TAKHRIJUL
HADIST
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul
Hadist
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya
dalam menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolonganNya
mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Makalah ini disusun sebagai tugas dari mata kuliah Ulumul
Hadits. Makalah ini disusun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Namun
dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah SWT. akhirnya makalah
ini dapat terselesaikan. Makalah ini memuat tentang “Takhrijul Hadits”.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada dosen
pengampu, teman-teman, dan semua pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah
ini, sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Semoga makalah ini
dapat memberikan wawasan yang lebih luas bagi penyusun maupun pembaca. Oleh
karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran guna perbaikan di kemudian
hari. Terima Kasih.
Kediri,28 November 2016
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Takhrij Hadist merupakan langkah awal dalam
kegiatan penelitian hadist. Pada masa awal penelitian hadist telah dilakukan
oleh para ulama salaf yang kemudaian hasilnya telah dikodifikasikan dalam
berbagai buku hadist. Mengetahui masalah takhrij, kaidah. dan metodenya adalah
sesuatu yang sangat penting bagi orang yang mempelajari ilmu-ilmu syar’i, agar
mampu melacak suatu hadist sampai pada sumbernya.
Kebutuhan
takhrij adalah perlu sekali, karena orang yang mempelajari ilmu tidak akan
dapat membuktikan (menguatkan) dengan suatu hadist atau tidak dapat
meriwayatkannya, kecuali setelah ulama-ulama yang telah meriwayatkan hadist
dalam kitabnya dengan dilengkapi sanadnya, karena itu, masalah takhrij ini
sangat dibutuhkan setiap orang yang membahas atau menekuni ilmu-ilmu syar’i dan
yang sehubungan dengannya.
2.
Rumusan Masalah
1)
Bagaimana pengertian dari
takhrijul hadits?
2)
Bagaimana metode-metode atau
macam-macam takhrijul hadist?
3)
Bagaimana kitab-kitab yang
diperlukan dalam takhrijul hadits?
3.
Tujuan Penulisan
1)
Mendeskripsikan pengertian
takhrijul hadits
2)
Mendeskripsikan
metode-metode takhrijul hadist
3)
Mendeskripsikan kitab-kitab
yang diperlukan dalam takhrijul hadits
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Takhrijul Hadist
Takhrij hadits adalah
bagian dari kegiatan penelitian hadits.[1]
Secara bahasa, takhrij berarti mengeluarkan, menampakkan, meriwayatkan, melatih, dan mengajarkan. Takhrij secara
bahasa berarti juga berkumpulnya dua perkara yang saling berlawanan dalam satu
persoalan, namun secara mutlak diartikan oleh para ahli bahasa dengan arti
mengeluarkan (al istinbath), melatih (at-tadrib), dan menghadapkan (at-taujih).[2]
Sementara itu menurut terminologi atau istilah takhrij ialah penunjukan
terhadap tempat hadis di dalam sumber aslinya yang dijelaskan sanad dan
martabat sesuai keperluannya.[3]
Sehubungan dengan itu, Prof. Dr. Abdul Muhdi mendefinisikan takhrij
sebagai berikut :
1)
Pengertian takhrij
ذِكْرُالْاَحَا
دِيْثِ بِاَ سَا نِيْدِ هَا
Menyebutkan beberapa hadits dengan sanadnya.
2)
Pengertian lain.
ذِكرُ اَسَانِيْدَ اُخْرَى لِاَحَا دِيْثِ كِتَابٍ
ذُكِرَتْ اَ سَا نِيْدُهُ مِنْ بَابِ التَّقْوِ يَةِ
فِي الْاِسْنَادِ وَالزِّ يَادَةِ فِي الْمَتْنِ
Menyebutkan sanad-sanad lain beberapa hadis
yang terdapat dalam sebuah kitab. Penyebutan beberapa sanad tersebut dalam
suatu bab memperkuat posisi sanad dan menambah ragam matan.
3)
Pengertian takhrij
setelah dibukukan.
عَزْوُ الْأَ حَادِيْثِ اِلَى الْكُتُبِ الْمَوْجُوْدَةِ
فِيهَا مَعَ بَيَانِ الْحُكْمِ عَلَيْهَا
Menunjukkan asal beberapa hadis pada
kitab-kitab yang ada (kitab induk hadis) dengan menerangkan hukumnya.
Definisi pertama mendiskusikan
keadaan sanad dan matan yang sebenarnya. Setelah ditelaah dari kitab sumber
aslinya, sanad dan matan tersebut menjadi jelas. Definisi kedua menyebutkan
beberapa sanad lain dari sebuah hadis dalam satu tema untuk memperkuat posisi
sanad dan memperjelas kondisi matan. Jika ada yang lebih lengkap, akan saling
menjelaskan maksud matan. Definisi ketiga menelusuri hadis dari berbagai sumber
aslinya atau dari buku induk hadis untuk diteliti sanad dan matannya sesuai
dengan kaidah-kaidah ilmu hadis riwayah dan dirayah sehingga
status hadis dapat ditemukan, baik secara kualitas maupun kuantitas. Buku induk
hadis itu, seperti kitab Al-Jami’ Al-Shahih li Al-Bukhari, Al-Jami’
Al-Shahih li Muslim, Sunan Abi Dawud, Jami’ Al-Tirmidzi, Sunan Al-Nasa’I, Sunan
Ibnu Majah, dan Musnad Al-Ahmad.
Definisi terakhir inilah pada
umumnya berlaku di perguruan tinggi islam dalam meningkatkan kualitas studi
hadis yang lebih kritis dan ilmiah, yaitu dengan melakukan penelusuran ke buku
induk hadis serta penelitian mutu sanad dan matan. Dengan demikian, takhrij
memang tidak dapat dipisahkan dari penelitian hadis dan inti sebenarnya adalah
penelitian itu sendiri.[4]
2.
Metode-Metode Takhrijul
Hadits
Dengan melihat proses mentakhrij
yang digunakan oleh para muhadditsin dalam melacak hadits, ditemukan
paling tidak terdapat lima metode takhrij yang dapat kita gunakan untuk mentakhrij
hadis[5],
yaitu :
1)
Takhrij bi al-lafzh (dengan kata)
2)
Takhrij bi al-maudhu’ (dengan topik)
3)
Takhrij bi awwal al-matn (dengan awal matan)
4)
Takhrij bi al-rawi al-a’la (dengan rawi paling atas)
Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan diuraikan tentang
metode-metode yang digunakan untuk mentakhrij tersebut.
1)
Takhrij bi al-lafzh, yaitu penelusuran hadits
melalui lafal matan, baik bagian awal, tengah maupun akhir.[7]
Metode ini adalah berdasarkan pada kata-kata yang terdapat dalam matan hadis,
baik berupa isim (nama benda) atau fi’il (kata kerja). Penggunaan
metode ini akan lebih mudah manakala menitikberatkan pencarian hadis
berdasarkan lafal-lafalnya yang asing dan jarang penggunaanya. Umpamanya,
pencarian hadis sebagai berikut :
إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
نَهَى عَنْ طَعَامِ الْمُتَبَا رِيَنِ اَنْ يَأْ كُلَ
Dalam pencarian hadis diatas pada dasarnya dapat
ditelusuri melalui kata-kata naha (نَهَى), tha’am (طَعَامِ), yu’kal atau mutabariyani.
Akan tetapi, dari sekian kata yang dapat dipergunakan, lebih dianjurkan untguk
menggunakan kata al-mutabariyani (الْمُتَبَا رِيَنِ) karena kata tersebut jarang
adanya.
Menurut penelitian para
ulama hadis, penggunaan kata tabara
(تَبَرَ) di
dalam kitab induk hadis (yang berjumlah sembilan) hanya dua kali.[8]
a.
Kelebihan metode Takhrij bi al-lafzh
a)
Metode ini
mempercepat pencarian hadis.
b)
Para penyusun
kitab-kitab takhrij dengan metode ini membatasi hadis-hadisnya dalam
beberapa kitab induk dengan menyebutkan nama kitab, juz, bab, dan halamannya.[9]
c)
Dengan sebatas
mengetahui kosakata dalam hadis sudah dapat kita gunakan untuk mentakhrij.[10]
b.
Kekurangan metode
Takhrij
bi al-lafzh
a)
Proses pencarian
akan terasa sulit jika kita tidak dapat menemukan akar kata dari lafadz
yang akan kita cari.[11]
b)
Adanya keharusan
memiliki kemampuan bahasa Arab beserta perangkat ilmunya secara memadai karena
metode ini menuntut untuk mampu mengembalikan setiap kata kuncinya kepada kata
dasarnya. Seperti kata muta’ammidan mengharuskan mencarinya melalui kata
‘amida.
c)
Metode ini tidak
menyebutkan perawi dari kalangan sahabat yang menerima hadis dari Nabi SAW.[12]
2)
Takhrij bi al-maudhu’, yaitu penelusuran
hadis yang didasarkan pada topik, seperti bab shalat, nikah dan jual beli.[13]
Takhrij dengan metode ini, dituntut untuk menggunakan kecerdasan dan
pengetahuan tentang fiqh hadis. Seorang pentakhrij diharuskan mampu
memetakan hadis yang dicari sesuai dengan tema yang berkaitan dengan hadis yang
dicari. Jika telah diketahui tema dan objek pembahasan hadis, maka bisa dibantu
dalam takhrij-nya dengan karya-karya hadis yang disusun berdasarkan
bab-bab dan judul-judul.[14]
Sering kali suatu hadis memiliki lebih dari satu tema. Dalam kasus yang
demikian, seorang mukharrij harus mencarinya pada tema-tema yang mungkin
di kandung oleh hadis tersebut. Sebagai contoh adalah hadis dibawah ini :
بُنِيَ
الإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ دَةِ اَنْ لَا اِله اِلاَّ اللهُ وَ اَنَّ مُحَمَّدًا
رَسُوْلُاللهُ , وَاِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ و الصَّوْمِ
رَمَضَانَ وَ حِجُّ البَيْتِ مَنِ اسْتَطَعَ اِلَيْهِ سَبِيْلاَ
Di bangun Islam atas lima
(fondasi), yaitu kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad
itu adalah Rasulullah, mendirikan shalat, membayarkan zakat, mempuasakan bulan
Ramadhan, dan menunaikan haji bagi yang telah mampu.
Hadis diatas mengandung beberapa tema, yaitu iman,
tauhid, shalat, zakat, puasa dan haji. Berdasarkan tema tersebut, maka hadis
diatas harus dicari di dalam kitab-kitab hadis di bawah tema-tema itu. Dari
keterangan diatas, jelas bahwa takhrij dengan metode ini sangat
tergantung kepada pengenalan terhadap tema hadis, sehingga apabila tema dari
suatu hadis tidak diketahui, maka sulitlah untuk melakukan takhrij
dengan menggunakan metode ini.[15]
a.
Kelebihan Metode Takhrij
bi al-maudhu’
a)
Metode ini
menuntut pengetahuan akan kandungan hadis, tanpa memerlukan pengetahuan tentang
lafadz pertamanya, pengetahuan bahasa Arab dengan perubahan katanya atau
pengetahuan lainnya.[16]
b)
Metode ini
mengasah kecerdasan peneliti saat berusaha menemukan makna yang terkandung
dalam hadis yang hendak dicari. Dengan menggunakan cara ini berulang-ulang akan
memberikan ketajaman dalam memahami fiqh hadis.
c)
Metode ini juga
akan memberikan informasi tentang hadis yang dicari dan hadis-hadis lain yang
sesuai dengan topiknya.[17]
b.
Kekurangan Metode
Takhrij bi al-maudhu’
a)
Jika makna yang terkandung
tidak dapat ditemukan, maka metode ini tidak dapat dilakukan.
b)
Terkadang makna
hadis yang difahami penyusun berbeda dengan yang difahami oleh pentakhrij,
sehingga hadis tidak dapat ditemukan.[18]
3)
Takhrij bi awwal al-matn, yaitu penelusuran hadis dengan
menggunakan permulaan matan.[19]
Metode ini sangat tergantung kepada lafadz pertama matan hadis. Hadis-hadis
dengan metode ini dikodifikasi berdasarkan lafadz pertamanya menurut
urutan huruf-huruf hijaiyah, seperti hadis-hadis yang huruf pertamanya alif,
ba’, ta’ dan seterusnya. Seorang mukharrij yang
menggunakan metode ini haruslah terlebih dahulu mengetahui secara pasti lafadz
pertama dari hadis yang akan di-takhrij-nya, setelah itu barulah dia
melihat huruf pertamanya pada kitab-kitab takhrij yang disusun
berdasarkan metode ini, dan huruf kedua, ketiga dan seterusnya.[20]
a.
Kelebihan Takhrij bi awwal al-matn
a)
Metode ini
mempunyai kelebihan dalam hal memberikan kemungkinan yang besar bagi seorang mukharrij
untuk menemukan hadis-hadis yang sedang dicari dengan tepat.
b)
Dapat dengan
mudah melacak hadis dengan cepat jika sudah diketahui awal katanya.[21]
b.
Kekurangan Takhrij bi awwal al-matn
a)
Jika terjadi
perubahan sedikit saja pada awal kata kita tidak akan mungkin bisa menemukan
hadis yang kita cari.[22]
4)
Takhrij bi al-rawi al-a’la, yaitu penelusuran hadis
melalui nama perawi pertama dalam sanad.[23]
Metode ini berlandaskan pada perawi pertama suatu hadis, baik perawi tersebut
dari kalangan sahabat, bila sanadnya muttashil sampai kepada Nabi
SAW., atau dari kalangan tabi’in, apabila hadis tersebut mursal.
Para penyusun kitab-kitab takhrij dengan metode ini mencantumkan
hadis-hadis yang diriwayatkan oleh perawi pertama dari setiap hadis yang hendak
di-takhrij, dan setelah itu barulah mencari nama perawi pertama tersebut
dalam kitab-kitab itu, dan selanjutnya mencari hadis yang dimaksud di antara
hadis-hadis yang tertera dibawah nama perawi tersebut.[24]
Saat kita membuka kitab musnad, misalnya kitab musnad
Imam Ahmad bin Hanbal akan kita dapatkan kitab tersebut tersusun hadis-hadisnya
sesuai dengan perawi-perawinya. Jadi, tiap perawi di bawahnya terdapat
hadis-hadis yang diriwayatkannya. Tinggal kita mencari hadis yang dimaksud yang
berada di bawah nama sahabat tersebut.[25]
a.
Kelebihan Takhrij bi al-rawi al-a’la
a)
Lebih tepat dalam
mendapatkan hadis yang dicari, karena langsung fokus pada hadis yang
diriwayatkan oleh sahabat yang dimaksud.[26]
b)
Masa proses takhrij
dapat diperpendek karena dengan metode ini diperkenalkan sekaligus para ulama
hadis yang meriwayatkannya beserta kitab-kitabnya.
b.
Kekurangan Takhrij bi al-rawi al-a’la
a)
Membutuhkan
kesabaran lebih saat mencari hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang meriwayatkan
banyak hadis, karena harus mencari satu persatu dari sekian banyak hadis
riwayat perawi yang dimaksud.
5)
Takhrij bi al-shifah
al-hadits, yaitu penelusuran hadis berdasarkan status hadis.[27]
Metode ini memberikan nuansa baru. Jika dalam hadis yang akan kita cari nampak
sifat yang jelas akan jenis hadis tersebut, maka sifat itu dapat digunakan
sebagai patokan dalam mencari hadis.
Para
ulama telah mengklasifikasikan hadis-hadis Nabi dalam kelompok-kelompok
tertentu sesuai dengan jenisnya. Bagi peneliti tidak akan kesulitan tatkala
hendak melacak hadis jika sudah ditemukan jenis hadis tersebut. Misalnya jika
sudah diketahui hadis tersebut mutawatir, maka kita tinggal melacak di
kitab kumpulan hadis mutawatir. Jika kategori hadis maudhu’ maka
dicari di kitab kumpulan hadis-hadis maudhu’, dan demikian seterusnya.[28]
a.
Kelebihan Takhrij bi al-shifah
al-hadits
a)
Metode ini cukup
mudah dan simple, karena kitab yang digunakan mentakhrij tidak
banyak sehingga melacaknya tidak terlalu sulit.
b.
Kekurangan Takhrij bi al-shifah
al-hadits
a)
Cakupannya sangat
terbatas, dikarenakan minimnya kitab yang dimuat dalam karya-karya sejenis
tersebut.[29]
3.
Kitab-Kitab yang Diperlukan
dalam Takhrijul Hadits
Dalam melakukan takhrij
hadis, kita memerlukan kitab-kitab yang berkaitan dengan takhrij hadis
ini. Adapun kitab-kitab tersebut antara lain sebagai berikut :
1)
Hidayatul bari ila tartibi
Ahaditsil Bukhari
Penyusun
kitab ini adalah Abdur Rohman Ambar Al-Misri At-Tahtawi. Kitab ini disusun
khusus untuk mencari hadist-hadist yang termuat dalam Sokhikh Bukhori. Lafadz
hadist disusun menurut aturan huruf abjad arab, namun hadist-hadist yang
dikemukakan secara berulang dalam Sokhikh Bukhori tidak dimuat secara berulang
dalam kamus di atas. Dengan demikian perbedaan lafadz dalam matan hadist
riwayat Al-Bukhori tidak dapat diketahui melalui kamus tersebut.
2)
Mu’jam Al-Fadzi wala Siyyama
Al-Gariibu Minha atau Fuhris litaribi Ahaditsi Shahihi Muslim
Kitab
tersebut merupakan salah satu juz ke-5 dari kitab Shahih Muslim yang
disunting oleh Muhammad Abdul Baqi. Juz ke 5 ini merupakan kamus terhadap juz
ke 1-4 yang berisi:
a)
Daftar urutan judul kitab,
nomor hadist, dan juz yang memuatnya.
b)
Daftar nama para sahabat
Nabi yang meriwayatkan hadist yang termuat dalam Shahih Muslim.
c)
Daftar awal matan hadist
dalam bentuk sabda yang tersusun menurut abjad serta menerangkan nomor-nomor
hadist yang diriwayatkan oleh Bukhori bila kebetulan hadist tersebut juga
diriwayatkan oleh Bukhori.
3)
Miftahus Sahihain
Kitab
ini disusun oleh Muhammad Syarif bin Mustofa Al-Tauqiyah. Kitab ini dapat
digunakan untuk mencari hadist-hadist yang diriwayatkan oleh Muslim, akan
tetapi hadist-hadist yang dimuat dalam kitab ini hanyalah hadist-hadist yang
berupa sabda saja. Hadist tersebut disusun menurut abjad dari awal lafadz matan
hadist.[30]
4)
Al-Bughyatu fi Tartibi
Ahaditsi Al-Hilyah
Kitab
ini disusun oleh Sayyid Abdul Aziz bin Al-Sayyid Muhammad bin Sayyid Siddiq
Al-Qomari. Kitab hadist tersebut memuat dan menerangkan hadist-hadist yang
tercantum dalam kitab yang disusun oleh Abu Nuaim Al-Asbuni (340 H) yang
berjudul Hilyatul Auliyai wathabaqotul Asfiyani.
Sejenis
dengan kitab tersebut adalah kitab Miftahut Tartibi li Ahadisti Tarikhil
Khotib yang disusun oleh Sayyid Ahmad bin Sayyid Muhammad bin Sayyid
As-Shiddiq Al-Qomari yang memuat dan menerangkan hadist-hadist yang tercantum
dalam kitab sejarah yang disusun oleh Abu Bakar bin Ali bin Subit bin Ahmad
Al-Baghdadi yang dikenal dengan Al-Khotib Al-Bagdadi (436 H). Kitabnya diberi
judul Tarikhu Baghdadi yang terdiri dari 4 jilid.
5)
Al-Jami’us Shagir
Kitab
ini disusun oleh Imam Jalaludin Abdurrohman As-Suyuthi (91 H). Kitab kamus
hadist ini memuat hadist-hadist yang terhimpun dalam kitab himpunan hadist yang
disusun oleh As-Suyuthi juga, yakni Jam’ul jawami’i.
Hadist
yang dimuat dalam kitab Jami’us Shogir disusun berdasarkan urutan abjad
dari awal lafadz matan hadist. Sebagian dari hadist –hadist itu ada yang
ditulis secara lengkap dan ada pula yang ditulis sebagian saja, namun telah mengandung
pengertian yang cukup.
Kitab
hadist tersebut juga menerangkan nama-nama sahabat Nabi yang meriwayatkan
hadist yang bersangkutan dengan nama-nama mukhorrij nya (periwayat hadist yang
menghimpun hadist dalam kitabnya), selain itu hampir setiap hadist yang dikutip
dijelaskan kualitasnya menurut penilaian yang dilakukan atau disetujui oleh
As-Suyuthi.
6)
Al-Mu’jam Al-Mufahras li
Alfadzil Hadis Nabawi
Penyusun
kitab ini adalah sebuah tim dari kalangan orientalis. Diantara anggota tim yang
paling aktif dalam kegiatan proses penyusunan adalah Dr.Arnold John Wensink (939
M), seorang profesor bahasa semit, termasuk bahasa Arab di Universitas Leiden,
Belanda.
Kitab
ini dimaksudkan untuk mencari hadist yang berdasarkan petunjuk lafadz matan
hadist. Berbagai lafadz yang disajikan tidak dibatasi hanya lafadz-lafadz
yang berada di tengah dan bagian-bagian lain dari matan hadist. Dengan
demikian, kitab Mu’jam mampu memberikan informasi kepada pencari matan
dan sanad hadist selama sebagian dari lafadz matan yang dicarinya
itu telah diketahuinya.
Kitab
Mu’jam ini terdiri dari tujuh juz dan dapat digunakan untuk mencari
hadist-hadist yang terdapat dalam sembilan kitab hadist, yakni Shahih
Bukhori, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Turmudzi, Sunan An-Nasa‟i,
Sunan, Ibnu Majah, Sunan Darimi, Muwatta Malik, dan Musnad Ahmad.[31]
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Takhrij hadits merupakan kegiatan penelitian suatu hadits baik dari
segi sanad, rowi, maupun matan hadits. Takhrij hadist mempunyai tujuan yaitu meneliti dan menjelaskan
tentang hadist pada orang lain dengan menyebutkan para periwayat dalam sanad
hadist tersebut. Manfa’at takhrij hadist sangat besar terutama bagi orang yang
mempelajari hadist dan mendalami ulumul hadist.
Metode-metode takhrij antara lain yaitu dengan cara mengetahui sahabat
yang meriwayatkan hadits, metode takhrij
menurut lafadz pertama dari matan hadist,mencari
hadist berdasarkan tema, metode
takhrij menurut lafadz-lafadz yang terdapat dalam hadist, metode
dengan meneliti perawi pertama.
Kitab yang diperlukan ketika melakukan takhrij
hadits yaitu Hidayatul bari ila tartibi Ahadisil Bukhori, Mu’jam
Al-Fadzi wala Siyyama Al-Garibu Minha atau Fahras litartibi Ahadisti Sokhikh
Muslim, Miftahus Shokhihain, Al-Bughyatu fi Tartibi Ahadisti Al-Hiyah
Al-Jamius Shogir, Al Mu’jam Al Mufahras li Al Alfadzi Hadist Nabawi.
DAFTAR PUSTAKA
Sahrani, Sohari. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia
Indonesia. 2015.
Al-Tahhan, Mahmud. Metode Takhrij Al-Hadith dan
Penelitian Sanad Hadis. Surabaya: Imtiyaz. 2015.
Solahudin, M. dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka
Setia. 2013.
Khon, Abdul Majid. Takhrij dan Metode Memahami Hadis. Jakarta:
Amzah. 2014.
Smeer, Zeid B. Ulumul
Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis. Malang: UIN-Malang Press. 2008.
[2] Mahmud Al-Tahhan, Metode Takhrij Al-Hadith dan
Penelitian Sanad Hadis (Surabaya: Imtiyaz, 2015), 1-2.
[5] Zeid B, Smeer, Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis
Praktis (Malang: UIN-Malang Press, 2008), 173.
[31]Ibid., 195-196.
ConversionConversion EmoticonEmoticon