BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Seiring berkembangnya zaman didunia, kita umat Islam banyak yang tidak meremehkan apa itu hukum Islam. Dalam makalah ini, kami membahas tentang pengertian Maqasid As-Shari’ah dan metode penerapannya.
B.
Rumusan
masalah
1. Apa
pengertian Maqasid As-Shari’ah?
2. Bagaimana
metode penetapan hukum melalui Maqasid As-Shari’ah?
BAB II
PEMBAHASAN
A
. Maqasid Shari’ah
1.
Pengertian
[1]Dari
segi bahasa maqashid al-syari’at
berarti maksud tujuan yang disyari’atkan hukum Islam. Karena itu, yang menjadi
bahasan utama didalamnya adalah mengeni masalah hikmat dan ilat
ditetapkannya suatu hukum. Kajian tentang tujuan ditetapkannya hukum Islam
merupakan kajian yang menarik dalam bidang ushul fiqh. Dalam perkembangan
berikutnya, kajian ini merupakan kajian utama dalam filsafat hukum Islam.
Sehingga dapat dikatakan bahwa istilah
maqasid al-syari’atidentik dengan istilah filsafat hukum Islam. Istilah
yang disebut akhir ini melibatkan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang tujuan
ditetapkan suatu hukum.
[2]Maqasid
al-syari’ah ialah tujuan al-syari'(Allah SWT dan Rosulullah SAW) dalam
menetapkan hukun islam. Tujuan tersebut dapat ditelusuri dari nash Al-Qur’an
dan Sunnah Rosulullah SAW., sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang
berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.
Bila kita meniliti semua Kitabullah dan
Sunnah Rosulullah Saw. Yang terumus dalam fiqh, akan terlihat semuanya
mempunyai tujuan pensyari’atan. Semuanya untuk kemaslahatan manusia,
sebagaimana dijelaskan dalam surah Al-Anbiya (21): 107:
وما أرسلنك إلا رحمة للعلمين
Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk
menjadi Rahmat bagi semesta alam.
Rahmat dalam
ayat diatas dimaksudkan adalah kemaslahatan untuk semesta alam, termasuk
didalamnya manusia.
2. Prinsip-prinsip
Maqasid Shari’ah
Tujuan syari’ dalam mensyari’atkan ketentuan-ketentuan hukum kepada
orang-orang mukallaf adalah dalam upaya mewujudkan kebaikan-kebaikan bagi
kehidupan mereka, baik melalui ketentuan-ketentuan yang daruriy, hajiy, tahsiniy.[3]
Syatibi berpandangan bahwa tujuan utama
dari syariah adalah untuk menjaga dan memperjuangkan tiga kategori hukum,
tujuan dari tiga kategori tersebut ialah untuk memastikan bahwa kemaslahatan
kaum Muslimin baik didunia maupun diakhirat terwujud dengan cara yang terbaik
karena Tuhan berbuat baik demi kebaikan hamba-Nya[4]
a. Al-Maqasid
ad-Daruriyyat secara bahasa artinya adalah kebutuhan yang mendesak. Dapat
dikatakan aspek-aspek kehidupan yang sangat penting dan pokok demi
berlangsungnya urusan-urusan agama dan kehidupan manusia secara baik.
Daruriyyat dilakukan dalam dua pengertian yaitu, pada satu sisi kebutuhan itu
harus diwujudkan dan diperjuangkan, sementara disisi lain segala hal yang dapat
menghalangi pemenuhan kebutuhan tersebut harus disingkirkan
b. Al-Maqasid
al-Hajiyyat secara bahasa artinya kebutuhan. Dapat dikatakan adalah aspek-aspek
hukum yang dibutuhkan untuk meringankan beban yang teramat berat, sehingga
hukum dapat dilaksanakan dengan baik.
c. Al-Maqasid
at-Tahsiniyyat secara bahasa berarti hal-hal penyempurna. Menunjuk pada
aspek-aspek hukum seperti anjuran hukum untuk memerdekakan budak, berwudhu’
sebelum sholat, bersedekah kepada orang miskin dan sebagainya.[5]
Salah satu bagian penting dari pembagian
hukum adalah kesediaan untuk mengakui bahwa kemaslahatan yang dimiliki manusia
didunia dan diakhirat dipahami sesuatu yang relatif, tidak absolut. Dengan kata
lain , krmaslahatan tidak akan diperoleh tanpa mengorbankan sedikitpun. Tujuan
dari pada hukum adalah untuk melindungi dan mengembangkan perbuatan-perbuatan
yang lebih banyak kemaslahatannya, dan melarang perbuatan-perbuatan yang
diliputi bahaya dan memerlukan pengorbanan yang tidak semestinya.
Kemaslahatan yang ingin diselesaikan
adalah yang memeliki syarat seperti berikut:
a. Masalah
itu harus real atau berdasarkan prediksi yang kuat dan bukan hayalan.
b. Maslahat
yang ingin diwujudkan harus benar-benar dapat diterima akal.
c. Harus
sesuai dengan tujuan syari’at, dan tidak bertentangan dengan prinsip umum
syari’at.
d. Mendukung
realisasi masyarakat daruriyyat atau menghilangkan kesulitan yang berat dalam
agama.
Adapun
manfaat mempelajari maqasid Shari’ah ialah sebagai berikut:
a. Mengungkapkan
tujuan, alasan, dan hikmah tasyri’
baik yang umum atau khusus.
b. Menegaskan
karakteristik Islam yang sesuai dengan tiap zaman.
c. Membantu
ulama berijtihad dalam bingkai tujuan syari’at Islam.
d. Mempersempit
perselisihan dan ta’sub diantara pengikut-pengikut mazab fikh.
Syari’
dalam menciptakan syari’at (undang-undang) bukanlah sembarangan, tanpa arah,
melaikan bertujuan untuk merealisir kemaslahatan umum, memberikan kemanfaatan
dan menghindarkan ke-mafsadah-an, bagi umat manusia.
Mengetahui tujuan umum diciptakan
perundang-undangan itu sangat penting agar dapat menarik hukum suatu peristiwa
yang sudah ada nashnya secara tepat dan benar dan selanjutnya dapat menetapkan
hukum peristiwa-peristiwa yang tidak ada nashnya.[6]
3.
Pelengkap
Maqasid Shari’ah
a. Pelengkap
Maqasid ad-Daruriyyat
Ketika
Tuhan mensyariatkan sholat untuk menegakkan dan memelihara unsur agama, syari’
memerintahkan agar sholat itu dikumandangkan dengan adzan sesudah masuk waktu
dan dikerjakan dengan berjamaah sebagai kelengkapannya.
Tuhan
menetapkan hukum qishash untuk memelihara jiwa seseorang. Agar tercapai maksud
semula tanpa menimbulkan akses yang berlebihan dan permusuhan baru.
Tatkala
syariat mengharamkan minum khamr untuk memelihara akal, maka syariat menetapkan
keharamannya itu secara mutlak, sekalipun sedikit atau tidak sampai memabukkan
peminumnya tetap diharamkan.
b. Pelengkap
Maqasid Hajiyyat
Tatkala syara’ memberikan kemurahan
kepada orang yang sedang bepergian untuk meng-qashar sholat lalu disempurnakan
dengan diperbolehkan men-jama’.
Syara’ memperbolehkan orang tua untuk
menikahkan anak perempuannya yang belum dewasa, lalu kebolehan anak itu
disempurnakan dengan memberikan syarat adanya kafa’ah (seimbang) antara
anak yang bakal dinikah dengan calon suaminya dan mas kawinnya harus mahar mistil
(mas kawin yang nilainya sesuai dengan kondisi sosial keluarga sang istri).
c. Pelengkap
Maqasid Tahsiniyyat
Syari’
mewajibkan bersuci untuk menegakkan urusan tahsiny kemudian kewajiban bersuci
itu disempurnakan dengan aturan-aturan sunad bagi bersuci.
Tatkala
syari’ mensunatkan menyembelih hewan kurban, disempurnakan perintah itu agar
binatang yang dikurbankan dipilih dari binatang yang tidak cacat.
B.
Metode Penetapan Hukum Melalui Maqasid Shari’ah
[7]Guna
memperoleh gambaran yang utuh tentang maqasid al-syari’ah, berikut akan
dijelaskan kelima pokok kemaslahatan dengan peringkatnya masing-masing:
a. Memelihara
Agama (Hifzh Al-Din)
Menjaga atau memelihara
agama, berdasarkan kepentingannya, dapat dibedakan menjadi 3 peringkat:
1) Memelihara
agama dalam peringkat daruriyyat, yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban
keagamaan, seperti melaksanakan sholat lima waktu. Kalau shalat itu diabaikan,
maka akan terancamlah eksistensi agama.
2) Memelihara
Agama dalam peringkat hajiyyat, yaitu melaksanakan ketentuan agama,
dengan maksud menghindari kesulitan, seperti shalat jamak dan shalat qashar
bagi orang yang sedang bepergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka
tidak akan mengancam eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit orang
yang melakukannya.
3) Memelihara
agama dalam peringkat tahsiniyyat, yaitu mengikuti petunjuk agama guna
menjunjung tinggi martabat manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban
terhadap tuhan, misalnya menutup aurat, baik didalam maupun diluar shalat,
membersihkan badan, pakaian, dan tempat. Kegiatan ini erat kaitannya dengan
akhlak terpuji. Kalau hal ini tidak mungkin dilakukan, maka hal ini tidak mengancam
eksistensi agama dan pula tidak mempersulit orang yang melakukannya.
b. Memelihara
Jiwa (Hifzh Al-Nafs)
Memelihara jiwa,
berdasarkan tingkat kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
1) Memelihara
jiwa dalam peringkat daruriyyat, seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa
makanan untuk mempertahankan hidup.
2) Memelihara
jiwa dalam peringkat hajiyyat, seperti diperbolehkan berburu binatang untuk
menikamti makanan yang lezat dan halal.
3) Memelihara
jiwa dalam peringkat tahsiniyyat, seperti ditetapkannya tata cara makan dan
minum.
c. Memelihara
Akal (Hifzh Al-‘Aql)
Memelihara akal,
dilihat dari segi kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
1) Memelihara
akal dalam peringkat daruriyyat, seperti diharamkan meminum minuman keras.
2) Memelihara
akal dalam peringkat hajiyyat, seperti dianjurkannya menuntut ilmu pengetahuan.
3) Memelihara
akal dalam peringkat tahsiniyyat, seperti menghindarkan diri dari menghayal
atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah.
d. Memelihara
Keturunan (Hifzh Al-Nasl)
Memelihara keturunan,
ditinjau dari segi tingkat kebutuhannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
1) Memelihara
keturunan dalam bentuk daruriyyat, seperti disyari’atkan nikah dan dilarang
berzina.
2) Memelihara
keturunan dalam peringkat hajiyyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan
mahar bagi suami pada waktu akad nikah dan diberikan hak talaq padanya.
3) Memelihara
keturunan dalam peringkat tahsiniyyat, seperti disyari’atkan khitbah atau
walimat dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan
perkawinan.
BAB III
KESIMPULAN
Maqasid al-syari’ah ialah tujuan
al-syari'(Allah SWT dan Rosulullah SAW) dalam menetapkan hukun islam. Tujuan
tersebut dapat ditelusuri dari nash Al-Qur’an dan Sunnah Rosulullah SAW.,
sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada
kemaslahatan umat manusia.
Metode penetapan hukum melalui
Maqasid As-Shari’ah adalah sebagai berikut :
a. Memelihara
Agama (Hifzh Al-Din)
b. Memelihara
Jiwa (Hifzh Al-Nafs)
c. Memelihara
Akal (Hifzh Al-‘Aql)
d. Memelihara
Keturunan (Hifzh Al-Nasl)
DAFTAR PUSTAKA
Djamil,
Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam. Ciputat:
Logos Wacana Ilmu,1997
Madani. Ushul Fiqh. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2013
Djamil, Fathurrahman. Filsafat
Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997
[1]Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Ciputat: Logos
Wacana Ilmu,1997), h 123.
[2]Madani, Ushul Fiqh, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), h 333
[3] M Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2013), h 105
[4] M Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2013), h 105
[5] Ibid, h 106
[6] M Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2013), h 106-108
[7]Fathurrahman
Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h 128
ConversionConversion EmoticonEmoticon