Ilmu Qiraat



I.                   Pendahuluan
Membaca Al Qur’an di dalam ajaran Islam dinilai sebagai ibadah. Orang yang membacanya dijanjikan pahala di sisi Allah SWT. Banyak hadith Nabi yang menerangkan keutamaan membaca Al Qur’an, bahkan mendengarkan bacaan Al Qur’an pun disediakan pahala yang sama seperti yang membaca Al Qur’an oleh Allah SWT.

 Qira’a>t - qira’a>t yang beragam yang berkembang sampai saat ini tidak dapat dihindari karena adanya elastisitas teks yang kesahihannya dapat dipercaya, sebagaimana dapat diamati pada teks ketuhanan yang secara internal sesungguhnya dapat dipastikan turunnya dari Allah ketika dia turun dalam bentuk yang satu dan dapat diterima secara luas. Bahkan otentisitas dari riwayat yang berbeda-beda ini dipegangi, karena kedatangannya dari sumber yang bersifat ketuhanan secara keseluruhan, dari satu sisi ke sisi yang lain.[1]
Dalam pembahasan kami ini, akan sedikit kamu ulas tentang pengertian ilmu qiraat serta hal-hal yang berkaitan dengan ilmu qira’a>t secara global.

II.                Pembahasan
1.      Pengertian qira’a>t
Istilah qira’a>t berasal dari bahasa Arab قراءات jamak dari قراءة . Secara etimologis merupakan akar kata (masdar) dari قرأ  yang berarti membaca. Jadi lafal قراءات secara lughawi berkonotasi “beberapa pembacaan”.[2]
Secara terminologis berarti cara yang dipakai seorang oleh seorang imam qira’a>t yang berbeda dengan yang lainnya dalam membaca Al Qur’an.[3]
Dalam ilmu Al Qur’an ilmu qira’a>t adalah beberapa cara dalam mengucapkan kalimat-kalimat yang terdapat di dalam Al Qur’an.[4]
Dalam ilmu tafsir term ini berkonotasi: “Suatu aliran dalam melafalkan Al Qur’an yang dipelopori oleh salah seorang ahli qira’a>t yang berbeda dari pembacaan imam-imam yang lain, dari segi pengucapan huruf-huruf, atau hay’ah-nya, tapi periwayatan qira’a>t tersebut darinya serta jalur yang dilaluinya disepakati.[5]
Dalam kitab Munjid al-Muqarin Ibn al-Jaziri hanya menegaskan bahwa qiraah adalah ilmu cara melafalkan kalimat (kata-kata) Al qur’an dan perbedaannya, dan tidak pula menegaskan perlu adanya kesepakatan dalam periwayatan dan sanad yang dilaluinya.[6]
Dari berbagai uraian tentang pengertian tentang ilmu qira’a>t, dapat disimpulkan tentang ilmu qira’a>t yaitu :
أن علم القراءة علم يعلم منه اتفاق الناقلين لكتاب الله تعالى واختلافهم في الحذف والإثبات والتحريك والتسكين والفصل والوصل وغير ذلك من هيئة النطق والإبدال وغيره من حيث السماع أو يقال علم بكيفية أداء كلمات القرآن واختلافها معزوا لناقله
Ilmu untuk mengetahui kesepakatan dari kalangan q>ari’ Al Qur’an dan perbedaan dalam hal membuang dan menetapkan pemberian harakat fathah, sukun, memutus dan menyambung bacaan dari sisi pengucapan, mengganti dan lain sebagainya, dan juga dari sisi mendengarkan. Bisa juga dikatakan ilmu untuk mengetahui beberapa kalimat dalam Al Qur’an serta perbedaannya.
وموضوعه كلمات القرآن من حيث يبحث فيه عن أحوالها كالمد والقصر والنقل
Objek kajian dari ilmu qiraat adalah beberapa kalimat qur’an yang membahas beberapa keadaan-keadaannya seperti mad, qashar dan naql.
واستمداده من السنة والإجماع
Dasar dari ilmu qira’a>t  adalah Al Qur’an dan As Sunnah.
وفائدته صيانته عن التحريف والتغيير مع ثمرات كثيرة ولم تزل العلماء تستنبط من كل حرف يقرأ به قارىء معنى لا يوجد في قراءة الآخر والقراءة حجة الفقهاء في الإستنباط ومحجتهم في الاهتداء مع ما فيه من التسهيل على الأمة
Faedah dari ilmu qira’a>t adalah menjaga dari perubahan bacaan Al Qur’an dengan disertai faedah-faedah yang banyak sekali, dan para ulama tidak henti-hentinya memberi batasan di setiap huruf yang dibaca oleh para qa>ri’ dan membatasi sebuah makna yang tidak diketahui artinya dalambacaan lainnya. Dan qira’a>t  menjadi dasar para ahli fikih dalam beristinbat} dan juga memberikan dasar/ fatwa untuk memberikan petunjuk beserta hal-hal yang terkait agar mudah untuk umat.

2.      Al Qur’an dan Al Qira’a>t dua hakikat yang berlainan
“Al Qur’an” dan “ Al qira’a>t” adalah dua hakikat yang berlainan
a.         Al Qur’an, ialah: “wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk menjadi pedoman hidup dan untuk melemahkan bangsa Arab yang terkenal petah lidahnya dan tinggi susunan bahasanya.”
b.        Al Qira’a>t, ialah: “perbedaan lafadz-lafadz wahyu mengenai huruf dan cara-cara membunyikannya, seperti tidak mentasydidkan, mentasydidkan dan lain sebagainya.”[7]

3.      Pembahasan serta tatacara penerimaan qira’a>t
Ilmu qira’a>t mempelajari tatacara membaca Al Qur’an yang dinisbahkan kepada salah satu imam qira’a>t yang dipandang sanadnya sampai kepada Rasulullah.
Cara penerimaan qira’a>t ini berdasarkan kepada talaqqi (menerima langsung dengan berhadapan dari seorang guru) dari guru-guru sebelumnya dan ini harus diriwayatkan dengan sanad (jalan) yang s}ahih dari nabi. [8]
Sahabat-sahabat Nabi menerima Al Qur’an dari Nabi menurut dialek bahasa golongannya, dan masing-masing mereka meriwayatkan Al Qur’an menurut  dialek mereka sendiri. Demikian kata setengah ahli ilmu, yang berpendapat bahwa berlainan qira’a>t diterima dari wahyu. Sebagian ahli tahqiq berpendapat, bahwa berlainan qira’a>t itu bukan diterima dari wahyu, akan tetapi akibat perbedaan lah}jah (dialek) yang disebut oleh masing-masing golongan.[9]

4.      Kedudukan Qira’a>t Al Qur’an ditinjau dari kaidah bahasa Arab
Boleh dikatakan para ulama tafsir sepakat bahwa yang menjadi dasar dalam membaca Al Qur’an ialah riwayat dari Rasul Allah, bukan kaedah bahasa, artinya selama periwayatan suatu qira’a>t melalui perawi-perawi terpercaya, maka qira’a>t tersebut wajib diterima sekalipun tak cocok dengan kaedah bahasa arab. Diantara qira’a>t yang seperti itu, misalnya qira’a>t  Hamzah dengan memberi harakat kasrah pada kata الأرحام dalam ayat pertama surat al-Nisa : وَاتٌقُوْا اللّهََ الٌذِى تَسَا ئَلُونَ بِهِ وَالأَرحَامِ
Yang menjadi permasalahan oleh para ahli Nahwu dalam bacaan tersebut adalah huruf terakhir pada  lafal yakni berbaris di bawah (kasrah) karena mengikuti harakat sebelumnya yang pada hakekatnya juga kasrah. Padahal menurut kaedah Nahwu pola susunan seperti itu tidak boleh, kecuali dengan mengulang kata bantu (h}arf al-jarr) nya yaitu البَاء dengan demikian jika ingin melafalkannya berbaris kasrah maka susunannya menjadi             تَسَا ئَلُونَ بِهِ وَالأَرحَامِ , ini baru sesuai dengan kaedah Nahwu. Demikian pendapat sebagian besar ulama Nahwu Basrah. Sebaliknya ulama Nahwu Kufah membolehkan saja harkat  وَالأَرحَامِ , kasrah, tanpa perlu mengulang h}arf al-jarr.  Jadi dapat disimpulkan bahhwa qira’a>t Al Qur’an tidak didasrkan pada kaedah-kaedah bahasa melainkan pada riwayat dari Nabi saw.  Jadi jelaslah bahwa Al Qur’an mempunyai aturan khusus dalam penerapan kaedah-kaedah bahasa Arab. Struktur kalimat dan gaya bahasanya mempunyai cara tersendiri yang kadang-kadang tak sama dengan yang biasa berlaku dalam kaedah bahasa Arab, namun sangat mempesona dan menarik hati penbaca, maupun pendengarnya. Oleh karena itu, tak mungkin dinilai keabhasan struktur kalimat Al Qur’an hanya berdasarkan kaedah bahasa Arab semata, malah sebaliknya.

5.      Pengaruh qira’a>t terhadap penetapan hukum
Meskipun qira’a>t  bukan satu-satunya yang dijadikan dasar dalam istinbath (penetapan hukum) namun tak dapat dipungkiri bahwa perbedaan qira’a>t  berpengaruh besar terhadap produk hukum. Inilah salah satu penyebab timbulnya berbagai madhhab  atau aliran dalam Islam.
Perbedaan serupa juga dijumpai dalam bidang Ilmu Kalam (Teologi Islam) seperti Sunni, Syi’ah, Mu’tazilah, dan lain-lain. Sebagai contoh, misalnya qiraatمَسْتُمُ النٌِسا ءِ  لاََ (dengan memanjangkan لاَ). Qira’a>t ini diriwayatkan oleh lima qa>ri  yang tujuh, yaitu nafi, Ibn Katsir, Abu ‘Amr, ‘Ashim, dan Ibnu Amir. Sementara dua qa>ri  lainnya, yakni hamzah dan al- Kisa’i membacanya لَمَسْتُمُ (tanpa memanjangkan bacaan لَ).
Dalam menetapkan hukum berdasarkan ayat 6 surat Al Maidah tersebut, pada umumnya ulama fikih terbagi ke dalam dua kelompok. Pertama cenderung pada qira’a>t  لاََ مَسْتُمُ النٌِسا ءِ   (dengan memanjangkan bacaan لاَ) lalu mereka menetapkan bahwa yang dimaksud dengan لاََ مَسْتُمُ dalam ayat itu adalah jimak; artinya, baru batal wudhu jika laki-laki dan perempuan melakukan jimak. Pendapat ini dianut oleh pengikut madhhab Hanafi.
Kemudian kelompok kedua cenderung kepada qira’a>t  لَمَسْتُمُ (tanpa memanjangkan bacaan لَ) lalu mereka menetapkan hukum,bahwa yang dimaksud : asal bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan secara langsung tanpa batas, batal wudhu masing-masing pihak. Pendapat ini dianut oleh pengikut madhhab Syafi’i.[10]

III.             PENUTUP
Ilmu Qira’a>t  adalah ilmu yang mempelajari tatacara membaca Al Qur’an yang dinisbahkan kepada salah satu imam qira’a>t yang dipandang sanadnya sampai kepada Rasulullah. Cara penerimaan qira’a>t berdasarkan kepada talaqqi (menerima langsung dengan berhadapan dari seorang guru) dari guru-guru sebelumnya dan ini harus diriwayatkan dengan sanad (jalan) yang sahih dari nabi.
Objek kajian dari ilmu ini adalah beberapa kalimat qur’an yang membahas beberapa keadaan-keadaannya seperti mad, qashar dan naql. Meski qiraat bukan satu-satunya yang dijadikan dasar dalam istinbath (penetapan hukum) namun tak dapat dipungkiri bahwa perbedaan qira’a>t berpengaruh besar terhadap produk hukum. Inilah salah satu penyebab timbulnya berbagai madhhab atau aliran dalam Islam.
Lahirnya sebagian besar perbedaan qira’a>t  dikembalikan pada karakteristik tulisan Arab itu sendiri yang bentuk huruf tertulisnya dapat menghadirkan suara (vokal) pembacaan yang berbeda, tergantung pada perbedaan tanda titik yang diletakkan di atas bentuk huruf atau di bawahnya serta beberapa jumlah titik tersebut.
Dengan demikian, perbedaan karena tidak adanya titik (tanda huruf) pada huruf-huruf  resmi dan perbedaan karena harakat yang dihasilkan, disatukan,dan dibentuk dari huruf-huruf yang diam (tidak terbaca), merupakan faktor utama lahirnya perbedaan qira’a>t dalam teks yang tidak punya titik sama sekali atau yang titiknya kurang jelas.


















DAFTAR PUSTAKA

Baidan, Nasruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.2005.
Ash Shiediqy, Tengku Muhammad Hasbi. Sejarah & Pengantar Ilmu Al Qur’an dan Tafsir. Semarang : Pustaka Rizki Putra.2007.
Ensiklopedi Islam. Departemen Agama.
IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia . Jakarta : Djambatan.


[1] Ignaz goldziher. Mazhab Tafsir. (Yogyakarta : elSAQ  Yogyakarta.2003). hlm 6.
[2] Nashruddin Baidan. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar.2005). hlm 92-93.
[3] Ensiklopedi Islam, (Departemen Agama). Hlm 966.
[4] IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta : Djambatan). Hlm 788.
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiediqy. Sejarah & Pengantar Ilmu Al Qur’an dan Tafsir. (Semarang : Pustaka Rizki Putra.2007) hlm 11.
[8] Ibid.
[9] Ibid. hlm 74.
[10] Nashruddin Baidan. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar.2005). hlm 110-111.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment