TAKHRIJUL HADIST




TAKHRIJUL HADIST
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Hadist



KATA PENGANTAR

            Segala puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya dalam menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolonganNya mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan makalah ini dengan baik.
            Makalah ini disusun sebagai tugas dari mata kuliah Ulumul Hadits. Makalah ini disusun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah SWT. akhirnya makalah ini dapat terselesaikan. Makalah ini memuat tentang “Takhrijul Hadits”.
            Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu, teman-teman, dan semua pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini, sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas bagi penyusun maupun pembaca. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran guna perbaikan di kemudian hari. Terima Kasih.


Kediri,28 November 2016


Penyusun







BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang

             Takhrij Hadist merupakan langkah awal dalam kegiatan penelitian hadist. Pada masa awal penelitian hadist telah dilakukan oleh para ulama salaf yang kemudaian hasilnya telah dikodifikasikan dalam berbagai buku hadist. Mengetahui masalah takhrij, kaidah. dan metodenya adalah sesuatu yang sangat penting bagi orang yang mempelajari ilmu-ilmu syar’i, agar mampu melacak suatu hadist sampai pada sumbernya.
            Kebutuhan takhrij adalah perlu sekali, karena orang yang mempelajari ilmu tidak akan dapat membuktikan (menguatkan) dengan suatu hadist atau tidak dapat meriwayatkannya, kecuali setelah ulama-ulama yang telah meriwayatkan hadist dalam kitabnya dengan dilengkapi sanadnya, karena itu, masalah takhrij ini sangat dibutuhkan setiap orang yang membahas atau menekuni ilmu-ilmu syar’i dan yang sehubungan dengannya.

2.      Rumusan Masalah
1)      Bagaimana pengertian dari takhrijul hadits?
2)      Bagaimana metode-metode atau macam-macam takhrijul hadist?
3)      Bagaimana kitab-kitab yang diperlukan dalam takhrijul hadits?

3.      Tujuan Penulisan
1)      Mendeskripsikan pengertian takhrijul hadits
2)      Mendeskripsikan metode-metode takhrijul hadist
3)      Mendeskripsikan kitab-kitab yang diperlukan dalam takhrijul hadits


BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian Takhrijul Hadist
      Takhrij hadits adalah bagian dari kegiatan penelitian hadits.[1] Secara bahasa, takhrij berarti mengeluarkan, menampakkan, meriwayatkan,  melatih, dan mengajarkan. Takhrij secara bahasa berarti juga berkumpulnya dua perkara yang saling berlawanan dalam satu persoalan, namun secara mutlak diartikan oleh para ahli bahasa dengan arti mengeluarkan (al istinbath), melatih (at-tadrib), dan menghadapkan (at-taujih).[2] Sementara itu menurut terminologi atau istilah takhrij ialah penunjukan terhadap tempat hadis di dalam sumber aslinya yang dijelaskan sanad dan martabat sesuai keperluannya.[3] Sehubungan dengan itu, Prof. Dr. Abdul Muhdi mendefinisikan takhrij sebagai berikut :
1)      Pengertian takhrij
ذِكْرُالْاَحَا دِيْثِ بِاَ سَا نِيْدِ هَا
Menyebutkan beberapa hadits dengan sanadnya.
2)      Pengertian lain.
ذِكرُ اَسَانِيْدَ اُخْرَى لِاَحَا دِيْثِ كِتَابٍ ذُكِرَتْ اَ سَا نِيْدُهُ مِنْ بَابِ التَّقْوِ يَةِ
فِي الْاِسْنَادِ وَالزِّ يَادَةِ فِي الْمَتْنِ
Menyebutkan sanad-sanad lain beberapa hadis yang terdapat dalam sebuah kitab. Penyebutan beberapa sanad tersebut dalam suatu bab memperkuat posisi sanad dan menambah ragam matan.
3)      Pengertian takhrij setelah dibukukan.
عَزْوُ الْأَ حَادِيْثِ اِلَى الْكُتُبِ الْمَوْجُوْدَةِ فِيهَا مَعَ بَيَانِ الْحُكْمِ عَلَيْهَا
Menunjukkan asal beberapa hadis pada kitab-kitab yang ada (kitab induk hadis) dengan menerangkan hukumnya.

      Definisi pertama mendiskusikan keadaan sanad dan matan yang sebenarnya. Setelah ditelaah dari kitab sumber aslinya, sanad dan matan tersebut menjadi jelas. Definisi kedua menyebutkan beberapa sanad lain dari sebuah hadis dalam satu tema untuk memperkuat posisi sanad dan memperjelas kondisi matan. Jika ada yang lebih lengkap, akan saling menjelaskan maksud matan. Definisi ketiga menelusuri hadis dari berbagai sumber aslinya atau dari buku induk hadis untuk diteliti sanad dan matannya sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu hadis riwayah dan dirayah sehingga status hadis dapat ditemukan, baik secara kualitas maupun kuantitas. Buku induk hadis itu, seperti kitab Al-Jami’ Al-Shahih li Al-Bukhari, Al-Jami’ Al-Shahih li Muslim, Sunan Abi Dawud, Jami’ Al-Tirmidzi, Sunan Al-Nasa’I, Sunan Ibnu Majah, dan Musnad Al-Ahmad.
      Definisi terakhir inilah pada umumnya berlaku di perguruan tinggi islam dalam meningkatkan kualitas studi hadis yang lebih kritis dan ilmiah, yaitu dengan melakukan penelusuran ke buku induk hadis serta penelitian mutu sanad dan matan. Dengan demikian, takhrij memang tidak dapat dipisahkan dari penelitian hadis dan inti sebenarnya adalah penelitian itu sendiri.[4]

2.      Metode-Metode Takhrijul Hadits
      Dengan melihat proses mentakhrij yang digunakan oleh para muhadditsin dalam melacak hadits, ditemukan paling tidak terdapat lima metode takhrij yang dapat kita gunakan untuk mentakhrij hadis[5], yaitu :

1)      Takhrij bi al-lafzh (dengan kata)
2)      Takhrij bi al-maudhu’ (dengan topik)
3)      Takhrij bi awwal al-matn (dengan awal matan)
4)      Takhrij bi al-rawi al-a’la (dengan rawi paling atas)
5)      Takhrij bi al-shifah al-hadits (dengan status hadits) [6]
      Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan diuraikan tentang metode-metode yang digunakan untuk mentakhrij tersebut.
1)      Takhrij bi al-lafzh, yaitu penelusuran hadits melalui lafal matan, baik bagian awal, tengah maupun akhir.[7] Metode ini adalah berdasarkan pada kata-kata yang terdapat dalam matan hadis, baik berupa isim (nama benda) atau fi’il (kata kerja). Penggunaan metode ini akan lebih mudah manakala menitikberatkan pencarian hadis berdasarkan lafal-lafalnya yang asing dan jarang penggunaanya. Umpamanya, pencarian hadis sebagai berikut :
إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَهَى عَنْ طَعَامِ الْمُتَبَا رِيَنِ اَنْ يَأْ كُلَ
            Dalam pencarian hadis diatas pada dasarnya dapat ditelusuri melalui kata-kata naha (نَهَى), tha’am (طَعَامِ), yu’kal atau mutabariyani. Akan tetapi, dari sekian kata yang dapat dipergunakan, lebih dianjurkan untguk menggunakan kata al-mutabariyani (الْمُتَبَا رِيَنِ) karena kata tersebut jarang adanya.
            Menurut penelitian para ulama hadis, penggunaan kata  tabara (تَبَرَ) di dalam kitab induk hadis (yang berjumlah sembilan) hanya dua kali.[8]
a.       Kelebihan metode Takhrij bi al-lafzh
a)      Metode ini mempercepat pencarian hadis.
b)      Para penyusun kitab-kitab takhrij dengan metode ini membatasi hadis-hadisnya dalam beberapa kitab induk dengan menyebutkan nama kitab, juz, bab, dan halamannya.[9]
c)      Dengan sebatas mengetahui kosakata dalam hadis sudah dapat kita gunakan untuk mentakhrij.[10]

b.      Kekurangan metode Takhrij bi al-lafzh
a)      Proses pencarian akan terasa sulit jika kita tidak dapat menemukan akar kata dari lafadz yang akan kita cari.[11]
b)      Adanya keharusan memiliki kemampuan bahasa Arab beserta perangkat ilmunya secara memadai karena metode ini menuntut untuk mampu mengembalikan setiap kata kuncinya kepada kata dasarnya. Seperti kata muta’ammidan mengharuskan mencarinya melalui kata ‘amida.
c)      Metode ini tidak menyebutkan perawi dari kalangan sahabat yang menerima hadis dari Nabi SAW.[12]
2)      Takhrij bi al-maudhu’, yaitu penelusuran hadis yang didasarkan pada topik, seperti bab shalat, nikah dan jual beli.[13] Takhrij dengan metode ini, dituntut untuk menggunakan kecerdasan dan pengetahuan tentang fiqh hadis. Seorang pentakhrij diharuskan mampu memetakan hadis yang dicari sesuai dengan tema yang berkaitan dengan hadis yang dicari. Jika telah diketahui tema dan objek pembahasan hadis, maka bisa dibantu dalam takhrij-nya dengan karya-karya hadis yang disusun berdasarkan bab-bab dan judul-judul.[14] Sering kali suatu hadis memiliki lebih dari satu tema. Dalam kasus yang demikian, seorang mukharrij harus mencarinya pada tema-tema yang mungkin di kandung oleh hadis tersebut. Sebagai contoh adalah hadis dibawah ini :
بُنِيَ الإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ دَةِ اَنْ لَا اِله اِلاَّ اللهُ وَ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُاللهُ , وَاِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ و الصَّوْمِ رَمَضَانَ وَ حِجُّ البَيْتِ مَنِ اسْتَطَعَ اِلَيْهِ سَبِيْلاَ
Di bangun Islam atas lima (fondasi), yaitu kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad itu adalah Rasulullah, mendirikan shalat, membayarkan zakat, mempuasakan bulan Ramadhan, dan menunaikan haji bagi yang telah mampu.
            Hadis diatas mengandung beberapa tema, yaitu iman, tauhid, shalat, zakat, puasa dan haji. Berdasarkan tema tersebut, maka hadis diatas harus dicari di dalam kitab-kitab hadis di bawah tema-tema itu. Dari keterangan diatas, jelas bahwa takhrij dengan metode ini sangat tergantung kepada pengenalan terhadap tema hadis, sehingga apabila tema dari suatu hadis tidak diketahui, maka sulitlah untuk melakukan takhrij dengan menggunakan metode ini.[15]
a.       Kelebihan Metode Takhrij bi al-maudhu’
a)      Metode ini menuntut pengetahuan akan kandungan hadis, tanpa memerlukan pengetahuan tentang lafadz pertamanya, pengetahuan bahasa Arab dengan perubahan katanya atau pengetahuan lainnya.[16]
b)      Metode ini mengasah kecerdasan peneliti saat berusaha menemukan makna yang terkandung dalam hadis yang hendak dicari. Dengan menggunakan cara ini berulang-ulang akan memberikan ketajaman dalam memahami fiqh hadis.
c)      Metode ini juga akan memberikan informasi tentang hadis yang dicari dan hadis-hadis lain yang sesuai dengan topiknya.[17]
b.      Kekurangan Metode Takhrij bi al-maudhu’
a)      Jika makna yang terkandung tidak dapat ditemukan, maka metode ini tidak dapat dilakukan.
b)      Terkadang makna hadis yang difahami penyusun berbeda dengan yang difahami oleh pentakhrij, sehingga hadis tidak dapat ditemukan.[18]
3)      Takhrij bi awwal al-matn, yaitu penelusuran hadis dengan menggunakan permulaan matan.[19] Metode ini sangat tergantung kepada lafadz pertama matan hadis. Hadis-hadis dengan metode ini dikodifikasi berdasarkan lafadz pertamanya menurut urutan huruf-huruf hijaiyah, seperti hadis-hadis yang huruf pertamanya alif, ba’, ta’ dan seterusnya. Seorang mukharrij yang menggunakan metode ini haruslah terlebih dahulu mengetahui secara pasti lafadz pertama dari hadis yang akan di-takhrij-nya, setelah itu barulah dia melihat huruf pertamanya pada kitab-kitab takhrij yang disusun berdasarkan metode ini, dan huruf kedua, ketiga dan seterusnya.[20]
a.       Kelebihan Takhrij bi awwal al-matn
a)      Metode ini mempunyai kelebihan dalam hal memberikan kemungkinan yang besar bagi seorang mukharrij untuk menemukan hadis-hadis yang sedang dicari dengan tepat.
b)      Dapat dengan mudah melacak hadis dengan cepat jika sudah diketahui awal katanya.[21]
b.      Kekurangan Takhrij bi awwal al-matn
a)      Jika terjadi perubahan sedikit saja pada awal kata kita tidak akan mungkin bisa menemukan hadis yang kita cari.[22]
4)      Takhrij bi al-rawi al-a’la, yaitu penelusuran hadis melalui nama perawi pertama dalam sanad.[23] Metode ini berlandaskan pada perawi pertama suatu hadis, baik perawi tersebut dari kalangan sahabat, bila sanadnya muttashil sampai kepada Nabi SAW., atau dari kalangan tabi’in, apabila hadis tersebut mursal. Para penyusun kitab-kitab takhrij dengan metode ini mencantumkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh perawi pertama dari setiap hadis yang hendak di-takhrij, dan setelah itu barulah mencari nama perawi pertama tersebut dalam kitab-kitab itu, dan selanjutnya mencari hadis yang dimaksud di antara hadis-hadis yang tertera dibawah nama perawi tersebut.[24]
            Saat kita membuka kitab musnad, misalnya kitab musnad Imam Ahmad bin Hanbal akan kita dapatkan kitab tersebut tersusun hadis-hadisnya sesuai dengan perawi-perawinya. Jadi, tiap perawi di bawahnya terdapat hadis-hadis yang diriwayatkannya. Tinggal kita mencari hadis yang dimaksud yang berada di bawah nama sahabat tersebut.[25]
a.       Kelebihan Takhrij bi al-rawi al-a’la
a)      Lebih tepat dalam mendapatkan hadis yang dicari, karena langsung fokus pada hadis yang diriwayatkan oleh sahabat yang dimaksud.[26]
b)      Masa proses takhrij dapat diperpendek karena dengan metode ini diperkenalkan sekaligus para ulama hadis yang meriwayatkannya beserta kitab-kitabnya.
b.      Kekurangan Takhrij bi al-rawi al-a’la
a)      Membutuhkan kesabaran lebih saat mencari hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang meriwayatkan banyak hadis, karena harus mencari satu persatu dari sekian banyak hadis riwayat perawi yang dimaksud.
5)      Takhrij bi al-shifah al-hadits, yaitu penelusuran hadis berdasarkan status hadis.[27] Metode ini memberikan nuansa baru. Jika dalam hadis yang akan kita cari nampak sifat yang jelas akan jenis hadis tersebut, maka sifat itu dapat digunakan sebagai patokan dalam mencari hadis.
            Para ulama telah mengklasifikasikan hadis-hadis Nabi dalam kelompok-kelompok tertentu sesuai dengan jenisnya. Bagi peneliti tidak akan kesulitan tatkala hendak melacak hadis jika sudah ditemukan jenis hadis tersebut. Misalnya jika sudah diketahui hadis tersebut mutawatir, maka kita tinggal melacak di kitab kumpulan hadis mutawatir. Jika kategori hadis maudhu’ maka dicari di kitab kumpulan hadis-hadis maudhu’, dan demikian seterusnya.[28]
a.       Kelebihan Takhrij bi al-shifah al-hadits
a)      Metode ini cukup mudah dan simple, karena kitab yang digunakan mentakhrij tidak banyak sehingga melacaknya tidak terlalu sulit.
b.      Kekurangan Takhrij bi al-shifah al-hadits
a)      Cakupannya sangat terbatas, dikarenakan minimnya kitab yang dimuat dalam karya-karya sejenis tersebut.[29]

3.      Kitab-Kitab yang Diperlukan dalam Takhrijul Hadits
      Dalam melakukan takhrij hadis, kita memerlukan kitab-kitab yang berkaitan dengan takhrij hadis ini. Adapun kitab-kitab tersebut antara lain sebagai berikut :
1)      Hidayatul bari ila tartibi Ahaditsil Bukhari
            Penyusun kitab ini adalah Abdur Rohman Ambar Al-Misri At-Tahtawi. Kitab ini disusun khusus untuk mencari hadist-hadist yang termuat dalam Sokhikh Bukhori. Lafadz hadist disusun menurut aturan huruf abjad arab, namun hadist-hadist yang dikemukakan secara berulang dalam Sokhikh Bukhori tidak dimuat secara berulang dalam kamus di atas. Dengan demikian perbedaan lafadz dalam matan hadist riwayat Al-Bukhori tidak dapat diketahui melalui kamus tersebut.
2)      Mu’jam Al-Fadzi wala Siyyama Al-Gariibu Minha atau Fuhris litaribi Ahaditsi Shahihi Muslim
            Kitab tersebut merupakan salah satu juz ke-5 dari kitab Shahih Muslim yang disunting oleh Muhammad Abdul Baqi. Juz ke 5 ini merupakan kamus terhadap juz ke 1-4 yang berisi:
a)      Daftar urutan judul kitab, nomor hadist, dan juz yang memuatnya.
b)      Daftar nama para sahabat Nabi yang meriwayatkan hadist yang termuat dalam Shahih Muslim.
c)      Daftar awal matan hadist dalam bentuk sabda yang tersusun menurut abjad serta menerangkan nomor-nomor hadist yang diriwayatkan oleh Bukhori bila kebetulan hadist tersebut juga diriwayatkan oleh Bukhori.
3)      Miftahus Sahihain
            Kitab ini disusun oleh Muhammad Syarif bin Mustofa Al-Tauqiyah. Kitab ini dapat digunakan untuk mencari hadist-hadist yang diriwayatkan oleh Muslim, akan tetapi hadist-hadist yang dimuat dalam kitab ini hanyalah hadist-hadist yang berupa sabda saja. Hadist tersebut disusun menurut abjad dari awal lafadz matan hadist.[30]
4)      Al-Bughyatu fi Tartibi Ahaditsi Al-Hilyah
            Kitab ini disusun oleh Sayyid Abdul Aziz bin Al-Sayyid Muhammad bin Sayyid Siddiq Al-Qomari. Kitab hadist tersebut memuat dan menerangkan hadist-hadist yang tercantum dalam kitab yang disusun oleh Abu Nuaim Al-Asbuni (340 H) yang berjudul Hilyatul Auliyai wathabaqotul Asfiyani.
            Sejenis dengan kitab tersebut adalah kitab Miftahut Tartibi li Ahadisti Tarikhil Khotib yang disusun oleh Sayyid Ahmad bin Sayyid Muhammad bin Sayyid As-Shiddiq Al-Qomari yang memuat dan menerangkan hadist-hadist yang tercantum dalam kitab sejarah yang disusun oleh Abu Bakar bin Ali bin Subit bin Ahmad Al-Baghdadi yang dikenal dengan Al-Khotib Al-Bagdadi (436 H). Kitabnya diberi judul Tarikhu Baghdadi yang terdiri dari 4 jilid.
5)      Al-Jami’us Shagir
            Kitab ini disusun oleh Imam Jalaludin Abdurrohman As-Suyuthi (91 H). Kitab kamus hadist ini memuat hadist-hadist yang terhimpun dalam kitab himpunan hadist yang disusun oleh As-Suyuthi juga, yakni Jam’ul jawami’i.
            Hadist yang dimuat dalam kitab Jami’us Shogir disusun berdasarkan urutan abjad dari awal lafadz matan hadist. Sebagian dari hadist –hadist itu ada yang ditulis secara lengkap dan ada pula yang ditulis sebagian saja, namun telah mengandung pengertian yang cukup.
            Kitab hadist tersebut juga menerangkan nama-nama sahabat Nabi yang meriwayatkan hadist yang bersangkutan dengan nama-nama mukhorrij nya (periwayat hadist yang menghimpun hadist dalam kitabnya), selain itu hampir setiap hadist yang dikutip dijelaskan kualitasnya menurut penilaian yang dilakukan atau disetujui oleh As-Suyuthi.
6)      Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfadzil Hadis Nabawi
            Penyusun kitab ini adalah sebuah tim dari kalangan orientalis. Diantara anggota tim yang paling aktif dalam kegiatan proses penyusunan adalah Dr.Arnold John Wensink (939 M), seorang profesor bahasa semit, termasuk bahasa Arab di Universitas Leiden, Belanda.
            Kitab ini dimaksudkan untuk mencari hadist yang berdasarkan petunjuk lafadz matan hadist. Berbagai lafadz yang disajikan tidak dibatasi hanya lafadz-lafadz yang berada di tengah dan bagian-bagian lain dari matan hadist. Dengan demikian, kitab Mu’jam mampu memberikan informasi kepada pencari matan dan sanad hadist selama sebagian dari lafadz matan yang dicarinya itu telah diketahuinya.
            Kitab Mu’jam ini terdiri dari tujuh juz dan dapat digunakan untuk mencari hadist-hadist yang terdapat dalam sembilan kitab hadist, yakni Shahih Bukhori, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Turmudzi, Sunan An-Nasa‟i, Sunan, Ibnu Majah, Sunan Darimi, Muwatta Malik, dan Musnad Ahmad.[31]



BAB III
PENUTUP

1.      Kesimpulan
Takhrij hadits merupakan kegiatan penelitian suatu hadits baik dari segi sanad, rowi, maupun matan hadits.  Takhrij hadist mempunyai tujuan yaitu meneliti dan menjelaskan tentang hadist pada orang lain dengan menyebutkan para periwayat dalam sanad hadist tersebut. Manfa’at takhrij hadist sangat besar terutama bagi orang yang mempelajari hadist dan mendalami ulumul hadist.
Metode-metode takhrij antara lain yaitu dengan cara mengetahui sahabat yang meriwayatkan hadits, metode takhrij menurut lafadz pertama dari matan hadist,mencari hadist berdasarkan tema, metode takhrij menurut lafadz-lafadz yang terdapat dalam hadist, metode dengan meneliti perawi pertama.
Kitab yang diperlukan ketika melakukan takhrij hadits yaitu Hidayatul bari ila tartibi Ahadisil Bukhori, Mu’jam Al-Fadzi wala Siyyama Al-Garibu Minha atau Fahras litartibi Ahadisti Sokhikh Muslim, Miftahus Shokhihain, Al-Bughyatu fi Tartibi Ahadisti Al-Hiyah Al-Jamius Shogir, Al Mu’jam Al Mufahras li Al Alfadzi Hadist Nabawi.



DAFTAR PUSTAKA

Sahrani, Sohari. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia. 2015.
Al-Tahhan, Mahmud. Metode Takhrij Al-Hadith dan Penelitian Sanad Hadis. Surabaya: Imtiyaz. 2015.
Solahudin, M. dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 2013.
Khon, Abdul Majid. Takhrij dan Metode Memahami Hadis. Jakarta: Amzah. 2014.
Smeer, Zeid B.  Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis. Malang: UIN-Malang Press. 2008.


[1] Sohari Sahrani, Ulumul Hadits (Bogor: Ghalia Indonesia, 2015), 185.
[2] Mahmud Al-Tahhan, Metode Takhrij Al-Hadith dan Penelitian Sanad Hadis (Surabaya: Imtiyaz, 2015), 1-2.
[3] M. Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2013), 189.
[4] Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis (Jakarta: Amzah, 2014), 2-4.
[5] Zeid B, Smeer, Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis (Malang: UIN-Malang Press, 2008), 173.
[6] Khon, Takhrij, 8.
[7] Ibid., 8.
[8] Sohari, Ulumul Hadits, 196.
[9] Ibid., 196.
[10] Smeer, Ulumul Hadis, 175.
[11] Ibid., 175.
[12] Sohari, Ulumul Hadits, 197.
[13] Khon, Takhrij, 9.
[14] Smeer, Ulumul Hadis, 177.
[15] Sohari, Ulumul Hadits, 201.
[16] Ibid., 201-202.
[17] Smeer, Ulumul Hadis, 178.
[18] Ibid., 178.
[19] Khon, Takhrij, 9.
[20] Sohari, Ulumul Hadits, 194-195.
[21] Smeer, Ulumul Hadis, 174.
[22] Ibid., 174.
[23] Khon, Takhrij , 9.
[24] Sohari, Ulumul Hadits, 199.
[25] Smeer, Ulumul Hadis, 176.
[26] Ibid., 177.
[27] Khon, Takhrij , 9.
[28] Smeer, Ulumul Hadis, 178-179.
[29] Ibid., 179.
[30] Solahudin dan Agus, Ulumul Hadis, 194.
[31]Ibid., 195-196.

Previous
Next Post »
Thanks for your comment