MUQADDAM DAN MUAKHKHAR DALAM AL-QURAN

A.    Pendahuluan
Sebagaimana dimaklumi dan diyakini, al-Quran diturunkan Allah swt sebagai pembimbing dan petunjuk makhluk-makhluk-Nya di setiap waktu. Al-Quran juga akan mengantarkan mereka ke jalan yang lurus.[1]
Agar fungsi-fungsi al-Quran tersebut dapat terwujud, maka kita harus menemukan makna-makna firman Allah saat menafsirkannya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh sahabat Nabi saw. Mereka tidak akan melanjutkan bacaanya, sebelum memahami dengan tepat makna-makna ayat yang telah mereka baca.
Bagi seorang yang ingin memahami al-Quran ditunutu untuk memperhatikan berbagai aspek yang terkait dengannya,baik aspek intern maupun aspek ekstern. Sebab tidak sedikit ayat-ayat al-Quran yang memiliki sisi al-ghumud (samar), baik yang disebabkan oleh kemujmalan al-Quran maupun kemutasyabihannya. Salah satu aspek yang menjadikan pemahaman al-Quran kurang sempurna adalah minimnya pengetahuan tentang al-taqdim wa al-ta’khir (lafaz yang didahulukan dan yang diakhirkan).
Diskursus tentang al-taqdim wa al-ta’khir ini merupakan salah satu sisi kemujmalan al-Quran. Artinya bahwa kajian tentang tema inimerupakan sisi al-ghumud yang ditimbulkan oleh lafad-lafad yang mujmal dalam al-Quran. Pemahaman dalam hal ini, selain berpatokan pada teks al-Quran, juga harus memperhatikan cakupan pengertian dan keserasian makna yang ditunjuk oleh redaksi ayat-ayat al-Quran.


B.    Pengertian Al-Taqdim wa al-Ta’khir dalam Al-Quran
Taqdim dan ta’khir dalam al-Quran adalah penyebutan suatu lafad dengan mendahulukan atau mengakhirkan atas lafad yang lain. Jika penyebutannya mendahului, maka dalam hal ini adalah muqaddam. Sebaliknya, lafad yang disebutkan kemudian adalah muakhkhar.
 Secara esensial, jika lafad dalam redaksi al-Quran yang mengandung muqaddam-muakhkhar tersebut dibolak-balik, maka tidak mempengaruhi dari apa yang dikandung olehnya. Namun, kaidah muqaddam dan muakhkhar ini bisa mempertegas apa yang diinginkan oleh teks al-Quran sekaligus memperindah dalam segi redaksinya.
C.    Pembagian Muqaddam dan Muakhkhar dalam al-Quran
Menurut As-Suyuthi dalam al-Itqan fi Ulum al-Quran, bahwa diskursus tentang muqaddam dan muakhkhar sedikitnya mempunyai dua kajian pokok yang perlu diperhatikan:
a.    Kajian yang terkait dengan teks al-Quran yang secara dhahir sulit dipahami maknanya (musykil), namun setelah diketahui bahwa teks tersebut termasuk uslub (gaya bahasa) al-taqdim (yang didahulukan) dan al-ta’khir (yang diakhirkan), maka jelas dan hilanglah kesulitan itu. Para ulama salaf terkadang menyinggung pula tema ini, seperti terlihat pada beberapa riwayat berikut.
1.    Ibn Abu Hatim telah mengeluarkan sebuah riwayat dari Qatadah bin Nu’man sebagai berikut:
            
Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki akan mengazab mereka di dunia dengan harta dan anak-anak itu dan agar melayang nyawa mereka, dalam keadaan kafir. QS at-Taubah/9: 85
Menanggapi teks ayat di atas, Ibnu Hatim mengatakan bahwa teks tersebut termasuk teks yang di dalamnya terdapat struktur bahasa yang al-taqdim wa al-ta’khir. Menurutnya asal teks tersebut adalah sebagai berikut:
     الحياة          أي في الأخرة
2.    Ibnu Hatim juga mengeluarkan riwayat dari Qatadah tentang firman Allah SWT:
         
Dan Sekiranya tidak ada suatu ketetapan dari Allah yang telah terdahulu atau tidak ada ajal yang telah ditentukan, pasti (azab itu) menimpa mereka. QS. Thaha/20: 129
Menurutnya bahwa teks tersebut termasuk teks yang di dalamnya terdapat struktur bahasa yang al-taqdim wa al-ta’khir, yang asal ayat tersebut adalah:
         
3.    Demikian juga beliau mengeluarkan riwayat yang datangnya dari Ikrimah tentang firman Allah SWT
 •            
Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan. QS. Shad/28: 26.
Menurut Ibnu Hatim bahwa teks tersebut terdapat struktur bahasa yang al-taqdim wa al-ta’khir. Menurutnya, asal teks tersebut adalah
       
4.    Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang firman Allah:
     
Mereka berkata: "Perlihatkanlah Allah kepada Kami dengan nyata". QS. An-Nisa/4:153
Teks tersebut jika dilihat dari segi redaksinya seolah-olah mereka benar-benar melihat Allah, padahal yang mereka maksudkan adalah:
       
Yaitu permintaan mereka yang dilakukan secara terang-terangan. Kasus yang demikian termasuk al-taqdim wa al-ta’khir.
5.    Demikian juga firman Allah SWT dalam QS. Al-A’la/87: 4-5
           
Dan yang menumbuhkan rumput-rumputan,lalu dijadikan-Nya rumput-rumput itu kering kehitam-hitaman.
Lafad ghutsa’ yang terdapat dalam teks di atas berarti kering dan layu (jafan hasyiman). Sedangkan lafad ahwa berarti rumput yang semula hijau berubah menjadi kehitam-hitaman. Sebelum rumput menjadi hitam. Sudah tentu ia berwarna hijau. Atas dasar inilah teks ayat tersebut semula berbunyi:
        
Maksudnya adalah Allah menumbuhkn rerumputan yang semula berwarna hijau, kemudian menjadi kehitam-hitaman. Lafad ghutsa’ didahulukan dan lafad ahwa diakhirkan karena antara keduanya terdapat pemisah (fashilah).[2]

b.    Kategori yang kedua adalah kajian muqaddam-muakhkhar yang tidak terjadi makna yang ambigu (musykil). Syamsudin ibn al-Sha’igh menyatakan dalam karyanya al-Muqaddima fi al-Sirr al-Fadl al-Muqaddima bahwa kategori ini merupakan yang banyak terdapat dalam al-Quran. Ia menambahkan, dalam kategori ini, sesuatu yang di-taqdim-kan mempunyai segi yang lebih special. Ia juga mengindikasikan, dengan adanya taqdim-ta’khir ini juga mempunyai beberapa fungsi, di antaranya:[3]
Pertama, mancari berkah (tabarruk), seperti mendahulukan nama Allah dalam masalah yang penting. Seperti firman Allah:
                  
Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. QS Ali Imran/3: 18
Demikian juga surat al-Anfal/8: 41
     •                               
Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, Kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil[, jika kamu beriman kepada Allah dankepada apayang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, Yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Kedua, mengagungkan (ta’zhim), seperti
1)    Mendahulukan nama Allah daripada Rasul-Nya. Seperti firman Allah SWT QS. An-Nisa/4 : 69
           •         
Dan Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, Yaitu: Nabi-nabi, Para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya.
2)    Mendahulukan lafad Allah daripada lafad malaikat, seperti lafad dalam QS al-Ahzab/33 : 56.
•     •        
Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.
Ketiga, memulyakan (tasyrif), seperti
1)    Mendahulukan menyebut laki-laki (dzkir) atas wanita (untsa), seperti firman Allah:QS, al-Ahzab : 35;
•                           • •   
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin[1218], laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.
2)    Mendahulukan penyebutan orang-orang merdeka (hurr) atas budak (‘abd); QS. Al-Baqarah 178
              
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.

3)    Mendahulukan dalam menyebutkan lafad al-hayy (kehidupan) atas mayyit (kematian), seperti firman Allah QS, al-An’am/ 6: 95;
               
Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. (yang memiliki sifat-sifat) demikian ialah Allah, Maka mengapa kamu masih berpaling?
4)    Mendahulukan lafad al-khail (kuda) daripada baghal, seperti firman Allah QS. An-Nahl: 8
           
Dan (dia telah menciptakan) kuda, bagal dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.
5)    Mendahulukan lafad al-sam’u (pendengaran) atas al-bashar (penglihatan), seperti firman Allah SWT QS. Al-Isra: 36 [4]
•         
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
Ibnu Athiyah telah meriwayatkan dari al-Nuqas bahwa muqadaam muakhkhar ayat di atas menjelaskan argumentasi bahwa pendengaran lebih utama ketimbang penglihatan. Atas dasar inilah, ketika menyebutkan tentang sifat-sifat Allah, maha Mendengar didahulukan atas Maha Melihat, seperti pada ayat
      •  •   •   
Yang demikian itu, adalah karena Sesungguhnya Allah (kuasa) memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan bahwasanya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat.
6)    Mendahulukan penyebutan Nabi Muhammad atas nabi-nabi lainnya, sepeti firman Allah SWT dalam QS. Al-Ahzab: 7
   •               
Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil Perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka Perjanjian yang teguh.
Mendahulukan lafad al-rasul atas al-nabiy seperti firman Allah QS. Al-Hajj: 52
              •         
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasulpun dan tidak (pula) seorang Nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- nya.
7)    Mendahulukan lafad al-muhajirin atas ¬al-anshar seperti firman Allah QS. At-Taubah: 100:
 •     • 
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik,
8)    Mendahulukan lafad al-ins atas al-jinn QS. Al-Rahman: 39
         
Pada waktu itu manusia dan jin tidak ditanya tentang dosanya.
9)    Mendahulukan lafad al-nabiyin kemudian al-shadiqin, lalu syuhada, dan shalihin, seperti dalam surat an-Nisa: 68
             •       
Dan Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, Yaitu: Nabi-nabi, Para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya.
10)    Mendahulukan Nabi Ismail atas Nabi Ishaq,, karena Nabi Ismail lebih mulya. Di sisi lain, Nabi Muhammad berasal dari keturunan Ismail dan juga lebih tua. <sup><a href="#5">[5]</a></sup>
11)    Mendahulukan lafad Jibril atas Mikal, seperti dalam surat al-Baqarah: 98
            
Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, Maka Sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir.
12)    Mendahulukan lafad yang berakal (al-aqil) atas senua yang tidak berakal, seperti dalam surat Nazi’aat: 33
   
 (semua itu) untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.
Keempat, adanya kaitan yang erat (munasabah) lafad yang didahulukan dengan konteks (siyaq) pembicaraan, seperti firman Allah QS. An-Nahl: 6
         
Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan.
Sesungguhnya pandangan yang indah (jamal) akan terwujud disebabkan adanya keindahan yang lain. Meskipun pada yat tersebut disebutkan dua kesempatan memandang terbaik, yaitu ketik datang penggembalaan dan ketika datang dari penggembalaan pada penghujung siang yang lebih indah dan bangga karena binatang-binatang itu perutnya telah berisi. Hal ini berbeda ketika binatang tersebut hendak pergi pada awal siang karena perutnya kosong.
Demikian juga firman Allah QS. Al-Furqan: 67.
            
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.
Sifat berlebih-lebihan didahulukan atas sifat kikir karena konteks pembicaraannya terkait dengan masalah infaq.
Kelima, menunjukkan dorongan atau ajakan untuk melakukan sesuatu yang disebutkan lebi dahulu, seperti mendahulukan wasiat atas hutang. Seperti dalam surat an-Nisa : 11
      
… (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.
Meskipun secara syara’ bahwa hutang harus didahulukan daripada wasiat.
Keenam, menunjukkan keterdahuluannya (al-sabaq), baik yang menyangkut
1)    Waktu keberadaanya, seperti mendahulukan malam (lail) atas siang (nahar); mendahulukan kegelapan (zhulumat) atas cahaya (al-nur); mendahulukan Adam atas Nuh; dan Nih atas Ibrahim; Ibrahim atas Musa; Hud atas Isa; Dawud atas Sulaiman[6] ;  mendahulukan malaikat atas manusia (basyar) seperti dalam surat al-Hajj : 75,
      ••      
Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dari Malaikat dan dari manusia; Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat.
atau mendahulukan kaum Ad atas kaum Tsamud, dan istri-istri atas keturunannya, seperti firman Allah dalam surat al-Ahzab: 59, dan surat al-Qamar:18-32 serta surat al-Fajr: 6-9. Dua surat terakhir ini meceritakan umat-umat terdahulu yang dilaknat oleh Allah.
 •     
Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin…
 atau mendahulukan mengantuk (sinah) atas tidur (naum), , seperti firman-Nya QS. Al-Baqarah: 255
             
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur.
2)    Dari segi waktu turunnya, seperti firman Allah surat al-A’la: 19
     
 (yaitu) Kitab-Kitab Ibrahim dan Musa
3)    Dari segi kewajiban taklif, seperti mendahulukan ruku’ atas sujud QS. Al-Hajj: 77;
            
Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.
Mendahulukan membasuh wajah atas kedua tangan, dalam surat al-Maidah: 6;
                 
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki
Dan juga mendahulukan shafa  atas marwah,
Atas dasar inilah nabi saw bersabda, “Kami akan memulai dengan apa yang didahulukan Allah.”
4)    Dari segi dzat seperti matsna wa tsulatsa wa ruba’ (QS. An-Nisa: 3)
               
Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
Jadi tidak dimulai dari empat istri sekaligus kemudian berkurang ke jumlah yang lebih sedikit.
Ketujuh, menunjukkan kausalitas (sababiyah), seperti mendahuluka penyebutan lafad al-Aziz atas ¬al-Hakim. Ini artinya kaena Allah itu Mahamulia maka Dia Maha Bijaksana; juga mendahulukan penyebutan al-Alim atas al-Hakim, sebab kebijaksanaan muncul dari pengetahuan. Adapun mendahulukan al-Hakim atas al-Alim dalam surat al-An’am karena Allah Yang Mahabijaksana itu adalah sumber penetapan hukum hukum-hukum syara’(maqam tasyri’ al-ahkam).
Demikian juga mendahulukan ibadah atas istianah dalam surat al-Fatihah, karena ibadah menjadi sebab sampainya pertolongan. Demikian juga firman Allah QS. Al-Baqarah: 222, karena taubatlah yang membuat ia dapat mensucikan diri.
•     
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Karena dengan taubatlah yang menyebabkan ia dapat menyucikan diri.
Pendusta didahulukan atas pendosa disebabkan perbuatan dusta mengakibatklan seseorang menjadi berdosa.
    
Kecelakaan besarlah bagi tiap-tiap orang yang banyak berdusta lagi banyak berdosa, QS. Al-Jatsiyah: 7
Firman Allah SWT surat al-Nur: 30.
           
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka.
Menahan pandangan didahulukan penyebutannya daripada memelihara kemaluan karena dengannya dapat memelihara kemaluan.
Kedelapan, menunjukkan arti banyak (al-katsrah), seperti
1)    Mendahulukan orang kafir atas orang mukmin. Firman Allah dalam surat al-Taghabun: 2,
            
Dia-lah yang menciptakan kamu Maka di antara kamu ada yang kafir dan di antaramu ada yang mukmin. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
sebab orang-orang kafir dilihat dari segi kuantitasnya lenih banyak dibandingkan dengan irang beriman.
2)    Mendahulukan lafad al-dhalim atas al-muqtashid, dan sabiq al-khairat, seperti dalam surat Fathir : 32.
              
Lalu di antara mereka ada yang Menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. yang demikian itu adalah karunia yang Amat besar.
Mendahulukan orang yang menganiaya (dhalim) atas orang yang tengah-tengah (muqtashid ) dan orang yang berbuat baik (sabiq al-khairat), karena orang yang berbuat aniaya secara kuantitas lebih banyak daripada keduanya.
3)    Mendahulukan pencuri laki-laki (al-sariq) atas pencuri perempuan (sariqah), sebab pencuri laki-laki lebih banyak jumlahnya daripada pencuri perempuan, atau mendahulukan pezina laki-laki (al-zani) atas pezina perempuan (al-zaniyah). QS. An-Nur: 3
•       •             
4)    Mendahulukan rahmah atas azab, sebab rahmat Allah lebih banyak daripada azabnya. Oleh karena itu ada sebuah riwayat, “Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan kemurkaan-Ku.”
Kesembilan, urutan meningkat dari yang rendah (al-adna) kepada yang lebih tinggi (al-a’la), seperti firman Allah QS. Al-A’raf: 195.
                              
Apakah berhala-berhala mempunyai kaki yang dengan itu ia dapat berjalan, atau mempunyai tangan yang dengan itu ia dapat memegang dengan keras, atau mempunyai mata yang dengan itu ia dapat melihat, atau mempunyai telinga yang dengan itu ia dapat mendengar? Katakanlah: "Panggillah berhala-berhalamu yang kamu jadikan sekutu Allah, kemudian lakukanlah tipu daya (untuk mencelakakan)-ku. tanpa memberi tangguh (kepada-ku)".
Dimulainya penyebutan yang lebih rendah untuk tujuan peningkatan, sebab tangan (al-yadd) lebih mulya daripada kaki (rijl), mata (‘ain) lebih mulia daripada tangan, pendengaran (al-sam’u) lebih mulya daripda penglihatan (al-basharu).
Kesepuluh, urutan dari atas ke bawah, seperti firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah : 255, “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur.”

D.    Penutup
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa muqaddam muakhkhar dalam al-Quran seperti yang dibahas adalah dari segi penyebutan yang didahulukan katanya atas kata (kalimah) yang lain, dengan pemisah huruf athaf atau dengan pemisah kalimat (jumlah) yang lain. Bahkan, dengan menceritakan suatu kisah nabi tertentu kemudian disusul dengan kisah nabi lainnya, juga termasuk cakupan muqaddam-muakhkhar ini. Sehingga, seakan-akan pemisah-pemisah (fashilah) berfaedah ¬li tartib atas kata atau peristiwa yang dihubungkan itu.
Muqaddam-muakhkhar ini terdapat dua macam, yang pertama adalah kategori yang dapat menyulitkan makna jika belum diketahui bahwa dalam ayat tersebut terdapat lafad yang taqdim maupun ta’khir. Sedangkan yang kedua tidak tedapat kesulitan dalam memahami maknanya.
Dengan demikian, kajian ini sedikit berbeda dengan pembahasan Ilmu Nahwu yang membahas mengenai mubtada dan khabar yang didahulukan maupun yang diakhirkan. Kaedah muqaddam-muakhkhar al-Quran ini lebih berfungsi sebagai taukid dan muhassinah dari redaksinya.


DAFTAR PUSTAKA
Ashshiddiqi, T. M Hasbi, dkk. Al-Quraan dan Terjemahnya. Jakarta: Bumi Restu, 1977.
Ichwan, Mohammad Nor. Memahami Bahasa Al-Quran: Refleksi Atas Persoalan Linguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Alitqanfiulumalquran-Suyuti English.pdf.


[1]QS. Al-Isra’/17: 9
[2] Contoh lain ayat-ayat yang berkaitan dengan muqaddam muakhkhar adalah QS. Al-Kahfi/18: 1-2 ; QS. Ali Imran/3: 55 ; QS. An-Nisa/4 : 83 ; QS. Al-Jatsiyah/45: 23 ; QS. Hud/11: 71 ; QS. Yusuf/12: 24. Mohammad Nor Ichwan, memahami Bahasa Al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 236- 240.
[3]Alitqanfiulumalquran-Suyuti English.pdf., 108
[4] Selain dalam ayat tesebut, juga terdapat di ayat yang lain antara lain QS. Al-Baqarah/2: 7 ; QS. Al-An’am/6: 46. Ibid, 242.
[5]Salah satunya disebutkan dalam kisah penyembelihan Ismail, lalu kelahiran Ishaq. QS. Al-Shaffat: 100-113.
[6] QS. Al-A’raf: 11-171. Menceritakan nabi-nabi terdahulu menurut urutannya.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment