Sistem Politik Pada Masa Khulafaur Rasyidin



1.       Pendahuluan
Meninggalnya nabi Muhammad menimbulkan kevakuman pemimpin yang hampir tidak mungkin digantikan oleh orang lain. Ia bukan hanya seorang pemimpin negara (sebagai pemimpin negara mungkin ada orang yang bisa menggantikannya), tetapi juga seorang nabi,pembuat undang-undang,guru spiritual dan pribadi yang mempunyai visi trasendental.[1] Sangat sulit menggantikan Muhammad dalam kualitas-kualitas tersebut.[2] Nabi Muhammad Saw tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat islam setelah beliu wafat.Beliau nampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya.  Karena itulah,tidak lama setelah beliau wafat, belum lagi jenazahnya dimakamkan,sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di balai kota Bani Sa’idah, Madinah. Mereka memusyawarahkan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup alot karena masing-masing pihak, baik Muhajirin maupun Anshar, sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam.


2.      Pengertian Khalifah
Di dalam bukunya Fiqih Siyasah, Mujar Ibnu Syarif memaparkan bahwa Khilafah adalah pemerintahan Islam yang tidak dibatasi oleh teritorial,sehingga kekhalifahan Islam meliputi berbagai suku dan bangsa.Pada intinya,khalifah merupakan kepemimpin umum yang mengurusi agama dan kenegaraan sebagai wakil dari nabi SAW.
Dalam bahasa Ibn Khaldun,kekhalifahan adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimun di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syari’at Islam dan memikul dakwah Islam ke seluruh dunia.[3]
Dalam Al Qur’an terdapat dua bentuk kata khalifah,yaitu dalam surat Al Baqarah:30 yang berarti : “ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
dan dalam surat shaad: 26 yang berarti; “ Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.
Menurut Watt,khalifah dalam pengertian yang dipakai sebagai gelar Abu Bakar serta  khulafaur rasyidin adalah bukanlah diambil dari ayat di atas,melainkan pengertian yang diambil dari pemakaian sehari-hari. Dalam bahasa arab,khalifah mempunyai makna dasar pengganti.[4]
Dalam bahasa Arab kuno,terjemahan lazim untuk khalifah adalah pembantu atau wakil pelaksana. Jadi makna ini menunjukkan kepada orang-orang yang diberi kekuasaan untuk  melaksanakan sesuatu. Dari kata dasar pengganti atau wakil atau pembantu inilah Khalifah Abu Bakar,Umar,Utsman serta Ali akhirnya menyandang gelar sebagai kalifah al Rasyidin yang berarti mendapat bimbingan yang benar,karena mereka melaksanakan tugas sebagai pengganti Nabi Muhammad menjadi kepala negara Madinah al Munawwaroh dan sebnagai pembantu rakyat dan wakil pelaksana mereka dalam mengelola negara.
Dalam pidato penganugerahan sebagai khalifah,mereka mengadakan kontrak sosial dengan masyarakat Islam,bahwa mereka akan bekerja sama dengan masyarakat yang dipimpinnya.[5] Dengan demikian para khalifah menggantikan kepemimpinan Muhammad dalam menduduki jabatan duniawi sebagai pemimpin politik kepala negara dan jabatan ukhrawi sebagai pemimpin agama,bukan menggantikan nabi dalam jabatan kerasulan. Karenan nabi tidak akan tergantikan oleh siapapun dan tidak ada satu wahyu pun yang diturunkan setelah berakhirnya kenabian Muhammad SAW.[6]

3.      Sistem Politik Yang Dijalankan Pada Masa Khulafaur Rasyidin
1.      Abu Bakar Al Shidiq : Politik Konsolidasi
Nama lengkapnya Abdullah ibn Abi Quhafaty at Tamimi. Pada zaman sebelum Islam,ia bernama Abdul Ka’bah,kemudian oleh Nabi diganti dengan Abdullah. Ia dijuluki pula dengan Abu Bakar (pelopor pagi hari) sehingga nama ini yang banyak digunakan,karena ia menjadi pelopor masuk Islam saat masyarakat Makkah masih dalam kegelapan Jahiliyyah. Gelar Al Shidiq diperolehnya karena ia segera membenarkan Nabi dalam berbagai peristiwa,terutama tentang peristiwa Isra’ Mi’raj.[7]Abu Bakar adalah pilihan yang paling ideal,dialah yang semenjak awal telah mendampingi nabi dan paling paham tentang risalah Nabi Muhammad SAW.[8]
Masa kekhalifahan Abu Bakar yang berlangsung selama 2 tahun,11-13 H (632-634 M0,diawali dengan pidato yang memberi komitmen bahwa dirinya diangkat menjadi pemimpin umat Islam sebagai khalifah rasulillah,yaitu menggantikan Rasul melanjutkan tugas-tugas kepemimpinan agama dan kepemimpinan pemerintahan.Penegasan ini membawa implikasi bahwa Abu Bakar akan selalu menjadikan nilai dasar Islam yang dibawa rasul sebagai dasar dari kepemimpinannya.
Pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah,pada satu sisi memberikan keuntungan tersendiri bagi berlanjutnya pemerintahan negara Madinah,namun pada sisi lain munculnya penolakan orang-orang Arab,terutama orang-orang yang baru masuk Islam.
Penentangan terhadap negara Madinah yang dilakukan oleh suku-suklu Arab merupakan sebuah realitas bangsa Arab yang sangat sulit menerima kebenaran,sangat sulit untuk tunduk pada ajaran yang baru,yang tidak umum berkembang pada lingkungan mereka.
Gerakan oposisi dan penetangan mereka yang disebut Riddah dibagi menjadi : (1). Gerakan melepas kesetiaan kepada ajaran Islam,kembali kepada kepercayaan semula. Gerakan Riddah ini secara politik merupakan pembangkangan terhadap lembaga kekhalifahan.[9] (2). Gerakan menolak membayar zakat. Penolakan mereka membayar zakat disebabkan pandangan salah mereka tentang zakat yang dikira pajak.(3). Gerakkan yang mengangkat diri mereka menjadi nabi: seperti yang dilakukan Musailamah al Khazzab (pendusta) yang menyatakan bahwa nabi telah mengangkat dirinya sebagai mitra di dalam kenabian. Di Yaman muncul orang-orang yang mengaku nabi,yaitu Aswad Ansi dan Sajjah ibn Haris.[10] (4). Gerakan dari nsuku-suku pembangkang yang mengklaim bahwa Islam adalah agama bangsa Arab semata. Mereka berusaha meraih kembali kemerdekaan.[11]
Melihat kondisi bangsa Arab dalam wilayah kekuasaan Islam yang menolak terhadap kekhalifahan Abu Bakar,bahkan penolakan terhadap Islam,maka orientasi politik yang dijalankannya pertama kali adalah melakukan konsolidasi, mempersatukan masyarakat Arab dalam kekuasaannya dan dalam keagamaan Islam serta tetap dalam menjalankan ajaran agama. Terhadap gerakan Riddah,kembali ke ajaran nenek moyang mereka, Abu Bakar melancarkan operasi pembersihan terhadap mereka dengan melakukan tekanan dan ajakan kembali ke jalan Islam,namun ketika mereka menolak baru dilakukan peperangan. Begitu juga ketika menghadapi orang yang tidak mau membayar zakat dan nabi-nabi palsu,tindakan Abu Bakar adalah melakukan pembersihan,menumpas  serta memerangi mereka. Perang riddah melawan kemurtadan yang berjalan alot berhasil dimenangkan oleh pemerintah Abu Bakar di bawah pimpinan Khalid ibn Walid. Namun,di samping itu semua ,banyak dari penghafal Al Qur’an yang tewas dalam perang tersebut. Melihat suasana ini Umar merasa cemas,dan mengusulkan kepada Abu Bakar untuk membukukan Al Qur’an.Abu Bakar pada awalnya tidak menyetujui usulan ini karena tidak ada otoritas dari Nabi untuk membukukan Al Qur’an,namun kemudian ia setuju dan memberikan tugas tersebut kepada Zaid bin Tsabit untuk menuliskannya.
Perilaku politik lain yang dijalankan Abu Bakar adalah melakukan ekspansi. Ada dua ekspansi yang dilakukan pemerintahan Abu Bakar,yaitu : (1). Ekspansi ke wilayah Persia di bawah pimpinan Khalid ibn Walid. Dalam ekspansi ini (thn 634 M),pasukan Islam dapat menguasai dan menaklukkan Hirah,sebuah kerajaan Arab yang loyal kepada Kisra di Persia.(2). Ekspansi ke Romawi di bawah empat panglima perang,yaitu Ubaidah,Amr ibn Ash,Yazid ibn Sofyan,dan Syurahbil. Ekspansi yang dilakukan oleh keempat panglima perangnya ini dikuatkan lagi dengan kehadiran Khalid ibn Walid untuk menguasai wilayah tersebut,karena kemenangan atasnya akan sangat besar artinya bagi penguasaan daerah-daerah lain di barat dan utara.Akhirnya pasukan Islam di bawah panglima Khalid dapat mengalahkan pasukan Romawi dalam peperangan Ajnadain pada tahun 634 M.[12]
Ketika pasukan Islam sedang menghadapi peperangan di Front Sirian Damascus,Baalbek,Homs,Hama,Yerussalem,Mesir dan Mesopotamia, Abu Bakar meninggal dunia,Senin 23 Agustus 634 M,setelah menderita sakit selama beberapa hari. Dalam menjalankan politik pemerintahannya selama 2 tahun 3 bulan dan 11 hari,Abu Bakar mengedepankan aspek musyawarah untuk menyelesaikan berbagai persoalan,sehingga secara internal kondisi pemerintahnnya stabil.
2.      Umar ibn Al Khattab Al faruq : Politik Ekspansi
Umar ibn Khattab ibn Nufail ibn Abd.Al Uzza merupakan keturunan dari ‘Adi,salah satu suku bangsa Quraisy yang terpandang mulia. Ia lahir lebih muda 4 tahun dari Rasulullah di Makkah. Umar dibesarkan dalam lingkungan yang meskipun kecil dan tidak kaya,tapi menonjol di bidang ilmu,karena itu kabilah ini sering dipercaya untuk menyelesaikan berbagai perselisihan dalam suku Quraisy,seperti pernah dilakukan oleh kakenya Nufail ibn al uzza yang sukses menyelesaikan persengketaan antara Abd al Muttahlib dengan Hazid ibn Umayyah.[13]
Umar menjabat sebagai khalifah selama 10 tahun,dari tahun 13-23 H (634-644 M).  Dalam masa pemerintahannya Umar melakukan beberapa langkan politik. Langkah politik ekspansi merupakan langkah yang paling populer selama pemerintahan Umar. Langkah ini harus dilakukan karena pasukan Islam sudah menyebar ke beberapa wilayah yang dikirim oleh pemerintahan Abu Bakar,mau tidak mau dia harus meneruskan langkah tersebut. Umar sangat tahu sekali kondisi psikologi pasukan Islam yang punya semangat dakwah yang sangat tinggi untuk menyerukan ajaran-ajaran agama ke seluruh penjuru dunia,selain karena bangsa Arab (kaum Badui) terbiasa dengan kehidupan berpindah-pindah (nomad) dan suka berperang. Penyatuan antara kedua aspek dakwah,nomad dan suka berperang dari pasukan Islam,akhirnya digunakan untuk melakukan ekspansi dan dengan cepat dapat menundukkan wilayah kekuasaan Romawi dan Persia satu peratu.
Kemenangan besar yang didapat pasukan Islam dalam peperangan dengan pasukan Romawi di Suriah dan Mesir serta pasukan Sasania di Persia disebabkan pula oleh ; (1). Kondisi internal kedua kerajaan tersebut yang secara militer telah lemah akibat peperangan di antara mereka,atau perang melawan pasukan Islam sebelumnya. (2). Perilaku kedua kerajaan ini terhadap rakyatnya. Kondisi ini mengakibatkan mereka bergabung dengan pasukan Islam bahkan mereka lebih memilih untuk menerima penguasa baru dalam kekuasaan pemerintahan Umar ibn Khattab.
Langkah politik kedua sebagai akibat dari penyerbuan pasukan Islam ke daerah bekas kekuasaan Romawi dan Sasania adalah mengkonsentrasikan pasukan Islam hanya digunakan untuk menjalankan penaklukan dan untuk membentengi wilayah yang telah ditundukkan.[14]
Langkah politik ketiga yang dilakukan Umar ibn Khattab adalah pasukan islam tidak diperbolehkan memaksakan warga taklukan untuk memeluk agama Islam. Prinsip ini sudah pernah dijalankan pada masa Rasulullah yang memberi izin kepada pemeluk Yahudi dan Kristen tetap berpegang pada agamanya,dengan catatan mereka haruus membayar upeti. Gubernur yang dikirim hanya ditugasi untuk menangani pengumpulan pajak dan upeti,mengawasi distribusi pajak sebagai gaji tentara dan memimpin peperangan serta pelaksanaan shalat jama’ah. Namun dalam perkembangannya ada perubahan dalam pengaturan terkait dengan urusan sosial dan administrasi kenegaraan,meskipun dalam penerapan antara satu propinsi dan lainnya berbeda. Di Iraq seluruh wilayah dikuasai dan diurusi negara Khurasan, dikuasai oleh penguasa lokal,di Mesir menghapus otonomi kekeyaan fiskal,dan kota mengatur afministrasi yang mandiri.[15]
Langkah politik keempat adalah didasari oleh keberhasilan meluaskan jajahan yang membawa implikasi pada membanjirnya harta-harta,baik rampasan,upeti,pajak dan lainnya. Untuk memudahkan urusan administrasi dan keuangan,maka dalam pemerintahannya dibentuk lembaga-lembaga dan dewan-dewan, seperti Bait al Maal (perbendaharaan negara), pengadilan dan pengangkatan hakim,jawatan pajak,penjara,jawatan kepolisian juga membuat aturan pembagian gaji kepada tentara dan tentara cadangan,pemberian gaji kepada guru-guru,muadzin dan imam,pembebanan bea cukai,pemungutan pajak atas kuda yang diperdagangkan,pungutan pajak atas orang-orang kristenbani Tighlab sebagai ganti jizyah.[16] Umar juga menempa mata uang dan tahun hijrah yang dimulai dari hijrah Rasul.[17]
Dalam keagamaan tokoh cerdas ini merupakan mujtahid yang handal pada zamannya. Dia menghasilkan ijtihad dimana pandangan-pandangannya berbeda dengan Nabi dalam beberapa hal,namun tidak keluar dari komitmennya yang kuat terhadap Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Seperti peniadaan hukum potong tangan pada tindak pidana pencurian,jatuhnya talak tiga sekaligus memasukkan lafal asshalatu khairun min al naum dalam shalat shubuh,shalat tarawih dengan jumlah rakaat sebanyak 20 dan lain-lain.
Pemerintahan khalifah Umar yang berlangsung selama 10 tahun,6 bulan dan 40 hari,dapat dikatakan sebagai pemerintahan yang demokratis,selain karena dia meletakkan prinsip-prinsip demokrasi dalam pemerintahannya dengan jalan membangun jaringan pemerintahan sipil[18] juga bersifat egaliter dengan menjamin persamaan hak dalam bernegara,tidak membedakan antara atasan dan bawahan, penguasa dan rakyat. Ketika akan menjalankan shalat shubuh, seorang budak berkebangsaan Persia bernama Feros atau Abu Lu’lu’ah secara tiba-tiba menyerang Umar dan menikam dengan pisau. Khalifah terluka yang sangat parah,dan setelah 3 hari dari peristiwa penikaman tersebut,Umar wafat pada tanggal 1 Muharram 23 H.
3.      Usman ibn Affan : Politik Sentralistik dan Nepotisme
Ia bernama Usman bin Affan ibn Abdul al Ash ibn Umayyah.dengan demikian ia berasal dari bani Umayyah,walaupun tidak dimasukkan dalam dinasti Umayyah yang berkuasa setelah Khalifah Ali. Ia lahir di Makkah dari trah bangsawan Makkah yang sangat dihormat,dua tahun setelah kelahiran Nabi Muhammad atau seusia Abu Bakar. Usman merupakan sahabat nabi yang sangat kaya raya tetapi berlaku sederhana dengan lebih menggunakan kekayaannya untuk kejayaan Islam.
Usman menjabat sebagai khalifah selama 12 tahun,dari tahun 23-35 H (644-655 M), merupakan masa pemerintahan yang terpanjang di antara khulafa al Rasyidin. Masa pemerintahan Usman terbagi atas dua periode,yaitu : 6 tahun pertama merupakan pemerintahan yang baik,dan 6 tahun kedua merupakan masa pemerintahan yang buruk.[19]
Kebijakan politik yang dilakukan Usman adalah melanjutkan ekspansi yang dilakukan Umar ke berbnagai wilayah di front barat,timur dan utara. Dalam ekspansi ini dimotivasi oleh dakwah sekaligus memperluas kekuasaan,dimana hasil rampasan, serta pajak dapat digunakan untuk meningkatkan kemajuan negara serta kesejahteraan umat Islam.
 Langkah politik Usman yang lain adalah menyempurnakan pembagian kekuasaan pemerintah dengan menekankan sistem pemerintahan terpusat (sentralisasi) dari seluruh pendapatan propinsi dan menetapkan juru hitung safawi.[20] Langkah ini merupakan langkah yang strategis untuk menata administrasi kenegaraan karena makin luasnya wilayah kekuasaan dan makin banyak pegawai dan pasukan yang mendapat gaji,bahkan pendapatan negara ia bagi-bagikan untuk kepentingan kalangan migran orang Arab di daerah-daerah pendudukan yang jumlahnya semakin meningkat. Kebijakan yang brilian inilah saling dimanfaatkan antara Usman yang memang berasal dari aristokrat Makkah Bani Umayyah atau bani-bani yang lain yang ada  di Makkah,sehingga dapat dikatakan ia terlalu terikat dengan kepentingan orang-orang Makkah.
Perilaku politik nepotisme dengan menempatkan Bani Umayyah menempati posisi penting dalam pemerintahan Usman,dalam pandangan sahabat dan masyarakat Madinah menjadi titik kelemahan. Maka muncullah kebencian rakyat yang pada beberapa waktu kemudian meletuslah pembangkangan dan pemberontakan di beberapa negeri yang dilakukan oleh orang-orang yang kecewa terhadap kebijakan khalifah.   
Ketidak senangan mereka terhadap Usman sebetulnya sudah sejak terpilihnya Usman menjadi khalifah,terutama orang-orang yang menyokong Ali ibn Abi Thalib,yaitu orang-orang Badui dan penduduk Mesir. Kebencian ini akhirnya menimbulkan tuduhan terhadap Usman,bahwa ia telah membagikan harta negara kepada kerabat khalifah seperti Hakam mendapat tanah Fadah,kemudian Abdullah diizinkan mengambil sendiri 1/5 dari harta rampasan perang di Tripoli. Tuduhan yang lain adalah bahwa Usman tidak bertindak atas perilaku Marwan yang mengambil dan menyalahgunakan harta Baitul Maal dan Mu’awiyah mengambil alih tanah negara di Suriah.[21] Padahal Utsman Radhiallahu ‘anhu yang paling berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid dan memperluas masjid Nabi di Madinah.
      Sebagai seorang kepala agama, Khalifah Usman melakukan usaha memperkenalkan edisi Al Qur’an standar dengan membuat kodifikasi baru dengan meninjau ulang shuhuf-shuhuf yang telah ditulis oleh Zaid bin Tsabit pada masa pemerintahan Abu Bakar. Alasan pengkodifikasian ini karena Usman mendengar perbedaan soal qiro’ah Al qur’an di antara penduduk yang menimbulkan perselisihan. Atas usul Hudzaifah ibn al Yaman,maka Usman menyuruh Zaid ibn Tsabit dan Zaid ibn Ash dengan menjadikan shuhuf yang ada pada Hafsah menjadi pedoman penulisan.Setelah ditulis naskah tersebut, maka pengkodifikasikan telah selesai dan naskah tersebut disebut dengan mushaf imam (Usmani). Kemudian disuruh menyalin empat naskah dengan pedoman naskah asli (yang di tangan Usman) dimana nantinya akan dikirim ke Makkah, Madinah, Basrah dan Suriah. Dan naskah yang lain harus dibakar termasuk shuhuf yang ada pada Hafsah.[22] Namun maksud baik ini ditentang oleh sebagian kelompok muslim yang merasa merekalah yang paling berhak atasAl Qur’an. Usman tidak mempunyai otoritas sama sekali untuk menetapkan edisi Al Qur’an tersebut.[23]
Kebencian terhadap Khalifah Usman makin membara di seluruh wilayah kekuasaan Islam. Di Kufah dan Basrah sebagai basis pendukung kekuatan Ali pun muncul ketidaksenangan terhadap khalifah. Mereka diprakarsai oleh Thalhah dan Zubair menentang gubernur yang diangkat oleh khalifah.
Tepat pada saat khalifah sedang membaca Al Qur’an tanggal 17 Juni 656 H  (35 M) Usman meninggal dunia karena dibunuh pemberontak. Pemerintahan khalifah Usman masih dapat disebut sebagai pemerintahan demokratis,karena khalifah tidak pernah menunjukkan sifat refresif, bahkan dia sangat baik dan shaleh,seluruh waktunya banyak digunakan untuk ibadah. Namun perilaku bawahannya yang tidak dapatdiawasi karena faktor usia yang telah tua dan lemah pada Usman inilah yang menjadikan pemerintahannya berkurang demokrasinya.[24]
4.      Ali bin Abi Thalib
Ia bernama Ali ibn Abi Thalib ibn Abdul Muthalib, sepupu Nabi Muhammad dan menantunya karena ia menikah dengan Fatimah binti Muhammad. Ali merupakan sahabat nabi semenjak anak-anak. Ketika berumur 12 tahun telah masuk Islam dan mengakui risalah. Sebagai anak Abu Thalib yang secara materi sangat kekurangan dan ditempa dengan tauladan ayahnya yang berakhlak mulia dan terhormat,telah membentuk Ali mempunyai watak yang lebih mementingkan aspek spiritual sehingga sepanjang sejarahnya Ali lebih bnerkosentrasi pada perjuangan menegakkan Islam,keagamaan dan keilmuan tanpa menoleh sedikitpun pada aspek duniawi.
Masa pemerintahannya berlangsung selama 5 tahun,dari 36-41 H (656-661 M), diwarnai oleh timbulnya banyak kekacauan dan pemberontakan-pemberontakan.Pengangkatannya sebagai khalifah tidak dilaksanakan sebagaimana yang telah dialami oleh khalifah-khalifah sebelumnya,hal ini disebabkan karena Usman tidak sempat menunjuk pengganti atau membentuk dewan formatur untuk memilih khalifah. Ali diangkat melalui proses pembai’atan langsung yang dilakukan oleh masyarakat Islam di Madinah,secara terbuka di masjid termasuk dihadiri kaum Muhajirin dan Anshar.[25]
Menurut Munawir Syadzali,setelah pembunuhan Usman,kota Madinah dalam kondisi yang sepi  dan kosong karena banyak ditinggal oleh para sahabat ke wilayah yang baru ditaklukkan. Kondisi ini diperparah oleh tidak amannya kota,sehingga keamanan dikendalikan oleh Ghafiqy ibn Harb selama 5 hari. Hanya sedikit para sahabat yang masih tinggal di kota Madinah dan tidak semuanya mendukung Ali,seperti Sa’ad ibn Abi Waqqash dan Abdullah ibn Umar. Mu’awiyah Amr ibn ‘Ash serta Aisyah menganggap tidak sah dengan pembai’atan Ali sebagai khalifah karena tidak semua  ahli al halli wa al aqdi hadir saat pembai’atannya. Ia menggugat  kepemimpinan Ali dengan alasan : (1). Ali harus bertanggung jawab atas terbunuhnya Usman (2). Hak pemilihan khalifah ada pada seluruh wilayah negara,bukan monopoli orang-orang Madinah.
Ali mempunyai watak damn pribadi sendiri,suka berterus terang,tegas bertindak dan tak suka berminyak air. Ia tak takut akan celaan siapapun dalam menjalankan kebenaran. Setalah dibai’atnya Ali sebagai khalifah,dikeluarkannya 2 buah ketetapan : (1). Memecat kepala-kepala daerah angkatan Usman. Dikirimnya kepala daerah baru yang akan menggantikan. Semua kepala daerah angkatan Ali itu ter[paksa kembali dsaja ke Madinah,karena tak dapat memasuki daerah yang ditetapkannya.[26] (2). Mengambil kembali tanah-tanah yang dibagi-bagikan Usman kepada famili-famili dan kaum kerabatnya tanpa jalan yangsah. Demikian juga hibah atau pemberian Usman kepada siapapun yang tiada beralasan,diambil Ali kembali.
Terhadap para penentangnya seperti Aisyah, Talhah serta Zubair yang menuntut supaya Ali segera menghukum pembunuh Usman,Ali mencoba menjalankan politik secara damai. Hal ini dilakukannya untuk menghindari pertikaian di antara masyarakat Islam. Namun ketika kompromi ini diajukan kepada Aisyah, Thalhah serta Zubair,ditolak. Maka peperangan tidak bisa dihindarkan lagi. Terjadilah perang Jamal (unta),karena Aisyah janda nabi menaiki unta,pada tahun 36 H. Dalam peperangan ini,pasukan Ali yang didukung masyarakat Anshar,masyarakat Kufah dan Mesir,dapat memenangkan peperangan. Aisyah tertawanvdan dikembalikan ke Madinah,sedangkan Thalhah dan Zubair terbunuh ketika hendak melarikan diri bersama 20.000 kaum muslim yang gugur.
Adapun terhadap Mu’awiyah ibn Abi Sufyan yang tidak mengakui kekhalifahannya dan menolak meletakkan jabatannya sebagai gubernur di Suriah,Ali melakukan tindakan penyerangan terhadap penguasa Suriah itu. Peperangan terjadi di Shiffin,dekat Sungai Euphrat padatahun 37 H. Dalam peperangan ini sebenarnya pasukan Mu’awiyah telah terdesak kalah,dengan terbunuhnya 7.00 orang. Namun dalam kondisi yang terdesak ini,Mu’awiyah yang mempunyai siasat lihai,dengan mengangkat Al Qur’an sebagai tanda meminta damai dengan cara tahkim (arbitrase). Dalam tahkim diusulkan agar Ali dan Mu’awiyah meletakkan jabatan yang diklaim mereka. Karena Musa al Asyar sebagai wakil dari Ali lebih tua daripada Amr ibn Ash wakil Mu’awiyah,maka dia lebih dahulu menyampaikan pidato. Namun ketika Amr ibn Ash menaiki mimbar,bukannya yang diucapkan tentang penurunan Mu’awiyah sebagaimana kesepakatan semula,tetapi mengucapkan penerimaan turunnya Ali sebagai khalifah dan mengangkat Mu’awiyah sebagai khalifah. Peristiwa tahkim yang semula diharapkan dapat mengakhiri peperangan di antara kaum Muslim,namun kenyataanyya dengan penurunan Ali dan menaikkan Mu’awiyah membuat kedudukan Mu’awiyah sejajar dengan khalifah Ali dan menyulut pertikaian baru,dengan munculnya kelompok khawarij,orang-orang yang keluar dari barisan Ali dan menegaskan ketidak setujuannya terhadap tahkim,bahkan berusaha membunuh Ali dan Mu’awiyah,karena keduanya tidak berhukum pada hukum Allah.
Dengan demikian umat Islam terpecah lagi ke dalam 4 golongan,yaitu Mu’awiyah, Syi’ah (Ali), Khawarij serta kelompok yang tidak ikut dalam pertikaian politik dan lebih concern pada kesalehan dan ilmu. Dan dengan keluaenya Khawarij dari mendukung Ali,maka menjadi lemahlah kekuatan Ali,sehingga Mu’awiyah dapat memperluas pengaruh dan kekuasaannya bukan saja di Suriah,tapi juga di Mesir.  Hal ini membuat Ali menyetujui perjanjian dengan Mu’awiyah yang mengakui kekuasaan atas Suriah dan Mesir. Ketika berita itu didengar oleh khawarij,seorang anggota Khawarij yang sangat fanatik bernama Ibnu Muljam dapat membunuh Ali pada tanggal 17 Ramadhan 40 H (661 M).[27]  Setelah Ali terbunuh,kedudukan khalifah dijabat oleh Hasan selama beberapa bulan sampai terjadinya perjanjian damai yang pada intinya menyerahkan kekuasaan khilafah pada Mu’awiyah. Perjanjian itu dibuat dengan harapan dapat mempersatukan kembali umat Islam dalam satu kepemimpinan politik. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 41 H (661 M) dan disebut dengan ‘Am Jama’ah (tahun persatuan)[28].

4.      Penutup
Perlu dijelaskan bahwa khilafah yang timbul setelahwafatnya rasulullah tidak berbentuk kerajaan,dalam arti kepala negara dipilih dan tidak didasarkan turun-temurun.
Tampilnya Abu Bakar al-Shidiq sebagai khalifah (11 H/632 vM-13 H/634 M) merupakan awal terbentuknya pemerintahan model khilafah dalam sejarah Islam yang berpusat di Madinah.
Sepeninggal Abu Bakar al-Shidiq,Umar bin al-Khattab mendapat kepercayaan sebagai khalifah kedua. Tampilnya Umar sebagai khalifah kedua (13 H/634 M-23 H/644 M) tidak melalui pemilihan dalam satu forum musyawarah terbuka,tetapi melalui penunjukkan atau wasiat oleh pendahulunya.
Sementara itu,Usman bin Affan menjadi khalifah ketiga (23 H/644M- 35H/656M) dipilih oleh sekelompok orang yang terdiri dari 6 orang yang ditentukan Umar sebelum wafat. Pasca wafatnya Umar,keenam orang tersebut berkumpul untuk bermusyawarah. Atas inisiatif Abdurrahman ibn Auf,terjadilah permusyawarahan yang akhirnya sepakat memilih Usman bin Affan senagai pengganti Umar bin Khattab dengan pertimbangan lebih tua dan lebih lunak sifatnya. Pasca pembunuhan Usman oleh para pemberontak,Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah melalui pemilihan. Tetapi proses pemilihan itu menurut Munawir Syadzali jauh dari sempurna.  Semasa kepemimpinannya Ali memerintah selama 5 tahun (35 H/656 M-40 H/660 M) dan di akhir kepemimpinannya ia pun terbunuh oleh para pemberontak.
Ciri yang menonjol dari sisitem pemerintahan yang mereka jalankan terletak pada mekanisme musyawarah bukan dari turun temurun. Tidak ada satupun dari 4 khalifah tersebut  yang menurunkan kekuasannya pada sanak kerabatnya. Musyawarah menjadi cara yang ditempuh dalam menjalankan kekuasaan sesuai dengan apa yang diajarkan Rasulullah SAW.











DAFTAR PUSTAKA

Engineer, Asghar Ali. Asal-Usul dan Perkembangan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.1999.
Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta : Al Husna.1992.
Watt, William montgemory. Butir-butir Hikmah Sejarah Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada.2002.
Engineer, Asghar Ali. Devolusi Negara Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2003.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada.2003.
Zada, Mujar ibnu Syarif Khamami. Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran politik Islam. Jakarta : Erlangga. 2008.
Taufiqurrahman. Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam. Surabaya : Pustaka Islamika.2003.


[1] adalah:
[2] Asghar Ali Engineer. Asal-usul dan Perkembangan Islam.(Yogyakarta:Pustaka Pelajar.1999).hlm.213.
[3] Mujar Ibnu Syarif,Khamami Zada. Fiqh Siyasah.(Jakarta: Erlangga.2008)hlm.205.
[4] Ayat yang menunjukkan makna pengganti sebagai kata dasar ada pada 7 tempat.
[5] Lihat Abdul Azizi Thaba,Islam dan Negara,(Jakarta :Gema Insani,1996),102.
[6] Taufiqurrahman. Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam. (Surabaya:Pustaka Islamika.2003).hlm.60.
[7] Shaban, SejarahIslam, (Jakarta : Rajawali,1993),25.
[8] Hassan Ibrahim Hassan, Tarikh Al Islam I, (Kairo : Maktabah Al Misriyyah 1979),205. Lihat juga padaSyalabi.Sejarah dan kebudayaan Islam I, Jakarta,jaya Murni,226.
[9] Bernand Lewis,39.
[10] Amin Said,220.
[11] Ira M Lapidus, Sejarah Sarid Ummat Islam,( Jakarta : Rajawalim1999),57.
[12] Ibid, 168
[13] Lihat Abbas Mahmud Al Aqqod, Abqoriyatu Umar, (Kairo Darus Sya’b,1969),27-28.
[14] Ibid, 63.
[15] Ibid, 65-66.
[16] Disarikan dari Syibl, Nu’mani, Al Farouq, Lifeat Omar the Great Second Caliph of Islam, Terjemahan Kadiriyo Djojosuwarno, (Baqndung, Pustaka 1981), 555-557.
[17] As Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, 263.
[18] Mahmudunnasir,184.
[19] Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, Jakarta Ui Press, 1991,25-24.
[20] Ira M.Lapidus, 83-84.
[21] Mamudunnasir, 188-189.
[22] M. Hasbi Al shidiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al Qur’an,(Yogyakarta : Bulan Bintrang  1986), 87-89.
[23]  Ira M. Lapidus 84, lihat juga dalam Ahmad Al Beladzuri, Futuh Al Buldan V, (Kairo :Maktabah, Al Mishriyah    tt),62
[24] Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam, (Surabaya : Pustaka Islamika 2003),81.
[25] Coba anda lihat dan  bandingkan  dengan Yusuf  Musa,121-131. Ada suatu Riwayat yang menyatakan bahwa pembaiatan Ali diawali dengan pemberontakan Usman yang dipimpin oleh Abdullah bin Saba’. Datang ke rumah Ali memintanya untuk jadi kholifah. Pada mulanya Ali menolak,namun mereka tetap memaksa dan akhirnya Ali menerima dengan syarat harus dilakukan di masjid.baca Abdul Aziz Thaba, 105-106.
[26] Lihat At Thabari III:456 dan seterusnya.
[27] Lihat Mahmudunnasir, 197-202.
[28] Hasan Ibrahim Hasan,64.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment