Kemitraan Suami dan Istri di dalam Rumah Tangga

1. Latar Belakang Masalah
Kebahagian keluarga tidak akan dapat berlangsung secara baik tanpa adanya suatu pengertian dari masing–masing invidu tersebut. Seorang pasangan suami istri pastilah menginginkan kebahagiaan yang diidam–idamkan oleh kebanyakan orang. Dalam proses mendapatkan kebahagiaan itu, pasangan suami istri mempunyai hak dan kewajibannya masing–masing. Dalam hal ini hak dan kewajiban bagi masing–masing suami istri memegang peranan penting dalam suatu rumah tangga.

 Hingga saat ini pandangan masyarakat terhadap perempuan masih saja buruk, perempuan cenderung dipandang sebagai manusia kelas dua yang tidak layak memimpin dan menduduki posisi-posisi kunci di berbagai ruang publik, perempuan masih cenderung ditempatkan pada posisi-posisi domestik, seperti merawat rumah tangga mengasuh anak dan memasak di dapur. Relasi laki-laki dan perempuan dalam ranah keluargapun diskriminatif, laki-laki adalah pemimpin dan penaggungjawab rumah tangga, sementara perempuan meskipun memiliki kemampuan intelektual selalu berposisi sebagai “abdi” suami yang harus taat, sekalipun suami berlaku tidak adil terhadapnya.
Perbedaan laki-laki dan perempuan masih menyimpan beberapa masalah. Perbedaan anatomi biologis antara keduanya cukup jelas, namun efek yang timbul akibat perbedaan itu menimbulkan perdebatan, karena ternyata perbedaan jenis kelamin menimbulkan seperangkat konsep budaya.
 Kualitas individu laki-laki dan perempuan di mata Allah tidak ada perbedaan. Amal dan prestasi keduanya sama-sama diakui Allah, keduanya sama-sama berpotensi untuk memperoleh kehidupan duniawi yang layak, dan kedunya mempunyai potensi yang sama untuk masuk surga.




2. Hadits Inti
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
 تَابَعَهُ شُعْبَةُ وَأَبُو حَمْزَةَ وَابْنُ دَاوُدَ وَأَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ
Telah bercerita kepada kami Musaddad dari Abu>Awa>nah al-A’mash dari Abi> H}azim dari Abi>  Hurairah r.a. berkata : Rasulullah saw bersabda : “Bila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur kemudian si istri enggan memenuhi ajakannya, sehingga suami merasa kecewa hingga tertidur, maka sepanjang malam itu pula para malaikat akan melaknati istri itu hingga datangnya waktu shubuh.”

3. Analisa Bahasa
Bahasa yang dipakai dalam hadis ini perlu dicermati dengan seksama. Kata-kata ajakan suami dengan menggunakan إِذَا دَعَا  (dakwah) artinya mengajak dengan cara yang baik, sopan, penuh bijaksana dan mengetahui benar kondisi yang diajak seperti dalam Al Qur’an surat an-Nahl ayat 125.
Penolakan isteri atas ajakan suami dengan menggunakan kata فَأَبَتْ . di dalam kamus Arab-Indonesia kata فَأَبَتْ  berasal dari kata آب yang berarti غير راضٍ / tak sudi atau enggan. Di mana kalau dikaitkan dengan bahasa yang digunakan oleh Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 34, ketika menggambarkan sikap iblis yang tidak mau sujud kepada Adam, maka Allah juga menggunakan kata a>ba, yaitu berbunyi a>ba  wastakbara, artinya: ”ia enggan dan takabur”.
Jadi, dari analisis bahasa ini dapat disimpulkan bahwa laknat malaikat benar-benar terjadi pada isteri jika ketika sang suami sudah mengajaknya dengan penuh kesopanan, tidak memaksa dan dengan penuh pengertian dalam arti isteri tidak sedang dalam keadaan uzur baik karena haid maupun alasan rasional lainnya, tetapi sang isteri menolaknya dengan tanpa alasan. Tetapi laknat itu tidak akan terjadi jika memang sang suami memaksa sang istri untuk melayani, karena punya pemahaman bahwa dia/suami punya hak memaksa istri untuk memenuhi kebutuhan seksual mereka.

4. Asbabul Wurud Hadits
Asba>bul Wuru>d hadith dapat dilihat secara mikro dan makro. Mikro dalam arti situasi yang khusus yang menyebabkan hadith itu ada. Sedangkan makro berarti menggali situasi dan kondisi dan sosio-historisnya saat itu.
Hadith tentang intervensi malaikat dalam hubungan seksual ini, belum ditemukan Asba>bul Wuru>d mikronya, tetapi dimungkinkan ada kaitannya dengan kondisi sosio-historis dan kultural saat itu atau dengan melihat asba>b al wuru>d makronya. Dari Asba>bul Wuru>d makro ada kemungkinan hadith itu berkaitan dengan budaya pantang ghilah yang ada di kalangan bangsa Arab sebelum itu. Ghilah adalah bersetubuh istri yang sedang hamil atau menyusui. Mereka menganggap bahwa ghilah itu suatu yang tabu untuk dilakukan. Budaya tersebut begitu kuat di kalangan wanita Arab, sehingga Nabi pernah bermaksud untuk melarang ghilah. Nabi mengurungkan maksudnya, setelah mengetahui bahwa ghilah yang dilakukan ternyata tidak menimbulkan hal buruk bagi anak-anak yang dilahirkan.
Budaya pantang ghilah bagi wanita jahiliyah tidak menjadi persoalan karena mereka boleh poligami dengan tanpa ada batasan. Datangnya Islam membawa aturan tentang batasan poligami dan dalam pelaksanaannya harus adil. Karena itu, jika pantang ghilah tetap dipertahankan, sementara poligami tidak bebas maka hal ini sangat berat bagi mereka. Jadi, kemungkinannya hadith tersebut untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dirasakan para lelaki Arab Muslim. Selain itu juga untuk menghilangkan budaya pantang ghilah yang masih diikuti oleh wanita Arab Muslim.

5. I'tibar Sanad
1.     حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ سُلَيْمَانَ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيءَ لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
2.     و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَأَبُو كُرَيْبٍ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ ح و حَدَّثَنِي أَبُو سَعِيدٍ الْأَشَجُّ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ ح و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَاللَّفْظُ لَهُ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ كُلُّهُمْ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَلَمْ تَأْتِهِ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
3.     حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو الرَّازِيُّ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَلَمْ تَأْتِهِ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
4.     حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ وَوَكِيعٌ قَالَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ أَبِي حَازِمٍ الْأَشْجَعِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ عَلَيْهِ فَبَاتَ وَهُوَ غَضْبَانُ لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى يُصْبِحَ قَالَ وَكِيعٌ عَلَيْهَا سَاخِطٌ
5.     حَدَّثَنَا وَكِيعٌ قَالَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنِ أَبِي حَازِمٍ عَنِ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ وَهُوَ عَلَيْهَا سَاخِطٌ لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

6. Skema Sanad
7.      Rangkaian skema sanad



8. Takhrij Hadith
a.       Abu> Da>ud
Kitab Nikah}
Nomor hadith : 1829
b.      Ah}mad
Kitab Ba>qi musnad al-mukthiri>n
Nomor hadith : 7159, 8224, 8652, 9294, 9664, 9835, 10313, 10524
c.       Dara>mi
Kitab nikah
Nomor hadith : 2131
d.      Muslim
Kitab Nikah}
Nomor hadith : 2093

9. Biografi Perawi Hadith
1.      Abu> H<{azim
Nama aslinya adalah Sulaima>n Maula> ‘Izah, lahir di Kuffah dan wafat pada tahun 101 H. Menurut Ibnu H}anbal, Yah}ya bin Mu’in serta Muh}ammad bin Sa’ad beliau adalah thiqqah.
2.      Al- A’masy
Nama aslinya adalah Sulaima>n bin Mah}ran, nama panggilannya adalah Abu> Muh}ammad dan Al-a’mash. Lahir di Kuffah dan wafat pada tahun 147 H. Menurut Yah}ya bin Mu’in serta Muh}ammad bin Sa’ad beliau adalah thiqqah.
3.      Abu> ‘Awa>nah
Nama aslinya adalah Wad}ah bin ‘Abdullah Maula> Yazi>d bin ‘At}a’, sedangkan nama panggilannya adalah Abu> ‘Awa>nah. Lahir dan wafat di Bas}rah  pada tahun 176 H. Menurut ‘Affan bin Muslim kitabnya adalah shahih, sedangkan menurut Ibnu H}atim Arra>zi beliau shuduq thiqqah.
4.      Musaddad
Nama aslinya adalah Musaddad bin Musrahid bin Musrabil bin Mustauad sedangkan nama panggilannya adalah Abu> al-h}asan. Lahir dan wafat di Bas}rah pada tahun 228 H. Menurut Ibnu H}anbal beliau adalah thiqqah, menurut Yah}ya bin Mu’in beliau adalah thiqqah thiqqah, dan menurut An-nasa>’i beliau adalah thiqqah.
5.      Abu> Hurairah
Nama aslinya adalah ‘Abdu Rah}man bin Shakhra, jabatannya adalah sahabat. Sedangkan nama panggilannya adalah Abu> Hurairah. Lahir dan wafat di Madinah pada tahun 57 H.

10. Kritik Perawi Hadith
Mengenai hadis-hadis tentang intervensi malaikat dalam hubungan seksual suami isteri, para ulama dan ilmuwan berbeda dalam memaknainya. Ada kelompok yang menerima hadith itu apa adanya secara tekstual, sedangkan kelompok yang lain mencoba untuk melihat dari konteksnya. Perbedaan pandangan antara kelompok pertama dan kedua menurut Mas’udi disebabkan oleh perbedaan konstruksi tentang seksualitas itu sendiri. Mas’udi berpendapat bahwa walaupun hadith tersebut diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim yang dipandang sebagai perawi dan pentakhrij hadith paling terpercaya, namun tidak mungkin Rasul mensabdakan suatu ketidakadilan, apalagi ketidakadilan suami terhadap isteri.[1]
Banyak ulama yang menyarankan supaya hadis tersebut tidak difahami secara h}arfiah/tektual. Must}afa Muhammad ’Imarah mengatakan bahwa laknat malaikat hanya terjadi jika penolakan isteri dilakukan dengan tanpa alasan. Wahbah al-Zuhaili juga mengatakan bahwa laknat dalam hadis tersebut juga harus diberi catatan: selagi isteri dalam keadaan longgar dan tidak dalam keadaan ketakutan. Al-Syirazi mengatakan bahwa meskipun pada dasarnya isteri tidak terangsang atau tidak mood, maka ia boleh menawarnya atau menangguhkannya sampai batas tiga hari. Bagi isteri yang sedang sakit, tidak wajib untuk melayani ajakan suami, sampai sakitnya hilang. Jika tetap memaksa ia bertentangan dengan mu asyarah bi al-ma’ruf dengan berbuat aniaya pada pihak yang semestinya dilindungi.
11. Grand Theori
Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata kemitraan berasal dari kata dasar mitra, yang berarti teman, kawan kerja, pasangan kerja serta rekan. Kemitraan diartikan sebagai : perihal hubungan (jalinan kerja sama) yg menunjukkan persamaan hak sebagai mitra.[2]
Kemitrasejajaran dalam keluarga adalah adanya sikap saling menghormati, saling membantu, saling menghargai, dan saling mengisi atas dasar saling asih, asah, dan asuh antara suami dan isteri. Dengan demikian, kemitrasejajaran dalam keluarga mengandung arti adanya jalinan hubungan yang harmonis antara suami dan isteri yang berdimensi kesetaraan.[3]
Pada hakekatnya hubungan suami dan istri, laki-laki dan perempuan adalah hubungan kemitraan. Dari sini dapat dimengerti mengapa ayat-ayat Al Qur’an menggambarkan hubungan laki-laki dan perempuan, suami dan istri sebagai hubungan saling menyempurnakan yang tidak dapat terpenuhi kecuali atas dasar kemitraan. Hal ini diungkapkan Kitab Suci Al Qur’an dengan istilah “ba’dhukum min ba’dhihi” (sebagian kamu (laki-laki) adalah sebahagian dari yang lain (perempuan). Istilah ini atau semacamnya dikemukakan kitab suci Al Qur’an baik dalam konteks uraiannnya tentang asal kejadian laki-laki dan perempuan (Q.S Ali Imran(3) : 195), maupun dalam konteks hubungan suami istri (Q.S al-Nisa(4) : 21) serta kegiatan-kegiatan sosial (Q.S al-Taubah(9) : 71). Dijelaskan pula dalam surat al-Baqarah ayat 187 tentang hubungan kemitraan suami istri merupakan hubungan timbal balik.[4]
Konsep kemitrasejajaran  dapat dibagi menjadi :
1.      Kemitrasejajaran secara normatif
Kemitrasejajaran antara pria dan wanita dalam ajaran Ilahi yang bersifat qath’i (fundamental) secara normatif adalah setara, kendati ada perbedaan biologis. Adapun ajaran yang bersifat juz’iyah (partikular) adalah ajaran yang bersifat kontekstual, terkait dengan dimensi, ruang dan waktu. Ajaran-ajaran ini bersifat danni (tida mutlak), bisa terjadi modifikasi atau tetap dipertahankan sebagaimana bunyi harfiahnya sehingga terwujud nilai-nilai keadilan bagi orang yang terkait, misalnya dalam kesaksian dan waris. 
2.      Kemitrasejajaran secara sosiologis[5]-antropologis[6]
Kemitrasejajaran pria dan wanita dalam kehidupan, baik lingkup keluarga maupun bermasyarakat mengalami pergeseran dan perbedaan yang signifikan secara sosiologis antropologis :
1.      Nomad (bangsa pengembara) termasuk masyarakat Arab ketika Al Qur’an diturunkan. Ketika kaum pria pulang dari berburu, berperang dan lain sebagainya membawa aset ekonomis dan politis. Sedangkan kaum wanita tidak ekonomis dan politis. Situasi inilah mengantarkan adanya dominasi pria dan wanita.
2.      Agraris.
Ketika secara ekonomis suatu pekerjaan tidak memerlukan otot kuat, tetapi dikarenakan alam, maka wanita lebih dominan atau setidaknya sejajar sehingga ada ungkapan ibu pertiwi. Hal ini adalah refleksi sosiologis antropologis yang serba murah kepadapenghuninya, seperti Dewi sri dan sebagainya.
3.      Modern, pada masyarakat ini tidak lagi pekerjaan didominasi oleh kekuatan nfisik, namun oleh ketrampilan wanita di rumah dengan industri rumahan, komputer, kerja di bank menjadi sama nilainya dengan kaum pria. Implikasinya pada aspek pendidikan, ekonomi dan politik.[7]
3.      Kepemimpinan rumah tangga
Di dalam sabda Rasul disebutkan bahwa suami adalah kepala keluarga, sedangkan istri juga disebut kepemimpinan di rumah suaminya. Keduanya bertanggung jawab atas pelaksanaan kepemimpinannya. Ini adalah pembagian tugas suami dan istri walau tidak dibatasi secara ketat, dengan pengertian bahwa yang lain tidak mau tahu dengan tugas-tugas lain selain tugasnya sendiri. Pengertian sabda Rasul tersebut menegaskan adanya kemitraan dalam peran dan tugas masing-masing di dalam pertanggung jawaban keluarga.

12.      Substansi Tema Hadith
Rasululah bersabda tentang tugas istri terhadap suami :
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
 تَابَعَهُ شُعْبَةُ وَأَبُو حَمْزَةَ وَابْنُ دَاوُدَ وَأَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ
Telah bercerita kepada kami Musaddad dari Abu>Awa>nah al-A’mash dari Abi> H}azim dari Abi>  Hurairah r.a. berkata : Rasulullah saw bersabda : “Bila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur kemudian si istri enggan memenuhi ajakannya, sehingga suami merasa kecewa hingga tertidur, maka sepanjang malam itu pula para malaikat akan melaknati istri itu hingga datangnya waktu shubuh.”
Hadith ini oleh kebanyakan masyarakat dipahami bahwa istri yang tidak mau melayani suami akan dilaknat malaikat. Hadith ini tidak bisa disimpulkan begitu saja, sebab, apabila suami mengajak istri untuk melakukan keinginannya, sedangkan istri dalam keadaan tidak mengizinkan (karena lelah atau lainnya) dan suami tetap memaksa, pada hakikatnya sumami tersebut telah melanggar prinsip mu’asyarah bil ma’ruf  tersebut. Dan pada hakikatnya kenikmatan dalam hubungan seksual suami istri merupakan sebagian efek (hasil) hubungan kemitraan.
Salah satu cara untuk mencapai keluarga sakinah adalah isteri melayani secara biologis. Jika ini telah terpenuhi, maka ketenangan batin dan lain sebagainya akan tercapai. Jadi, kalau hal itu tidak dimaksimalkan oleh isteri, maka itu akan mengancam perjalanan bahtera keluarga. Sehingga kata melaknat itu artinya mungkin seorang isteri yang tidak berusaha maksimal dalam meladeni suami. Jadi, laknat malaikat itu turun kepada isteri yang tidak melayani suami secara maksimal.
1.      Hak dan kewajiban antara suami dan istri
Selama ini, masih saja ada kesenjangan atau kerancuan daalm sebagian besar masyarakat yang belum bisa menerima kemitrasejajaran antara suami dan istri. Pengertian mitrasejajar tidak bisa dipahami dengan makna yang sama, persis dan serupa, tetapi kemitrasejajaran yang dimaksud di sini adalah suatu relasi yang berasaskan keadilan. Keadilan menurut Islam adalah terpenuhnya hak bagi yang memiliki secara sah, yang jika dilihat pada sudut pandang orang lain adalah kewajiban. Oleh karena itu, siapapun yang lebih banyak melakukan kewajiban atau yang memikul kewajiban lebih besar, dialah yang memiliki hak lebih dibanding yang lain. Sementara ini banyak anggapan bahwa beban suami atau beban produksi untuk mencari nafkah lebuh berat dari istri (beban reproduksi : mengandung, melahirkan dan menyusui). Oleh karena tidak ada yang tidak dapat dikatakan lebih berbobot antara hak dan kewajibannya, tetapi seimbang dan sejajar.[8]
Dalam kehidupan berkeluarga, agama Islam mempunyai falsafah yang khusus mengenai hak-hak serta kewajiban pria dan wanita. Dalam Islam tidak ada perbedaan atau perselisihan apakah pria dan wanita sama sebagai manusia atau tidak. Menurut Islam wanita dan pria adalah sama-sama manusia dan keduanya mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dan sejajar. Kesejajaran hak dan kewajiban antara pria dan wanita menempatkan keduanya pada kedudukan ytang sama dan persis. Menurut Murtadha Munthahari, hal ini disebut dengan keseragaman dan keidentikan hak wanita dan pria, bukan kesetaraan hak yang oleh Barat selalu disebut persamaan hak.[9]
2.      Dalam hubungan seksual
Di kalangan masyarakat pada umumnya terdapat kecenderungan bahwa yang lebih banyak menikmati hubungan seksual antara suami dan istri adalah suami, sementara pihak istri hanya dianggap sebagai pelayan. Padahal, kecocokan seksual anatara suami istri lebih berarti ketimbang mencari kepuasan nafsu. Lima belas abad yang lampau agama Islam telah memberikan bimbungan untuk menciptakan kemitraan dalm hubungan seksual suami istri tersebut. Nabi Muhammad saw sendiri mengatakan bahwa seks termasuk salah satu bentuk amal dalam Islam.
Hubungan seksual anatara suami dan istri merupakan hak dan kewajiban. Keduanya saling merasakan, bukan hanya sepihak. Hubungan seksual bagi suami atau istri adalah hak, sehingga merupakan kenikmatan baginya, sekaligus juga merupakan kewajiban, yaitu melayani dan menyenangkan. Apabila hubungan seksual bagi istri hanya merupakan kewajiban, maka tidak mustahil itu dirasakan sebagai beban atau bahkan bisa jadi sebuah penderitaan. Sayangnya, banyak di antara kaum istri yang menganggap hubungan ini hanya dirasakan sebagai kewajiban dan pembebnan belaka, ketimbang sebagai hak dan penikmatan atau kebahagiaan. Kewajiban mu’asyarah bil ma’ruf  dalam Al Qur’an surat al-nisa(4) : 18 termasuk juga kaitannya dengan hubungan seksual.[10]

13.      Pesan Moral
Dengan melihat realitas seksualitas, maka penulis menyimpulkan bahwa kepuasan seksualitas adalah hak dan kewajiban bersama, antara suami dan istri. Artinya jika salah satu membutuhkan dan tidak tersalurkan maka sebenarnya pada saat itu akan terjadi suasana yang tidak harmonis baik fisik maupun psikologis. Jika hal tersebut dipahami dengan benar maka angka perceraian akan turun dan problematika seksual akan berkurang.

14.      Penutup
Pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara seputar perempuan perlu dikaji ulang agar didapatkan pemahaman yang adil dan tidak diskriminatif terhadap perempuan.
Harus diakui bahwa agama Islam tidak merinci pembahagian antara laki-laki dan perempuan. Islam hanya menetapkan tugas-tugas pokok masing-masing, sambil menggariskan prinsip kesejajaran dan kemitraan atas dasar musyawarah dan tolong menolong. Ketiadaan rincian ini, mengantar setiap pasangan untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakatnya, serta kondisi masing-masing keluarga.
Al Qur’an tidak menceritakan secara kronologis mengenai asal-usul dan proses penciptaan laki-laki dan perempuan. AL Qur’an juga tidak memberikan pembahasan lebih terperinci tentang pembagian peran laki-laki dan perempuan. Namun tidak berarti Al Qur’an tidak mempunyai wawasan tentang jender. Perspektif jender dalam al Qur’an mengacu kepada semangat dan nilai-nilai universal. Adanya kecenderungan pemahaman bahwa konsep-konsep Islam banyak memihak kepada jender laki-laki, belum tentu mewakili sustansi ajaran Al Qur’an.[11]
Jadi, hadith tentang laknat malaikat terhadap isteri yang menolak ajakan suami, ditangkap sebagai indikasi bahwa seksualitas adalah kewajiban isteri hak suami masih perlu dilihat dan diintegrasikan dengan al Qur’an yang berbicara tentang seksualitas. Sebagaimana dikatakan oleh Shalahuddin bin Ah}mad al Adabi dalam bukunya Minhaj Naqd al-Matn, bahwa jika mempelajari hadis maka ada keharusan melihat al Qur’an sebagai rujukan. Ia mengatakan bahwa setiap hadis Nabi yang menyalahi makna/semangat teks al Qur’an, maka hadis itu dinilai bukan sebagai kata-kata Nabi. Selain merujuk pada al Qur’an yang tidak kalah pentingnya adalah melihat hadis-hadis Nabi dan al Qur’an yang menunjukkan egaliter dalam masalah seksual.











DAFTAR PUSTAKA


Subhan, Zaitunah. Tafsir kebencian Studi bias Gender dalam Tafsir Qur’an. Yogyakarta : LKiS. 1999.
Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Jender. Jakarta : Dian Rakyat. 2010.
Masdar Faried Mas’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan Dialog Fiqh Pemberdayaan . Bandung: Mizan, 1997.


[1] Masdar Faried Mas’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan Dialog Fiqh Pemberdayaan (Bandung: Mizan, 1997)
[3] Prof. DR. Nasaruddin Umar. Argumen Kesetaraan Jender. Jakarta : Dian Rakyat. 2010)
[4] Ibid.
[5] Sosiologis adalah ilmu yang untuk mengetahui segala perkembangan yang terjadi di masyaraakat (struktir social, stratifikasi social, konflik social, dan lain-lain).
[6] Antropologi adalah ilmu yang membahas hal-hal yang berkaitan dengan manusia (warna, visi,, kepercayaan dan lain-lain).
[7] Ibid. 99-100.
[8]DR. Zaitunah Subhan. Tafsir kebencian Studi bias Gender dalam Tafsir Qur’an. (Yogyakarta : LKiS. 1999). Hlm 132-133.   
[9] Hlm 135.
[10] Ibid 146.
[11] Ibid. 282

Previous
Next Post »
Thanks for your comment