A.
Pendahuluan
Zaman
terus berubah dan berkembang. Dan kini, eksistensi kitab kuning dalam sorotan.
Di satu sisi, ia tetap menjadi materi wajib bagi umat Islam Klasik dalam
menjawab berbagai macam problematika kehidupan umat Islam. Mereka sepertinya
meyakini bahwa semua permasalahan umat masih bisa dijawab oleh
khazanah-khazanah klasik itu. Di sisi lain, semenjak abad ke-9 M,
sekelompok pemikir Islam yang telah jenuh dengan stagnasi yang dialami oleh filsafat ilmu Islam yang masih menggunakan pola fikir dogmatik, mistik dan sufistik, terutama dengan produk ilmu fiqih yang diaggap tidak rasionalis dan terkesan membelenggu ummat Islam sendiri terutama dari hasil produknya dalam mengembangkan hukum Islam yang kaku dan memaksa , berusaha beralih fikir dan mengembangkan tradisi ke-ilmuan baru yang menggunkan paradigma rasional dan empirik.
sekelompok pemikir Islam yang telah jenuh dengan stagnasi yang dialami oleh filsafat ilmu Islam yang masih menggunakan pola fikir dogmatik, mistik dan sufistik, terutama dengan produk ilmu fiqih yang diaggap tidak rasionalis dan terkesan membelenggu ummat Islam sendiri terutama dari hasil produknya dalam mengembangkan hukum Islam yang kaku dan memaksa , berusaha beralih fikir dan mengembangkan tradisi ke-ilmuan baru yang menggunkan paradigma rasional dan empirik.
Sebuah
pertanyaan besar yang ada di masa sekarang adalah, apakah fiqih klasik masih
dapat dan bisa digunakan sebagai solusi untuk menjawab persoalan-persoalan
ke-ummatan, sedangkan fiqih klasik adalah produk lama yang dimiliki ummat
Islam, dan dengan melihat motif, illat (sebab), dan kondisi sosial yang
jauh berbeda dengan masa sekarang, apakah pola fikir klasik juga tidak perlu
direkontruksi? Jawaban dari pertanyaan itulah yang mendasari pemikiran imajiner
tehadap kemunculan istilah fiqih kontemporer dengan berlandaskan dari sebuah ijtihad
kontemporer.
B.
Pembahasan
1.
Pengertian Madhhab Fiqh Kontemporer
Madhhab bisa diartikan dengan aliran pemikiran, school of thought
atau madrasah fikriyah, dalam bahasa Belanda disebiut dengan istilah richtungen.
Sedangkan secara terminologis, madhhab biasa didefinisikan sebagai hasil-hasil ijtihad atau pemikiran,
penafsiran para ulama’ yang kemudian dikumpulkan dan dinisbatkan tokohnya, atau
kecenderungannya atau masa periodesasinya.
Kata
fiqh sebenarnya berasal dari kata bahasa Arab, yaitu bentuk masdar dari akar
kata bentuk madhi faquha yang secara etimologis berarti mengerti,
mengetahui, memahami dan menuntut ilmu. Kata fiqh juga dianggap sinonim dengan
kata ilmu.
Pengertian fiqh di zaman Rasulullah SAW adalah seluruh yang dapat
dipahami dari nas} (ayat atau hadith), baik
yang berkaitan dengan masalah aqidah, hukum, maupun kebudayaan. Disamping itu,
fiqh pada periode ini bersifat aktual, bukan bersifat teori. Pada saat
munculnya empat pendiri madhhab fiqh dan kumpulan hasil-hasil karya
mereka inilah, diperkirakan istilah fiqh dipakai secara spesifik sebagai satu
disiplin ilmu hukum Islam sistematis, yang dipelajari secara khusus sebagaimana
dibutuhkannya spesialisasi untuk mendalami disiplin-disiplin ilmu yang lain.
Pengertian “kontemporer” biasanya dikaitkan dengan zaman yang
berlangsung sekarang. Istilah kontemporer ini seringkali dipakai untuk
menunjukkan periode yang tengah kita jalani sekarang, bukan periode yang telah
berlalu. Dalam konteks perkembangan fiqh, istilah masa kontemporer terkait
dengan situasi dan kondisi fiqh pada saat ini.
2.
Sejarah Perkembangan Madhhab Fiqh Kontemporer
Dalam menyusun sejarah pembentukan dan pembinaan hukum (fiqh) Islam
sejak zaman Rasulullah saw. sampai zaman modern, di kalangan ulama fiqh
kontemporer terdapat beberapa macam cara. Dua diantaranya yang terkenal adalah
cara menurut Syekh Muhammad Khudari Bek (mantan dosen Universitas Cairo) dan
cara Mustafa Ahmad az-Zarqa (guru besar fiqh Islam Universitas Amman, Yordania).[1]
1.
Periodisasi pembentukan hukum (fiqh) Islam oleh Syekh Muhammad
Khudari Bek dalam bukunya, Ta>ri>kh al-Tasyri>’
al-Isla>my (Sejarah
Pembentukan Hukum Islam). Ia membagi masa pembentukan hukum (fiqh) Islam dalam
enam periode, yaitu:
a. Periode awal, sejak Muhammad bin Abdullah diangkat menjadi
rasul.
b. Periode para sahabat besar.
c. Periode sahabat kecil dan thabi’in
d. Periode awal abad ke-2 H sampai pertengahan abad ke-4 H.
e. Periode berkembangnya mazhab dan munculnya taklid mazhab
f. Periode jatuhnya Baghdad (pertengahan abad ke-7 H oleh Hulagu
Khan [1217-1265] sampai sekarang).
2.
Periodisasi pembentukan hukum (fiqh) Islam oleh Mustafa Ahmad
az-Zarqa dalam bukunya, al-Madkhal al-Fiqhi al-’A<mm (Pengantar Umum fiqh Islam). Ia membagi periodisasi pembentukan
dan pembinaan hukum Islam dalam tujuh periode. Ia setuju dengan pembagian Syekh
Khudari Bek sampai periode kelima, tetapi ia membagi periode keenam menjadi dua
bagian, yaitu:
a. Periode sejak pertengahan abad ke-7 H sampai munculnya Majalah
al-Ah}kam al-’A<d}iyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Uthmani) pada tahun 1286 H.
b. Periode sejak munculnya Majalah al-Ah}kam
al-’A<d}iyyah sampai
sekarang. Secara lengkap periodisasi sejarah pembentukan hukum Islam menurut
Mustafa Ahmad az-Zarqa adalah sebagai berikut :
a. Periode
Pertama, masa Rasulullah saw.
Pada periode ini, kekuasaan pembentukan hukum berada di tangan
Rasulullah SAW. Sumber hukum Islam ketika itu adalah Al-Qur’an. Apabila ayat
Al-Qur’an tidak turun ketika ia menghadapi suatu masalah, maka ia, dengan
bimbingan Allah SWT menentukan hukum sendiri. Yang disebut terakhir ini
dinamakan sunnah Rasulullah SAW. Istilah fiqh dalam pengertian yang dikemukakan
ulama fiqh klasik maupun modern belum dikenal ketika itu. ilmu dan fiqh pada
masa Rasulullah SAW mengandung pengertian yang sama, yaitu mengetahui dan
memahami dalil berupa Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
b. Periode Kedua, masa al-Khulafa>’ ar-Ra>syidi>n (Empat Khalifah Besar) sampai pertengahan abad ke-l H.
Para sahabat dalam menghadapi berbagai masalah berupaya untuk
melakukan ijtihad dan menjawab persoalan yang dipertanyakan tersebut dengan
hasil ijtihad mereka. Ketika itu para sahabat melakukan ijtihad dengan
berkumpul dan memusyawarahkan persoalan itu. Apabila sahabat yang menghadapi
persoalan itu tidak memiliki teman musyawarah atau sendiri, maka ia melakukan
ijtihad sesuai dengan prinsip-prinsip umum yang telah ditinggalkan Rasulullah
SAW.
c. Periode Ketiga, pertengahan
abad ke-1 H sampai awal abad ke-2 H.
Periode
ini merupakan awal pembentukan fiqh Islam. Pada periode ini, pengertian fiqh
sudah beranjak dan tidak sama lagi dengan pengertian ilmu, sebagaimana yang
dipahami pada periode pertama dan kedua, karena fiqh sudah menjelma sebagai
salah satu cabang ilmu keislaman yang mengandung pengertian mengetahui
hukum-hukum syara’ yang bersifat amali (praktis) dari dalil-dalilnya yang
terperinci. Di samping fiqh, pada periode ketiga ini pun usul fiqh telah matang
menjadi salah satu cabang ilmu keislaman. Berbagai metode ijtihad,
seperti qiya>s dan istih}san telah dikembangkan oleh ulama fiqh.
d. Periode Keempat, Pertengahan abad
ke-2 sampai pertengahan abad ke-4H.
Periode ini disebut sebagai periode
gemilang karena fiqh dan ijtihad ulama semakin berkembang. Pada periode inilah
muncul berbagai mazhab, khususnya mazhab yang empat, yaitu Madhhab
Hanafi, Madhhab
Maliki, Madhhab
Syafi’i dan Madhhab Hanbali. Kitab-kitab fiqh
pun mulai disusun pada periode ini, dan pemerintah pun mulai menganut salah
satu Madhhab fiqh resmi negara, seperti dalam pemerintahan Daulah
Abbasiyah yang menjadikan fiqh Madhhab Hanafi sebagai pegangan para
hakim di pengadilan. Di samping sempurnanya penyusunan kitab-kitab fiqh dalam berbagai Madhhab
,dalam periode ini juga disusun kitab-kitab usul fiqh, seperti kitab al-Risalah
yang disusun oleh Imam Syafi’i.
e.
Periode Kelima, Pertengahan abad ke-4
sampai pertengahan abad ke-7 H.
Periode ini ditandai dengan menurunnya
semangat ijtihad di kalangan ulama fiqh, bahkan mereka cukup puas dengan
fiqh yang telah disusun dalam berbagai madhhab. Ulama lebih banyak
mencurahkan perhatian dalam mengomentari, memperluas atau meringkas masalah
yang ada dalam kitab fiqh madhhab masing-masing. Lebih jauh, Mustafa
Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa pada periode ini muncullah anggapan bahwa pintu
ijtihad sudah tertutup. Imam Muhammad Abu Zahrah menyatakan beberapa
penyebab yang menjadikan tertutupnya pintu ijtihad pada periode ini,
yaitu sebagai berikut:
1.
Munculnya sikap ta’a>s}s}ub madhhab (fanatisme madhhab imamnya) di kalangan pengikut madhhab. Ulama ketika itu merasa lebih
baik mengikuti pendapat yang ada dalam madhhab daripada
mengikuti metode yang dikembangkan imam madhhabnya untuk melakukan ijtihad.
2.
Dipilihnya para hakim yang hanya bertaqlid kepada suatu madhhab
oleh pihak penguasa untuk menyelesaikan persoalan, sehingga hukum fiqh yang
diterapkan hanyalah hukum fiqh madhhabnya, sedangkan
sebelum periode ini, para hakim yang ditunjuk oleh penguasa adalah ulama
mujtahid yang tidak terikat sama sekali pada suatu madhhab.
3.
Munculnya buku-buku fiqh yang disusun oleh masing-masing madhhab, hal
ini pun, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, membuat umat Islam mencukupkan diri
mengikuti yang tertulis dalam buku-buku tersebut. Sekalipun ada mujtahid yang
melakukan ijtihad ketika itu, ijtihadnya hanya terbatas pada mazhab
yang dianutnya.
Di samping itu,
menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, perkembangan pemikiran fiqh serta metode ijtihad
menyebabkan banyaknya upaya menguatkan
satu pendapat dari ulama dan
munculnya perdebatan antar madhhab di
seluruh daerah. Hal ini pun menyebabkan masing-masing pihak/ madhhab
menyadari kembali kekuatan dan kelemahan masingmasing.
f. Periode
Keenam, Pertengahan abad ke-7 H sampai munculnya Majalah
al-Ah}kam al-’A<d}iyyah pada
tahun 1286 H.
Periode ini diawali dengan kelemahan semangat ijtihad dan
berkembangnya taklid serta ta’a>s}s}ub (fanatisme) madhhab. Penyelesaian masalah fiqh tidak lagi
mengacu pada Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW serta pertimbangan tujuan
syara’ dalam menetapkan hukum, tetapi telah beralih pada sikap mempertahankan
pendapat madhhab secara jumud (konservatif). Upaya mentakhrij
(mengembangkan fiqh melalui metode yang dikembangkan imam madhhab) dan mentarjih} pun sudah mulai memudar. Pada akhir periode ini dimulai upaya
kodifikasi fiqh (hukum) Islam yang seluruhnya diambilkan dari madhhab
resmi pemerintah Turki Usmani (1300-1922) yaitu Mazhab Hanafi, yang dikenal
dengan Majalah al-Ah}ka>m al-’A>d}iyyah.
g. Periode Ketujuh, Sejak
munculnya Majalah
al-Ah}ka>m al-’A>d}iyyah sampai sekarang.
Ada tiga ciri pembentukan fiqh Islam pada
periode ini, yaitu:
1.
Munculnya Majalah
al-Ah}ka>m al-’A>d}iyyah sebagai hukum perdata umum yang
diambilkan dari fiqh Madhhab Hanafi;
2.
Berkembangnya upaya kodifikasi hukum Islam
3. Munculnya
pemikiran untuk memanfaatkan berbagai pendapat yang ada di seluruh madhhab,
sesuai dengan kebutuhan zaman.
Munculnya
kodifikasi hukum Islam dalam bentuk Majalah
al-Ah}ka>m al-’A>d}iyyah dilatarbelakangi oleh kesulitan para
hakim dalam menentukan hukum yang akan diterapkan di pengadilan, sementara
kitab-kitab fiqh muncul dari berbagai madhhab dan sering dalam satu
masalah terdapat beberapa pendapat. Memilih pendapat terkuat dari berbagai
kitab fiqh merupakan kesulitan bagi para hakim di pengadilan, di samping
memerlukan waktu yang lama. Oleh sebab itu, pemerintah Turki Usmani berpendapat
bahwa harus ada satu kitab fiqh/hukum yang bisa dirujuk dan diterapkan di
pengadilan. Untuk mencapai tujuan ini dibentuklah sebuah panitia kodifikasi
hukum perdata. Pada tahun 1286 H panitia ini berhasil menyusun hukum perdata
Turki Usmani yang dinamai dengan Majalah
al-Ah}ka>m
al-’A>d}iyyah
yang terdiri atas 1.851 pasal. Setelah berhasil dengan penyusunan Majalah al-Ah}ka>m al-’A>d}iyyah,
para penguasa di negeri-negeri Islam yang tidak tunduk di bawah kekuasaan Turki
Usmani mulai pula menyusun kodifikasi hukum secara terbatas, baik bidang
perdata, pidana, maupun ketatanegaraan.
Pada
abad ke-19 muncul berbagai pemikiran di kalangan ulama dari berbagai negara
Islam untuk mengambil pendapat-pendapat dari berbagai madhhab serta menimbang
dalil yang paling kuat diantara semua pendapat itu. Pengambilan pendapat
dilakukan tidak saja dari madhhab yang empat, tetapi juga dari para sahabat dan thabi’in,
dengan syarat bahwa pendapat itu lebih tepat dan sesuai. Bersumber dari berbagai pendapat atas pendapat terkuat dari
berbagai madhhab,
maka pada tahun 1333 H pemerintah Turki Usmani menyusun kitab hukum keluarga (al-Ah}wa>l
asy-Syakhs}iyyah)
yang merupakan gabungan dari berbagai pendapat mazhab. Di dalam al-Ah}wa>l
asy-Syakhs}iyyah
ini terdapat berbagai pemikiran mazhab yang dianggap lebih sesuai diterapkan.
Sejak saat itu bermunculanlah kodifikasi hukum Islam dalam berbagai bidang
hukum
Semangat
kodifikasi hukum (fiqh) Islam di berbagai negara Islam ikut didorong oleh
pengaruh hukum Barat yang mulai merambat ke berbagai dunia Islam. Pengaruh
hukum Barat ini menyadarkan ulama untuk merujuk kembali khazanah intelektual
mereka dan memilih pendapat madhhab yang tepat diterapkan saat ini. Lebih jauh lagi,
menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, di daerah yang berpenduduk mayoritas Islam,
upaya penerapan hukum Islam dengan beberapa penyesuaian dengan kondisi setempat
mulai berkembang. Di banyak negara Islam telah bermunculan hukum keluarga yang
diambil dari berbagai pendapat mazhab, seperti di Yordania, Suriah, Sudan,
Maroko, Afghanistan, Turki, Iran, Pakistan, Malaysia dan Indonesia.
3.
Fiqh Muqa>ran
Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya di zaman
modern, ulama fiqh mempunyai kecenderungan kuat untuk melihat berbagai pendapat
dari berbagai madhhab fiqh sebagai satu kesatuan yang tidak dipisahkan.
Dengan demikian, ketegangan antar pengikut madhhab mulai mereda,
khususnya setelah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah mencanangkan bahwa
pintu ijtihad tidak pernah tertutup, kemudian dilanjutkan oleh Muhammad
bin Abdul Wahhab (1115 H./1703 M.-1201 H./1787 M, pendiri aliran Wahabi di
Semenanjung Arabia) dan Muhammad bin Ali asy-Syaukani. Menurut Ibnu Qayyim
al-Jauziah, bermadhhab merupakan perbuatan bid'ah yang harus
dihindari, dan tidak satu orang pun dari imam yang empat (Imam Abu Hanifah,
Imam Malik, Imam asy-Syafi 'i dan Imam Ahmad bin Hanbali) membolehkannya. Sejak
saat itu, kajian fiqh tidak lagi terikat pada salah satu mazhab, tetapi telah
mengambil bentuk kajian komparatif dari berbagai mazhab, yang dikenal dengan
istilah fiqh muqa>ran.
Di zaman modern, fiqh muqa>ran dibahas ulama
fiqh secara komprehensif dan utuh, dengan mengemukakan inti perbedaan,
pendapat, dan argumentasi (baik dari nas} maupun rasio), serta kelebihan dan kelemahan
masing-masing madhhab, sehingga pembaca (khususnya masyarakat awam)
dengan mudah dapat memilih pendapat yang akan diambil.[2]
Langkah
kolosal yang ditempuh fiqih komtemporer lewat sebuah ijtihad baru adalah
mencoba melihat syariah Islam sebagai sumber nilai dan etika sosial, bukan
hanya sekedar sumber hukum.
Gagasan
fiqih komtemporer berusaha mengajukan alternatif agar fiqh klasik direformasi
dan direkonstruksi menjadi fiqih realitas (fiqhul al-waqi) dan fiqh
prioritas (fiqhul al-awlawiyat) . Kedua format ini muncul dari tuntutan
terhadap kebutuhan ijtihad baru yang harus dilakukan, seiring dengan kompleknya
permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat kekinian. Lebih lanjut gagasan fiqih
kontemporer yang dilahirkan melalui proses ijtihad kontemporer ini sebisa
mungkin dijadikan sinaran baru bagi problem ke-ummatan yang sedang aktual.
Dalam pandangan fiqih baru ini, syariah diharapkan tidak lagi bercorak vertikalistik,
yang hanya mengupas hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan proses ijtihad
ini di arahkan pada masalah-masalah kemanusiaan. Fiqih kontemporer harus
didesak ke arah problema-probelama aktual seperti, gender,
kewarganegaraan, aborsi, jual beli organ tubuh, serta masalah aktual yang lain
. Dengan mendinamiskan format fiqih yang seperti ini, diharapkan menjadi
langkah awal untuk merekonstruksi syariah dari wajahnya yang statis, eksklusif
dan diskriminatif menjadi wajah syariah yang dinamis, eksklusif, egaliter, rasional,
empirik dengan tetap bermuara pada ranah transedental .[3]
4.
Pengaruh Dan Perkembangan Mazhab di Indonesia[4]
Berkembangnya
Syari'at agama Islam keseluruh penjuru dunia termasuk Indonesia yang dibawa
oleh Rasulullah saw yang kemudian dilanjutkan oleh para sahabatnya dan
diperluas lagi oleh para Tabi', Tabi' Tabi'in, serta para ulama sebagai penerus
risalah Rasulullah saw.
Banyaknya
kitab-kitab yang beredar di Indonesia baik yang berbahasa Arab ataupun yang
sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dan pemuda-pemuda daerah yang
belajar ke negara Arab telah mengabdikan dirinya kepada masyarakat dengan
mengajarkan ilmu-ilmu agama, sehingga masyarakat faham dan mengerti akan ajaran
agama Islam. Dengan ajaran-ajaran tersebutlah maka masyarakat sudah
terkontaminasi dengan ajaran-ajaran para pengikut mazhab. Dan bangsa Indonesia
terkenal dengan pengikut madhhab Syafi'inya, karena banyaknya
kitab-kitab yang beredar di Indonesia dengan pengajaran yang bermazhabkan Imam
Syafi'i, bukan berarti tidak adanya pengaruh dari mazhab-mazhab yang lainnya
seperti mazhab Maliki, Hanafi, Hambali dan sebagainya.
Kalau kita
perhatikan organisasi Nahdhatul Ulama (NU) yang mengambil istinbath
suatu hukum dengan memakai madhhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i,
dan Hambali). Adapun organisasi Muhammadiyah mengambil suatu hukum
dengan cara Tarjih} yang dikeluarkan oleh Dewan Tarjih} mereka sendiri. Sedangkan Al-Washliyah mengambil istinbat
suatu hukum dengan menggunakan madhhab Syafi'i. Masyarakat awam sering
berselisih dengan berbedanya madhhab - madhhab ataupun organisasi
yang ada, hanya dikarenakan berbedanya pendapat antara satu madhhab
dengan madhhab lainnya, seperti halnya NU dan Muhammdiyah atau lainnya.
Inilah pengaruh madhhab yang masih belum dimengerti dan dipahami oleh
masyarakat kita sendiri. Dan pada masa sekarang ini bukan saja dari madhhab
yang empat ini sudah berkembang di Indonesia bahkan sudah menjalar kepada madhhab-madhhab
lainnya seperti syi’ah dan lain-lainnya.
C.
Penutup
Demikianlah
sejarah lahirnya madhhab kontemporer dalam Islam, ia adalah fenomena
yang normal dalam sesuatu ajaran. Syari’ah Islam tidak bersifat Jumud ia
akan berkembang mengikut perubahan zaman dan pintu ijtihad sentiasa
terbuka bagi para mujtahid bagi menangani permasalahan yang timbul dalam
masyarakat Islam. Madhhab dalam Islam bukan sesuatu yang sakral dan
harus diikuti dan dipatuhi seratus peratus, ini kerana mereka hanya berijtihad
dan ijtihad ada yang betul, ada yang salah yang mana kedua-duanya tetap
mendapat pahala.
Fiqih kontemporer seakan memberikan solusi yang amat sangat
signifikan untuk menjawab masalah-masalah ke-ummmatan yang terjadi pada masa
kekinian. Diharapkan dalam format fiqih kontemporer kita sebagai manusia yang
aktif dengan berbagai perkembangan yang mengikuti lebih dapat dihargai
eksistensinya, dengan segala kekekurangan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
cybermq.com. makalah-kampus.blogspot.com/.../sejarah-perkembangan-fiqh_24.ht.
diakses pada tanggal 27 Nopember 2012.
http://darussholahjember.blogspot.com/2011/05/fiqih-klasik-vis-vis-fiqih-kontemporer.html.
diakses pada tanggal
27 Nopember 2012.
Hasan, Ali. Perbandingan
Mazhab. Jakarta: PT Raja Garafindo Persada. 1996.
http://bobhasan.wordpress.com/2011/08/12/perkembangan-fiqih/. Diakses pada tanggal 27 Nopember 2012.
[1] http://bobhasan.wordpress.com/2011/08/12/perkembangan-fiqih/. Diakses pada tanggal 27 Nopember 2012.
[2] cybermq.com. makalah-kampus.blogspot.com/.../sejarah-perkembangan-fiqh_24.ht.
diakses pada tanggal 27 Nopember 2012.
[4] Ali Hasan. Perbandingan Mazhab. (Jakarta: PT Raja
Garafindo Persada. 1996.)
ConversionConversion EmoticonEmoticon