh alam, tidak ditentukan hanya pada satu personal. Dengan sebab inilah hak kesajahteraan itu disandarkan kepada Allah. Karena di balik itu terdapat bencana yang sangat besar andaikan tidak dilaksanakan, dan andaikan dilaksanakan akan mendatangkan kemanfaatan besar. Kesimpulan akhirnya, kesejahteraan itu berarti dimiliki oleh sebuah komunitas. Kesejahteraan ini disyariatkan untuk maslaha yang universal bukan untuk maslahah yang individual. Sedangkan hak-hak Allah diklasifikasikan oleh Imam Zarkasyi, menjadi 3 bagian, yaitu : inadah murni, hukum pidana (uqubat) serta kafarat. Lihat keterangan selanjutnya Dr. Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-fiqh al-Islami, I/152 dan 299.  
[5] Yang dimaksud perawan dalam konteks ini adalah perempuan yang belum menikah, meskipun sudah melakukan zina berkali-kali. Demikian pula dengan perjaka yang belum menikah, walaupun [pernah melakukan zina berulang-ulang.
[6] Sebenarnya banyak perbedaan pendapat di antara ulama. Al-Muzani mewajibkan pembayaran mahar setiap kali melakukan hubungan seksual. Dan masih banyak pendapat lagi.
[7] Proses haji dan umrah yang dilakukan dalam waktu yang bersamaan.
[8] Izuddin Abd al-Salam, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-An’am, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, Libanon, Cet I, 1999, II/167.
[9] Ibid, hal 168.
[10] Ibid.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment