Madzab Tafsir Periode Kontemporer



I.                   Pendahuluan
Ilmu tafsir adalah suatu disiplin ilmu yang harus dikuasai dan diterapkan secara utuh oleh ulama tafsir agar tafsiran yang mereka hasilkan tidak menyimpang dari apa yang dimaksudkan oleh Yang Menurunkan pesan, yaitu Allah Yang Maha Tahu.
Namun, sampai abad ke 20 ini, ilmu tafsir masih dipahami dan dipelajari secara parsial. Sehingga antara satu sub bahasan dengan bahasan yang lain terkesan kurang berkaitan. Padahal semua pokok bahasan dalam ilmu tafsir itu merupakan satu kesatuan yang tak mungkin dipisahkan dari satu yang lain, kecuali hanya dipilah-pilah untuk memudahkan pembahasan.
Timbulnya berbagai penyimpangan dalam penafsiran dalam Al Qur’an antaralain disebabkan oleh pemahaman dan penerapan ilmu tafsir yang parsial itu. Dalam makalah ini, akan kami bahas tentang madzhab tafsir yang digunakan para mufassir Al Qur’an pada periode kontemporer.

II.                Pembahasan
1.      Pengertian madhhab tafsir kontemporer
Secara etimologis, istilah madha>hib al-tafsi>r  merupakan susunan id}a>fah yang terdiri dari dua kata yaitu madha>hib dan al-tafsi>r.[1] Kata madha>hib merupakan bentuk jamak (plural) dari kata madhhab. Dalam kamus Arabic-English, madhhab dapat berarti manner followed, adobted procedur or policy, road entered upon, opinion, belief, teaching, doctrine school. Madhhab juga bisa diartikan dengan aliran pemikiran, school of thought atau madrasah fikriyah, dalam bahasa Belanda disebiut dengan istilah richtungen.
Sedangkan secara terminologis, madhhab biasa didefinisikan sebagai hasil-hasil ijtihad atau pemikiran, penafsiran para ulama’ yang kemudian dikumpulkan dan dinisbatkan tokohnya, atau kecenderungannya atau masa periodesasinya. Dalam kajian ilmu sosial disebut dengan backward projection. Teori ini dipakai untuk menjelaskan eksistensi madhahab-madhhab yang berkembang dalam islam, bahwa suatu pendapat, aliran, madhhab menjadi mudah diterima oleh masyarakat, jika hal itu datang dan merujuk kepada tokoh-tokoh atau kelompok yang populer dimasyarakat.
Adapun al-tafsi>r secara etimologis adalah bentuk isim mas}dar (kata benda abstrak) dari fassara-yufassiru-tafsi>ran yang berarti pemahaman, penjelasan, dan perincian. Tafsir bisa juga berarti al-iba>nah (menjelaskan), al- kashf (menyingkapkan), dan al-idhha>r (menampakkan) makna atau pengertian yang tersembunyi.
Secara istilah al-tafsi>r diartikan sebagai suatu hasil pemahaman manusia (mufassir) terhadap al-Qur’an yang dilakukan dengan menggunakan metode atau pendekatan tertentu yang dipilih oleh seorang mufassir, dan dimaksudkan untuk memperjelas suatu makna teks ayat-ayat al-Qur’an.
Az-Zarkasyi menjelaskan secara sederhana makna tafsir adalah “Tafsir adalah ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Muhammad saw, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya.”[2]
            Jika al-Qur’an ditafsirkan dengan menggunakan pendekatan filsafat, maka akan melahirkan produk penafsiran yang bercorak filosofis. Jika al-Qur’an ditafsirkan dengan menggunakan pendekatan sufistik, maka akan menghasilkan tafsir yang kental dengan aroma sufistiknya. Dari berbagai kenyataan ini, akhirnya melahirkan suatu istilah yang dikenal dikalangan ulama’ yaitu istilah madha>hib al-tafsi>r (aliran-aliran tafsir atau madhhab-madhhab dalam penafsiran al-Qur’an).
Pengertian “kontemporer” biasanya dikaitkan dengan zaman yang berlangsung sekarang. Istilah kontemporer ini seringkali dipakai untuk menunjukkan periode yang tengah kita jalani sekarang, bukan periode yang telah berlalu. Dalam konteks perkembangan tafsir, istilah masa kontemporer terkait dengan situasi dan kondisi tafsir pada saat ini.[3]

2.      Karakteristik madhhab tafsir periode kontemporer
a.       Menjadikan Al Qur’an sebagai petunjuk
Menurut Muhammad Abduh, kitab-kitab tafsir pada masanya dan masa sebelumnya tidak lebih hanya sekedar pemaparan berbagai pendapat para ulama yang saling berbeda yang pada akhirnya menjauhkan dari tujuan Al Qur’an, dan menurutnya kebanyakan kitab-kitab tafsir cenderung menjadi semacam latihan praktis dibidang kebahasaan, bukan tafsir yang sesungguhnya, padahal tafsir Al Qur’an itu sendiri harus berfungsi menjadikan Al Qur’an sebagai sumber hidayah. Hal ini disebabkan karena penafsirannya hanya mengarahkan perhatian pada pengertian kata-kata saja, atau kedudukan kalimatnya dari segi i’rab dan penjelasan lain menyangkut segi-segi teknis kebahasaan yang dikandung oleh redaksi ayat-ayat Al Qur’an.
Dalam upaya mengembalikan Al Qur’an sebagai kitab petunjuk, para mufassir kontemporer tidak lagi memahami kitab suci sebagai wahyu yang “mati”, sebagaimana yang dipahami oleh para ulama tradisional, melainkan sebagai sesuatu yang “hidup”. Al Qur’an dipahami sebagai kitab suci yang kemunculannya tidak lepas dari konteks kesejarahan umat manusia. Al Qur’an bahkan tidak diwahyukan dalam ruang yang hampa budaya, melainkan justru hadir dalam zaman yang sarat budaya.[4]
b.      Mengungkap “Ruh” Al Qur’an
Berbeda dengan para mufassir tradisional, para mufassir kontemporer mencoba melihat apa yang berada di balik teks ayat-ayat Al Qur’an. Para mufassir tidak menerima begitu saja apa yang diungkapkan oleh ayat-ayat Al Qur’an secara literal, melainkan mencoba melihat lebih jauh apa yang ingin dituju oleh ungkapan literal ayat-ayat tersebut. Dengan demikian, yangingin dicari oleh para mufassir adalah “ruh” atau pesan moral Al Qur’an sendiri.[5]

3.      Pola dan pendekatan penafsiran masa kontemporer
Para mufassir tradisional kebanyakan cenderung melakukan penafsiran dengan memakai metode tahlili (analitis), sedang dalam masa kontemporer penafsiran banyak dilakukan dengan menggunakan metode ijmali (global), maudhu’i (tematis) atau penafsiran ayat-ayat tertentu tetapi dengan menggunakan pendekatan-pendekatan modern seperti semantik, analisis jender, semiotik, hermeunetika dan lain sebagainya.
Dari berbagai metode yang berkembang di masa kontemporer, maka metode maudhu’i[6] tampaknya merupakan yang paling banyak diminati oleh para mufassir kontemporer. Al Farmawi yang pertama mengemukakan langkah-langkah yang harus ditempuh dalam penafsiran dengan metode maudhu’i dalam bukunya al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i, diantaranya yakni :
1.    Menetapkan masalah yang akan dibahas.
2.    Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
3.    Menyusun runtutan ayat sesuai urutan pewahyuannya serta pemahaman tentang asbabun nuzulnya.
4.    Memahami kolerasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing.
5.    Menyusun pembahasan dalam kerangka sempurna.
6.    Melengkapi dengan hadith-hadith yang relevan.
7.    Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘amm dengan yang khas}, yang mut}lak dengan muqayyad atau yang secara lahiriah tampak bertentangan, sehingga dapat bertemu dalam satu muara.
Beberapa kelebihan dari metode muadhu’i ini adalah, pertama, metode maudhu’i mencoba memahami ayat-ayat Al Qur’an sebagai satu kesatuan, tidak secara parsial ayat per ayat sehingga memungkinkan untuk memperoleh pemahamanmengenai konsep Al Qur’an secara utuh, kedua, metode maudhu’i dapat bersifat praktis bisa langsung bermanfaat bagi masyarakat karena kita bisamemilih tema-tema tertentu untuk dikaji.
Pola lain yang berkembang dalm penafsiran kontemporer adalah yang belakangan dikembangkan oleh para mufassir-feminis. Dalam memahami ayat-ayat yang berkaitan dengan relasi laki-laki dan perempuan, para feminis ini tidak menggunakan pola tahlili atau maudhu’i, misalnya, melainkan dengan mengambil begitu saja ayat-ayat yang akan ditafsirkan. Untuk memperoleh penafsiran teks Al Qur’an yang berkeadilan gender yang memposisikan laki-laki dan perempuan sebagai makhluk yang setara. Menurut Engineer, ada beberapa alasan untuk menunjukkan bahwa posisi laki-laki dan perempuan dalam agama adalah setara. Pertama, Al Qur’an memberikan tempat yang sangat terhormat kepada seluruh manusia baik laki-laki maupun  perempuan. Kedua,  sebagai masalah norma, Al Qur’an membela prinsip-prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan. Dengan menggunakan metode dan analisis yang berbeda dengan para mufasssir klasik, para feminis berpandangan bahwa posisi laki-laki dan perempuan adalah setara.

4.      Metode penafsiran masa kontemporer
Pada masa kontemporer, metode penafsiran Al Qur’an yang berkembang sudah sangat beragam. Fazlur Rahman misalnya, menggagas apa yang disebutnya sebagai metode “Tafsir Kontekstual”. Menurutnya, ayat-ayat Al Qur’an tidak bisa dipahami secara literal (h}arfiah) begitu saja sebagaimana yang dipahami oleh para mufassir klasik. Bagi Rahman ayat-ayat Al Qur’an adalah pernyataan moral, religius dan sosial Tuhan untuk merespon apa yang terjadi di dalam masyarakat. Untuk menjawab berbagai problem kontemporer, dengan demikian, pertama-tama harus melihat apa yang dikatakan Al Qur’an mengenai problem tersebut dengan dua langkah. Pertama, memahami makna suatu pernyataan (ayat) dengan mengkaji situasi atau problem historis dimana pernyataan (ayat) tersebut merupakan jawabannya. Kedua, menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik  dan menyertakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral sosial umum. Setelah mengetahui apa yang menjadi “ideal moral” dari ayat itulah kita bisa menyeelesaikan problem kontemporer tersebut.[7]
            Hassan Hanafi mencoba mengembangkan apa yang oleh Muhammad Mansur sebut sebagai metode “Penafsiran Realis”. Disebut “realis” sebab yang menjadi pertimbangan untuk menafsirkan Al Qur’an adalah realitas itu sendiri, sehingga penafsiran yang dihasilkannya pun (seharusnya) lebih bersifat temporal yang belum tentu sesuai untuk diterapkan dalam realitas yang berlainan. Ini dimungkinkan karena tafsir harus “memihak”, yakni untuk melakukan perubahan sosial atau lingkungan yang dihadapi mufassir.
            Dalam rangka memperoleh pemaknaan yang aktual atas Al Qur’an, Arkoun menawarkan tiga pendekatan untuk memahami kitab suci umat Islam. Pertama, pendekatan linguistik (semiotik) yang dengannya teks dipahami secara komperehensif dan sebagai satu sistem dari hubungan-hubungan intern. Untuk mengatasi kekurangan pendekatan semiotik ini, Arkoun juga menawarkan penggunaan analisis antropologis[8] dan historis[9]. Untuk melengkapi analisis di atas, Arkoun menawarkan penggunaan analisis mitis[10].
            Lain lagi Nasr Hamid Abu Zaid, ia lebih mengedepankan pendekatan sastra dalam upaya memahami Al Qur’an, sebab oleh Nasr Hamid Abu Zaid, Al Qur’an dipahami sebagai suatu produk budaya yang tak lepas dari keberadaannya sebagai teks linguistik, teks historis dan teks manusiawi.
            Muhammad Sahrur, seorang mufassir kotemporer yang konvensional, dalam rangka memperoleh makna yang mendekati kebenaran, ia memilih menggunakan pendekatan semantik dengan analisis paradigmatis dan sintagmatis setelah melakukan teknik atau tartil “inter-tekstualitas”. Analisis paradigmatis yang dimaksud adalah suatu analisis pencarian dan pemahaman terhadap sebuah konsep (makna) suatu simbol (kata) dengan cara mengaitkannya dengan konsep-konsep dari simbol-simbol lain yang mendekati dan yang berlawanan.
            Mahmoud Muhammad Tha>ha, dalam rangka memperoleh pemahaman objektif terhadap Al Qur’an ia mengajukan apa yang disebutnya sebagai teori “evolusi syariah”. Teori ini membagi ayat-ayat Al Qur’an menjadi dua kategori : Makiyyah dan Madaniyyah. Menurut Thaha, ayat-ayat Makiyyah memiliki pesan-pesan universal yang menjadi tujuan sesungguhnya pewahyuan Al Qur’an. Sementara ayat-ayat Madaniyyah adalah ayat-ayat yang bersifat kasuistik yang hanya diwahyukan karena umat Islam dianggap oleh Tuhan belum mampu melaksanakan pesan-pesan ayat-ayat Makiyyah yang universal tersebut.  Thaha menegaskan bahwa saat inilah saat yang tepat untuk memberlakukan pesan ayat-ayat Makiyyah, sebab konteks temporalitas ayat-ayat Madaniyyah sudah tidak relevan. Kini dunia lebih menghargai pluralisme, HAM, toleransi, kesetaraan dan nilai-nilai lainnya, sementara ayat-ayat yang berbicara tentang nilai-nilai ini adalah termasuk kategori Makiyyah.

III.             Penutup
Kajian terhadap Al Qur’an dari berbagai segi, terutama segi penafsirannya selalu menunjukkkan perkembangan yang cukup signifiksn sejak diturunkannya Al Qur’an hingga sekarang ini. Munculnya berbagai penafsiran atasnya dan karya-karya tafsir yang sarat dengan berbagai metode pendekatan, merupakan bukti bahwa penafsiran Al Qur’an tidak pernah ada habisnya hingga saat ini. Penafsiran dengan berbagai metode dan corak yang dilakukan oleh para mufassir adalah dikarenakan proses dialektika teks yang terbatas dan konteks yang terbatas.
Jadi apa makna Islam yang sesungguhnya dan urusan apa saja yang terkait dengan masalah keagamaan? Hal itu seharusnya diupayakan dengan mempelajari pengalaman-pengalaman generasi awal belajar Al Qur’an dan Sunnah. Adapun akibat dari adanya pilihan madhhab menurut imam empat dan urusan yang disandarkan pada para ahli fikih mutakhir, yang terkait dengan masalah pembakuan dan dogmatisasi ajaran, tentu saja harus ditentang (ditolak) karena tidak sesuai dengan ajaran Islam yang benar dan tidak relevan dengan konteks kekinian kita.[11]  




















DAFTAR PUSTAKA

Goldziher, Ignaz Madzhab Tafsir Dari Aliran Klasik hingga Modern. Yogyakarta : elSAQ press. 2003.

Mustaqim, Abdul. Madzahibut Tafsir. Yogyakarta : Nun Pustaka Yogyakarta.2003.


[1] Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir, (Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2005), 1.
[2] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, 457.
[3] Abdul Mustaqim. Madzahibut Tafsir. (Yogyakarta : Nun Pustaka Yogyakarta.2003). hlm 91.
[4] Ibid. hlm 92-94.
[5] Ibid. hlm 96.
[6] Metode penafsiran maudhu’i adalah upaya untuk memahami ayat-ayat Al Qur’an dengan memfokuskan pada judul (tema) yang telah ditetapkan. Topik inilah yang menjadi ciri utama dari mettode maudhu’i.
[7] Lihat Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung : Pustaka, 1985), hlm 7.
[8] Pendekatan antropologis ini digunakan untuk mengetahui asal-usul dan fungsi bahasa keagamaan. Dengan cara ini akan bisa dikenali bagaimana bahasa sesungguhnya berfungsi menguak cara berpikir dan cara merasa yang sangat berperan dalam sejarah umat Islam.
[9] Analisis historis harus diarahkan untuk tidak hanya mengungkap fakta sejarah yang menyangkut nama tokoh, tempat dan semacamnya, namun harus mampu pula mengungkapkan mengenai cara persepsi waktu dan kenyataan, suatu jaringan komunikasi yang biasa dikenal sebagai  episteme.
[10] Dengan analisis mitis,  Arkoun melihat bahwa teks-teks keagamaan termasuk Al Qur’an lebih bersifat simbolis daripada denoratif.
[11] Ignaz Goldziher. Madzhab Tafsir Dari Aliran Klasik hingga Modern. (Yogyakarta : elSAQ press. 2003). Hlm 399.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment