UKHUWAH ISLAMIYAH
Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Tassawuf”
BAB II
A. Urgensi Ukhuwah Islamiyah
Ada
ciri khas yang menonjol dari umat Islam. Mereka adalah umat tauhid dan satu
kesatuan. Sejarah telan memperlihatkan dengan jelas bahwa umat Islam tidak akan
dapat bersatu kecuali saat mereka berpegang teguh pada akidah tauhid yang
benar. Sebesar penyimpangan mereka terhadap ajaran tauhid yang benar, sebesar
itu pula yang membawa umat ini berpecah belah. Al-Quran telah menggambarkan
ikatan tauhid dengan kesatuan pada beberapa tempat, seperti Q.S Al-Anbiya’:92
dan Q.S Al-Mu’minun:52.
Ukhuwah
merupakan nikmat yang sangat besar yang Allah berikan kepada orang-orang
beriman. “Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa
jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah
kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara” (Q.S Ali Imran: 103).
“Dan
Allahlah yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun
kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak
dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati
mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Q.S. Al-Anfaal:
63).
Al-Quran
melarang keras perpecahan dan perbedaan (Q.S Ali-Imran:105). Adapun syiar
orang-orang kafir sejak dulu adalah mengacaukan dan memecah belah umat Islam
dahulu baru bisa menguasai orang-orang yang beriman.
Melalui
syariat, akhlaq dan muamalah, Islam menancapkan ukhuwah kepada umatnya sehingga
lima rukun Isla m yang ada semuanya
berporos kepada persatuan Islam dan ukhuwah imaniyah. Kaum muslimin dimanapun
akan tunduk sepenuhnya kepada syariat dan ajaran Tuhan Yang Satu (Q.S.
An-Nisa’: 65).
Umat
Islam juga tunduk kepada ajaran politik Tuhan Yang Satu untuk taat kepada
Allah, taat kepada rasul dan kepada pemimpin mereka yang taat kepada Allah dan
rasul-Nya (Q.S An-Nisa’:59).
Islam
mengajarkan semua umatnya untuk bangkit melawan musuh-musuhnya, sehingga jihad
menjadi fardhu ‘ain bila negeri Islam diserang musuh. (Q.S Al-Baqarah: 193).
Untuk
menopang ukhuwah Islam, Islam meletakkan kaidah-kaidah akhlaq dan iman. Kaidah
ini untuk menjaga kemurnian dan keutuhan ukhuwah Islam. Untuk itulah Islam
mengajarkan untuk tolong –menolong dalam kebaikan dan takwa serta meninggalkan
kerjasama dalam perbuatan dosa dan permusuhan.
Rasulullah
saw. bersabda, “Perumpamaan orang-orang beriman dalam kasih sayang mereka dan
kelembutan mereka seperti tubuh yang satu. Apabila bagian tubuh mengeluh
kesakitan, maka seluruh tubuhnya merasakan demam dan tidak tidur.”
Al
Quran juga menjadikan persaudaraan dalam bermasyarakat di antara orang-orang
mukmin sebagai konsekuensi keimanan yang tidak terpisah satau sama lain di
antara keduanya. ”Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara”
(Al-Hujurat:10),
Islam
juga menetapkan beberapa kewajiban seorang muslim atas muslim lainnya.
Rasulullah saw. bersabda, “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya.
Janganlah seorang muslim menzalimi saudaranya dan janganlah seorang muslim
membiarkan, tidak menolong saudaranya. Barang siapa yang membantu menuntaskan
keperluan saudaranya, maka Allah akan membantu keperluannya. Barang siapa yang
melapangkan kesempitan saudaranya, maka Allah akan melapangkan satu
kesulitannya nanti di hari kiamat. Barang siapa yang menutupi aib seorang
muslim, maka Allah akan menutup aibnya di hari kiamat”.
Hak
seorang muslim kepada muslim lainnya ada lima: menjawab salam, menjenguk orang
sakit, mengiringi jenazah, memenuhi undangan dan mendoakan orang bersin”.
Untuk
tujuan ukhuwah Islam, Islam melarang segala yang dapat merusak ukhuwah.
Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kalian saling hasad dan jangan pula saling
mencari-cari kesalahan serta janganlah kalian saling membenci dan saling
menjauhi. Janganlah seorang muslim membeli barang atas tawaran saudaranya.
Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara. Cukuplah seorang muslim dikatakan
buruk hanya lantaran ia mengejek saudaranya sesama muslim. Seorang muslim atas
muslim lainnya itu terpelihara nyawanya, hartanya dan kehormatannya”.
Jika
terlihat di antara dua orang muslim saling berbuat zalim, maka umat Islam
dituntut untuk mengembalikan haknya dan mencegahnya sesuai dengan syariat Islam
yang mengajarkan amar ma’ruf nahi munkar (Q.S Ali-Imran:104). Dan menjalankan
kewajiban amar ma’ruf nahi munkar merupakan rahasia keutamaan umat ini. (Q.S
Ali-Imran:110).
Sesungguhnya
merealisasikan ukhuwah merupakan syarat tercapainya kemenangan Islam atas
musuhnya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang dijalanNya
dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang
tersusun kokoh (Q.S Ash-Shaaff: 4). Dan jika ukhuwah sudah tidak ada dan iman
sudah lemah, maka akan datang kekalahan. (Q.S Ali-Imran:152)
Ketika
dahulu umat Islam adalah umat yang satu, maka Islam memimpin dunia dengan
keadilan selama sekian abad. Jika dilihat masa-masa kemenangan Islam, maka akan
ditemukan bahwa semuanya itu tergantung kepada terealisasinya kesatuan umat.
Kemenangan dalam peperangan masa Rasulullah saw, maupun masa-masa penaklukan
pasukan Islam hampir ke penjuru dunia. Dan ketika ukhuwah dan persatuan Islam
melemah, maka dapat dilihat reaksi pasukan Islam menghadapi serangan
musuh-musuh Islam, seperti dalam peristiwa pengembalian al-Quds yang telah
direbut pasukan Salibi. Sebagaimana juga peristiwa menghadapi pasukan Tartar.
Ketika kesatuan dan persatuan Islam lemah, maka akan lemah pula kekuatan umat
Islam di tengah-tengah musuhnya.
Musuh-musuh
Islam telah cermat mengamati sumber kekuatan Islam, yaitu kesatuan dan
persatuan atas dasar ukhuwah Islamiyah. Karena itulah fokus sasaran serangan
mereka kepada umat Islam adalah melemahkan ikatan ukhuwah Islamiyah pada diri
umat Islam dengan berbagai sarana yang mereka miliki. Kesatuan politik umat
Islam telah tercerabut hingga pada pertengahan abad ke 13 H/18 M ketika
negara-negara barat menjarah dan menjajah negeri-negeri Islam serta berlangsung
pula perang pemikiran.
Perlu
diketahui bahwa tingkatan pertama kekuatan adalah kekuatan aqidah dan iman.
Kemudian persatuan dan ukhuwah, setelah itu kekuatan tangan dan senjata. Sebuah
jamaah tidak dapat dikatakan kuat sebelum terpenuhinya tiga kekuatan tersebut.
Maka apabila kekuatan tangan dan senjata dipergunakan padahal shafnya
cerai-berai, nizham (strukturnya) berantakan dan iman serta aqidahnya lemah,
niscaya akhir perjalanannya adalah kehancuran dan kebinasaan. (Majmu’ah Rosail,
Al Mu’tamarul Khamis, hal 169).
B. Kedudukan
Ukhuwah
1.
Ukhuwah memiliki
kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam.
2.
Ukhuwah
merupakan kekuatan yang tidak teruntuhkan dengan senjata apa pun, apalagi hanya
lantaran perbedaan dalam masalah furu’, baik menyangkut fiqih maupun aqidah.
3.
Kita diutamakan
untuk meninggalkan hal-hal yang mustahabbat yang sekiranya dapat menyebabkan
adanya perpecahan dan membangkitkan kedengkian.
Ketika
Rasulullah saw. hijrah dari Mekkah ke Madinah, maka yang pertama kali beliau
lakukan adalah membangun masjid dan mengikat tali ukhuwah. Karena di dalam
masjid itulah hati umat terhimpun ketaatan kepada Allah dan terikat kepada-Nya.
Sehingga masjid juga merupakan unsur perekat ikatan tali ukhuwah dengan
seringnya pertemuan di dalamnya. Dalam masjid itulah dibangun ta’liful qulub,
kesucian jiwa, jalinan ruh, tautan kasih sayang dan cinta kasih karena Allah.
Oleh
karena itu jagalah ukhuwah dan jamaah. Dengan menjaganya berarti menjaga
bangunan agama. Dengan kuatnya ukhuwah Islam akan tegak, dan lantaran rapuhnya
Islam akan hancur. (Ali-Imran: 102).
Kenikmatan
ukhuwah tidak bisa tergantikan dengan yang lainnya, bahkan tidak boleh
tergantikan. Segala bentuk kesenangan dunia, seperti kemenangan politik dan
bergelimangnya fasilitas dunia, tidak akan berarti apa-apa jika berdampak pada
rusaknya ukhuwah. Karena rusaknya ukhuwah, berarti rusaknya keimanan. Dan
kemenangan itu, hakikatnya bukan kemenangan jika fondasinya rusak, tetapi lebih
tepat disebut fitnah. Dalam perspektif dakwah, kemenangan adalah sejauhmana
dominannya keimanan dan ukhuwah atas sekularisme dan materialisme.
Fitnah
materi memang menjadi faktor perusak ukhuwah yang sangat dahsyat. Indahnya
kebersamaan dan kecintaan akan melemah dan kering digilas oleh pola hidup
materialisme. Budaya saling silaturahim diganti dengan budaya saling menjauh,
budaya husnuzhon diganti dengan budaya su’uzhon, budaya menutupi aib diganti
dengan budaya menggunjing.
Di
antara unsur-unsur pokok dalam ukhuwah adalah mahabbah (kecintaan). Adapun
tingkat mahabbah yang paling rendah adalah bersihnya hati (salamush shadr) dari
perasaan iri, membenci, dengki dan sebab-sebab permusuhan dan pertengkaran.
Al
Quran menganggap permusuhan dan saling membenci itu sebagai azab yang
dijatuhkan (oleh Allah) terhadap orang-orang yang kufur terhadap risalahNya dan
menyimpang dari ayat-ayatNya. (Al-Maidah:14).
Al-Quran
telah berbicara tentang khamer dan judi yang kedua-duanya termasuk dosa besar
yang mencelakakan dalam pandangan Islam. Sebagai alasan pertama diharamkannya
dalah menimbulkan permusuhan dan kebencian dalam masyarakat, betapa pun
keduanya berbahaya dari sisi lainnya yang juga tidak bisa disembunyikan.
(Al-Maidah:91).
Di
dalam hadits penyakit-penyakit itu disebut sebagai ”penyakit Umat-umat Manusia”
(Da’ul Umam). Di kesempatan lain Rasulullah juga menamakan sebagai
”Pencukur/Pemangkas” (Al-Haliqah). Yaitu yang memangkas agama, bukan memangkas
rambut, disebabkan bahanya bagi kesatuan jamaah (komunitas) dan integrasinya
secara moril maupun materil.
Rasulullah
Saw. bersabda,
”Maukah
kamu saya tunjukkan amal yang lebih utama derajatnya daripada derajat shalat,
puasa dan sedekah? Yaitu memperbaiki hubungan antara dua orang (yang
berselisih), sesungguhnya rusaknya hubungan itulah yang merusakkan
(memutuskan). ” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
”Telah
merata kepadamu penyakit ummat terdahulu. Itulah hasad (iri/dengki) dan
kebencian, sementara kebencian itu adalah pemangkas, saya tidak mengatakan
pemangkas rambut, melainkan memangkas agama.” (HR. Al-Bazzar)
”Pintu-pintu
surga itu dibuka pada hari Senin dan Kamis, maka diampuni pada tiap hamba yang
tidak syirik kepada Allah, kecuali seseorang yang antara dia dengan saudaranya
terjadi permusuhan, maka dikatakan, ’Lihatlah kedua orang itu!’, sehingga
berdamai, (disampaikan tiga kali).” (HR. Muslim).
Dalam
hadits lain Rasulullah Saw. bersabda, ” Tidak halal bagi seorang Muslim
mendiamkan saudaranya selama tiga hari, yang apabila saling bertemu maka ia
berpaling, dan yang terbaik di antara keduanya adalah yang memulai dengan
ucapan salam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
”Ada
tiga orang yang shalatnya tidak diangkat di atas kepala sejengkal pun; seorang
yang mengimami suatu kaum, sedangkan kaum itu membencinya, dan wanita yang diam
semalam suntuk sedang suaminya marah kepadanya, dan dua saudara yang memutus
hubungan di antara keduanya.” (HR. Ibnu Majah).
Sesungguhnya
suasan kebencian dan permusuhan adalah suatu suasana pengap, busuk dan
menyesakkan yang tidak menyenangkan, saat itulah syaitan biasa menjual
dagangannya dengan laris, seperti berburuk sangka, mencari-cari kesalahan orang
lain, ghibah (membicarakan aib orang lain), mengadu domba, berkata bohong dan
mencaci serta melaknat, sampai pada tingkatan saling membunuh di antara
saudara. Ini adalah suatu bahaya yang diperingatkan oleh Rasulullah Saw. dan
dianggap sebagai sisa kejahiliyahan. Nabi Saw. bersabda, ”Janganlah kamu
kembali menjadi kafir setelahku, (yaitu) dengan memukul sebagian di antara kamu
terhadap leher yang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim). Nabi Saw. juga bersabda,
”Mencaci maki seorang muslim itu suatu kefasikan, dan membunuhnya adalah suatu
kekufuran.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Oleh
karena itu memperbaiki hubungan saudara adalah termasuk amal ibadah yang paling
mulia. Karena pentingnya memperbaiki hubungan antara dua pihak, maka Rasulullah
memberikan rukhsah (keringanan) terhadap orang yang melakukan perbaikan
hubungan untuk tidak selalu dalam kejujuran yang sempurna dalam menentukan
sikap pada masing-masing dari dua kelompok (pihak). Sehingga ia bisa
(dibolehkan) memindahkan sebagian kata-kata sebagaimana dikatakan, tidaklah
mengapa dengan sedikit memperindah atau sedikit berdiplomasi (tauriya).
Rasulullah Saw. bersabda, ”Bukanlah pembohong orang yang memperbaiki
(mendamaikan) antara dua orang, lalu ia berkata dengan baik atau menambahi
lebih baik.” (HR. Ahmad).
Yang
lebih tinggi dari tingkatan salaamatush shadr (bersihnya hati) dari rasa dengki
dan permusuhan adalah tingkatan yang diungkapkan dalam hadits sebagai berikut:
” Tidaklah sempurna iman seseorang di antara kamu sehingga ia mencintai
saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.” (Muttafaqun ’alaihi).
Berarti
dengan demikian maka ia juga membenci segala sesuatu yang menimpa saudaranya
sebagaimana ia membenci sesuatu itu menimpa dirinya. Maka jika ia senang jika
dirinya memperoleh kemakmuran hidup maka ia juga menginginkan demikian itu
terhadap orang lain. Dan jika ia menginginkan mendapat kemudahan dalam
kehidupan keluarganya, maka ia juga menginginkan hal itu diperoleh orang lain.
Dan jika ia menginginkan untuk tidak isakiti baik ketika berada di rumah atau
ketika sedang bepergian, maka begitu pula ia menginginkan untuk seluruh manusia.
Dengan demikian ia menempatkan saudaranya seperti dirinya dalam segala sesuatu
yang ia cintai dan ia benci.
Ada
derajat yang lebih tinggi dari salaamatush shadr dan rasa cinta yaitu tingkatan
”itsar”. Itsar adalah mendahulukan kepentingan saudaranya atas dirinya dalam
segala sesuatu yang ia cintai. Ia rela untuk lapar demi mengenyangkan
saudaranya, ia rela haus untuk menyegarkan saudaranya, berjaga demi menidurkan
saudaranya, ia sungguh-sungguh untuk mengistirahatkan saudaranya, ia rela
ditembus peluru dadanya untuk menebus saudaranya.
Al-Quran
telah mengemukakan kepada kita gambaran yang terang tentang masyarakat Islam di
Madinah yang nampak di dalamnya makna itsar dan pengorbanan, tidak pelit dan
tidak bakhil. Allah berfirman,
”Dan
orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar)
sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah
kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap
apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang-orang Muhajirin); dan mereka
mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun
mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari
kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr:9)
Di
dalam sunnah (hadits) dapat dilihat gambaran lain sebagaimana diriwayatkan oleh
imam Bukhari, bahwa Sa’ad bin Rabi’ telah menawarkan kepada Abdurrahman bin
’Auf setelah keduanya dipersaudarakan oleh Nabi Muhammad Saw. untuk bersedia
diberi separuh dari hartanya, salah satu dari rumahnya dan salah satu dari
istrinya untuk dicerai, lalu disuruh menikahinya. Maka Abdurrahman bin ’Auf
berkata kepada Sa’ad bin Rabi’, ”Semoga Allah memberkahi keluargamu, semoga
Allah memberkahi rumahmu dan semoga Allah memberkahi hartamu, sesungguhnya aku
adalah seorang pedagang untuk itu tunjukilah aku dimana pasar.”
Inilah
gambaran itsar yang langka dan hampir tidak akan didapatkan pada masa kini,
yang kemudian, dibalas dengan sikap ’iffah (menjaga kehormatan; dengan menahan
diri) yang sangat mulia dan bijaksana. Keduanya menampilkan contoh ideal sikap
masyarakat Islam yang dibangun oleh Rasulullah Saw. di Madinah, yang senantiasa
diidam-idamkan sebagai bentuk ideal sebuah masyarakat.
Islam
menginginkan dengan sangat agar mahabbah dan ukhuwah di antara manusia
seluruhnya itu bisa merata di kalangan bangsa-bangsa antara sebagian dengan
sebagian lainnya. Yang tidak dipecah belah dengan perbedaan unsur, warna bahasa
dan iklim atau bangsa. Sehingga tidak ada kesempatan untuk bertikai atau saling
dengki, meskipun berbeda-beda dalam harta dan kedudukannya, karena rizki itu
ketentuan Allah swt. Merata di antara pemerintah dan rakyat, sehingga tidak ada
tempat untuk kesombongan pemerintah terhadap rakyat, karena sesungguhnya
pemerintah adalah wakil atau pelayan ummat (rakyat). Dan tidak ada tempat untuk
kebencian rakyat kepada pemerintah selama ia berbuat kebenaran dan melaksanakan
kewajibannya. Rasulullah Saw. bersabda, ”Sebaik-baik pemimpin adalah
orang-orang yang kamu mencintai mereka dan mereka mencintai kamu, kamu
mendoakan mereka dan mereka mendoakanmu.”
Islam
tidak suka jika dakwahnya itu hanya semata-mata pemikiran (konsep toeritis) di
kepala saja, atau utopis di benak para dai, akan tetapi Islam menyelaraskan
antara pemikiran (teori) dengan pelaksanaan, dan antara konsep dengan
penerapan. Oleh karena itu Islam mengajak umatnya untuk melaksanakan sejumlah
syariat, adab-adab kebiasaan yang dapat memperkuat ikatan mahabbah di antara
sesama manusia.
Di
antara adab itu adalah menyebarkan salam setiap bertemu antara satu dengan
lainnya, saling beramah tamah dan mengucapkan selamat atas datangnya suatu
kenikmatan, berta’ziah (saling mengungkapkan belasungkawa) ketika ada musibah,
menjenguk orang sakit dan mendoakan orang yang bersin. Saling memberi hadiah
satu sama lain dalam acara dan berbagai kesempatan atau peristiwa baik,
sebagaimana tersebut dalam hadits: ”Hendaklah kamu saling memberi hadiah, maka
akan saling mencintai.” (HR. Abu Ya’laa).
Dalam
rangka memupuk rasa cinta kasih bisa juga melalui pertemuan-pertemuan, agar
dapat saling mengenal dan bertatap muka serta saling berjabat tangan, inilah
yang disyariatkan oleh Islam melalui kewajiban shalat berjamaah, shalat Jum’at
dan shalat dua Hari Raya.
Islam
telah mengharamkan dekadensi moral dan kejahatan sosial yang dapat memutuskan
ikatan mahabbah di antara manusia. Al-Quran menetapkan orang-orang yang beriman
itu bersaudara, kemudian dilanjutkan dengan larangan terhadap sejumlah
kebiasaan buruk yang dapat meretakkan keutuhan ukhuwah dan merobohkan
sendi-sendinya. Seperti menghina dan mencela, memanggil dengan sebutan yang
tidak menyenangkan, mencari-cari kesalahan orang lain, mencari cacat dan
privasi (aurat) orang lain, berburuk sangka kepada manusia dan ghibah
(menggunjing). (QS. Al-Hujurat: 11-12).
Masyarakat
Islam itu adalah satu entitas yang sama dalam cita-citanya yaitu cita-cita
untuk menghubungkan bumi dengan langit, dunia dengan akhirat makhluk dengan
khaliknya. Sama dalam asas-asas idiologi konseptualnya, yaitu mensinkronkan
antara idealita dan realita, antara tsabat (prinsip yang konstan) dengan
tathawwur (dinamika) dan antara inspirasi warisan khasanah lama dengan daya
memanfaatkan kemajuan zaman.
Masyarakat
Islam itu satu dalam referensinya (rujukan, sumber hukum), sekaligus sebagai
sumber hidayah, itulah Al-Quran dan Sunnah Nabi dengan mengakui keberagaman
tradisi masing-masing kelompok. Satu dalam idolanya yaitu Nabi Muhammad Saw
sebagai uswah hasanah. Mereka adalah masyarakat yang beriman kepada Rabb
(Tuhan) Yang Maha Esa, kitab yang satu, rasul yang satu, dan menghadap kiblat
yang satu, dengan ibadah yang satu dan berhakim dalam memutuskan segala
persoalan pada syariat yang satu. Wala’ (loyalitas)-nya pun adalah wala’ yang
satu yaitu wala’ kepada Allah, rasulNya dan orang-orang beriman. Hanya karena
Allah ia cinta dan karena Allah pula ia benci, karena Allah ia mengikat
hubungan dan karena Allah pula ia memutuskan hubungan. (Al-Mujaadilah:22)
Tidak
sepantasnya Masyarakat Islam itu berpecah belah seperti masyarakat lainnya yang
dipicu oleh fanatisme golongan, ras, warna kulit, tanah air (asal daerah),
bahasa, klas sosial, mazhab atau yang lainnya yangd apat merongrong persatuan.
Ukhuwah
Islamiyah berada di atas segala macam ashabiyah (fanatisme) apa pun nama dan
bentuknya. Rasulullah Saw. sangat anti terhadap segala fanatisme seperti ini,
sebagaimana dalam sabdanya, ”Bukan termasuk ummatku orang yang mengajak pada
ashabiyah, dan bukan termasuk ummatku orang yang berperang atas dasar ashabiyah
dan bukan termasuk ummatku orang yang mati atas dasar ashabiyah.” (HR. Abu
Dawud)
Al-Quran
memperingatkan akan bahaya rekayasa yang dihembuskan oleh orang-orang
non-Muslim yang ingin memecah belah ummat Islam dan memporak-porandakan
persatuan mereka. Sebagaimana hal seperti ini pernah dilakukan oleh orang-orang
yahudi terhadap kaum Muslimin dari Suku Aus dan Khazraj setelah dipersatukan
oleh Allah dalam Islam. (Ali-Imran:100-103). Kemudian Allah Swt. memperingatkan
agar jangan bercerai-berai dan berselisih (Ali- Imran: 105). Antara ayat yang
memerintahkan untuk berpegang teguh pada tali Allah dengan ayat yang melarang
bercerai berai dan berselisih disebutkan ayat yang mewajibkan ummat untuk
berdakwah dan beramar ma’ruf dan nahi munkar. (Ali-Imran:104)
Ini
menunjukkan bahwa yang mempersatukan umat dan yang merajut benang ukhuwah di
antara mereka adalah adanya manhaj yang menjadi pegangan dan rujukan ummat.
Itulah tali Allah dan risalah yang sama yang diperjuangkan dan menjadi pusat
perhatiannya. Itulah dakwah kearah kebijakan, beramar ma’ruf dan nahi mungkar.
Tetapi
apabila umat itu bermalasan untuk memperjuangkan risalahnya atau kehilangan
manhaj maka jalan menuju persatuan itu akan tertutup dan mereka bercerai-berai.
Ada yang ke kanan dan ada yang ke kiri, dan syetan akan menyeretnya ke timur
dan ke barat. Inilah yang diperingatkan Allah swt dalam Al-Quran Surat
Ali-Imran: 153.
Persatuan
ummat dalam masyarakat Islam yang diwajibkan oleh Islam bukan berarti
mengingkari adanya heterogenitas/pluralitas (keberagaman) yang disebabkan
adanya perbedaan lingkungan, adat istiadat, latar belakang budaya yang beraneka
ragam serta pengaruh tingkat ilmu pengetahuan dan intelektualitasnya. Ini
justru akan memperkaya khasanah budaya dalam kerangka persatuan. Sebagaiman beragamnya
bakat, kecenderungan (selera), pemikiran dan spesialisasi dalam satu keluarga,
atau beragamnya bunga-bungan dan buah-buahan di dalam suatu kebun.
Di
antara hal penting untuk diperhatikan dalam Islam ini adalah sahnya ijtihad
yang beragam, sepanjang masih dalam kerangka kaidah-kaidah pokok dan nash-nash
yang qath’i dan disepakati. Maka tidak boleh seorang mujtahid mengingkari
mujtahid yang lainnya, meski ada perbedaan dalam hasilnya. Karena tiap-tiap
mujtahid itu memiliki arah berbeda yang masing-masing mendapat pahala, benar
atau salah, selama ia termasuk ahli berijtihad dengan segala syarat dan
kriterianya. Adapun perbedaan pendapat tidak boleh menjadi penyebab perpecahan
atau permusuhan, karena para sahabat dan tabi’in juga berselisih dalam berbagai
persoalan, dan hal itu tidak membuat mereka berpecah belah, bahkan mereka
bersikap tasamuh (toleransi) dan saling mendoakan satu sama lain.
Di
antara yang bisa meringankan khilaf (perselisihan pendapat) adalah adanya
keputusan imam atau hakim. Dia menjadi keputusan terakhir dalam masalah
khilafiyah, sehingga bisa menghilangkan perselisihan dan pertengkaran dalam
sisi pelaksanaan.
Di
antara konsekuensi ukhuwah adalah sikap ta’awun (saling tolong menolong),
tanaashur (saling mendukung) dan taraahum (saling berkasih sayang). Karena
apalah artinya berukhuwah jika tidak membantu saudara ketika memerlukan dan
menolongnya ketika ditimpa cobaan, serta belas kasihan kepadanya ketika ia
lemah.
Rasulullah
saw. telah menggambarkan tujuan saling tolong menolong dan keterikatan antara
kaum muslimin dalam bermasyarakat antara satu dengan lainnya dengan gambaran
yang mantap. Sebagaimana sabdanya, ”Mukmin yang satu dengan yang yang lainnya
bagaikan sebuah bangunan yang saling memperkuat antara sebagian dengan sebagian
lainnya. (Rasulullah saw. sambil memasukkan jari-jari tangan ke sela-sela
jari).” (Muttafaqun ’alaihi).
Satu
batu bata tentu saja lemah, meskipun terlihat kuat. Dan seribu batu bata yang
berserakan (tidak teratur), tidak mampu berbuat apa-apa yang tidak bisa berbentuk
bangunan. Akan terbentuk bangunan yang kuat manakala batu bata itu disusun
dengan teratur dalam susunan yang rapi dan kokoh sesuai dengan aturan yang
berlaku. Ketika itulah akan terbentuk dari batu-batu tersebut dinding yang
kokoh dan dari dinding itu akan terbentuk rumah yang kuat pula, yang tidak
mudah dirobohkan oleh tangan-tangan yang merusak.
Di
antara bentuk ta’awun, tanaashur dan taraahum adalah takaful (solidaritas dan
gotong royong). Baik takaful di bidang material, moral, ekonomi, politik,
militer dan sipil, maupun sosial dan budaya. Takaful itu dimulai antar kerabat
satu sama lain, kemudian melebar menjangkau tetangga dan warga sekampung dan
setanah air, skala regional, sampai seluruh masyarakat.
Dr.
Mushthafa As-Siba’i dalam Isytirakiyatul Islam membagi takaful sepuluh macam,
yaitu: takaful adabi (kultural), ilmi (intelektual), siyasi (politik), difa’i
(pembelaan), jana’i (hukum), akhlaqi (moral), iqtishadi (ekonomi), ’ibadi
(ritual spiritual), hadhari (peradaban) dan ma’asyi (tunjangan hidup) atau yang
sekarang dikenal dengan istilah ”Takaful ijtima’i” (solidaritas sosial).
Ukhuwah
(persaudaraan) dalam Islam meliputi seluruh golongan masyarakat, maka di sana
tidak ada segolongan manusia lebih tinggi daripada segolongan lainnya. Dalam
masyarakat Islam tidak ada kelas-kelas sosial. Di dalam masyarakat Islam memang
diakui adanya orang-orang kaya, akan tetapi mereka tidak membentuk golongan
atau kelas sosial tersendiri yang saling mewariskan status kaya. Melainkan
mereka hanyalah merupakan individu-individu yang berlaku pada mereka hukum
sejarah sebagaimana berlaku pada orang lain, karena si kaya setiap saat bisa
saja menjadi miskin, dan si miskin bisa juga tiba-tiba menjadi kaya.
Di
dalam masyarakat Islam memang ada golongan ulama agama, tetapi mereka tidak
membentuk suatu golongan atau kelas sosial eksklusif yang saling mewariskan
status atau jabatan tersebut, melainkan status itu selalu terbuka untuk siapa
saja yang berhasil memperoleh keahlian di bidang keilmuan dan kajian agama.
Status ulama sama sekali bukan merupakan status kependetaan seperti
jabatan-jabatan para pendeta dan uskup dalam agama selain Islam. Status ”ulama”
tidak lain adalah status pengajar, juru dakwah dan pemberi fatwa. Mereka itu
adalah ulama bukan pendeta. Dan para ulama sama sekali tidak akan berhak
menguasai dan memaksa ummat, tetapi mereka adalah sekedar pemberi peringatan.
C. Peranan Mubaligh dalam Merekatkan Ukhuwah Islamiyah
Berbicara
tentang persatuan Islam bukanlah hanya sekedar teori. Pembicaraan masalah ini
adalah pembicaraan tentang dasar wawasan pemahaman Islam. Pandangan kita
tentang Islam tidaklah benar jika tidak memahami konsep ukhuwah dalam Islam.
Ini menjadi tuntutan realita agar kondisi umat dapat berubah menjadi lebih
baik.
Umat
Islam di berbagai belahan dunia sedang menghadapi permusuhan dan persekongkolan
musuh Islam. Tidak ada senjata yang dapat menghadapi semua itu kecuali
persatuan dan kesatuan umat Islam. Hati dan perasaan kita berdarah menyaksikan
kehormatan dan harga diri umat Islam dikotori dan dinodai oleh Amerika dan
Inggris di penjara-penjara Irak. Muslimin lelaki dipenjara dalam keadaan
telanjang dikuasai gadis-gadis penjajah dan gadis-gadis pribumi pencari uang.
Semua itu terjadi saat pemimpin mereka dengki dan negara-negara Arab diam
seribu bahasa. Kita tidak mendapati penguasa yang tergerak hatinya melihat
kondisi sebagian umat Islam carut marut dinodai penjajah merebut segala
kehormatan mereka hingga nyawa pun harus melayang tanpa harapan. Bagaimana
mereka akan tergugah jika keberagaman mereka masih jauh dari tuntutan Islam.
Cukuplah Allah sebagai pembela kita semua!
Dan
Allah berkuasa terhadap urusanNya, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahuinya (Q.S Yusuf:21). Al-Quran ini adalah penjelasan yang sempurna bagi
manusia, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Ilah Yang Maha Esa
dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran (Q.S. Ibrahim:52).
Ash-shaff
yang bermakna barisan adalah salah satu surat dalam Al-Quran yang patut menjadi
bahan renungan bagi para dai. Surat ini merupakan Maa’alim fii Thariq (petunjuk
jalan) bagi aktivis dakwah. Surat ini walaupun pendek tetapi mencakup mencakup
semua yang dibutuhkan para da’i dari aqidah, akhlak, sejarah, ukhuwah, objek
dakwah, sampai pada puncak ajaran Islam, yaitu jihad di jalan Allah. Sehingga
dai wajib menghapalnya, mentadaburinya secara berulang-ulang dan mengamalkannya
dalam aktivitas dakwah mereka.
Nama
surat biasanya menjadi tema sentral dari substansi surat tersebut. Demikian
juga surat ash-shaff. Shaff adalah sesuatu yang sangat penting dan sangat
menentukan keberhasilan dalam dakwah, jihad dan pergerakan Islam. Bahkan
kesatuan shaff adalah persyaratan mutlak bagi kemenangan pergerakan dan dakwah
Islam. Tanpa adanya kesatuan shaff, maka akan menimbulkan dampak langsung bagi
kekalahan dan kegagalan dakwah dan perjuangan. Kisah perang uhud merupakan
salah satu bukti dari kekalahan perang disebabkan shaff yang berantakan,
padahal sebelumnya sudah berada diambang kemenangan.
Namun
demikian, kesatuan shaff merupakan proses panjang dari realisasi aktivis dakwah
terhadap nilai-nilai Islam. Kekuatan dan kekokohan shaff apalagi digambarkan
Al-Quran sebagai kalbunyaan al-marsuus (seperti bangunan yang kokoh) sangat
terkait dengan nilai yang paling fundamental dari aktivis harakah yaitu aqidah,
ukhuwah dan pemahaman yang mendalam terhadap fikrah Islam. Tanpa ada kekuatan
aqidah, ukhuwah dan pemahaman yang mendalam terhadap fikrah Islam, maka mustahil
kesatuan dan kekokohan shaff yang digambarkan Al-Quran dapat tercapai. Maka
marilah kita merenungkan apakah shaff dakwah kita sudah kokoh? Sudah bersatu
dan kuat kal bunyaan al marsuus?
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah telah menjelaskan bagaimana tingginya kedudukan ta’liful
qulub (ikatan hati) dalam Islam. Dan beliau begitu sungguh-sungguh
memeliharanya meskipun sebagai konsekuensinya harus meninggalkan mustahabbat.
Kenapa sampai demikian,? Karena dalam ta’liful qulub ada maslahat yang lebih
agung bagi Islam dan kaum muslimin. Dengannya bangunan Islam menjadi kuat dan
kokoh.Dan pemeliharaan ta’liful qulub ini merupakan manhaj Rasulullah saw.
dalam dakwahnya. Demikian juga dalam beliau berinteraksi dengan masyarakat
sekitarnya. Para sahabat juga telah memegang teguh prinsip ini sebagai bukti
iqtida’ (mengambil keteladanan) mereka kepada Rasulullah saw.
Ibnu taimiyah
menukilkan beberapa pendapat ulama seraya berkata:
”Seseorang
dianjurkan untuk mewujudkan ta’liful qulub meskipun –terkadang—dengan
meninggalkan mustahabbat. Hal ini karena ta’liful qulub dalam timbangan Islam
lebih membawa mashlahat. Sebagaimana Nabi saw menunda perbaikan Baitullah
karena dengan dibiarkannya akan ada mashlahat yang lebih besar. Sebagaimana
juga Ibnu mas’ud yang menolak shalat imam (sempurna rakaatnya) dalam safar
sebagaimana pendapat Utsman ra, akan tetapi ia Shalat sebagaimana dengan imam
di belakang utsman. Selanjutnya berkata: ”khilaf itu jelek”.Telah sepakat kedua
Imam bahwa perbedaan pendapat dalam masalah cabang aqidah tidak seyogyanya
melahirkan perpecahan. Tidak boleh perbedaan ini dijadikan alat untuk memfitnah
orang lain, akan tetapi hendaklah mulutnya ditahan, hatinya dihimpun dan
jiwanya dibersihkan.
Imam
Hasan al Banna sepakat dengan Syaikh Islam bahwa khilaf dalam masalah fiqih
tidak boleh melahirkan adanya perpecahan di kalangan kaum muslimin. Ia berkata
dalam rukun al fahm:
”Khilaf
fiqih dalam masalah furu’ seyogyanya tidak menjadi sebab perpecahan dan saling
membenci. Setiap mujtahid mendapatkan pahalanya. Meskipun demikian tidaklah
mengapa membahasnya secara ’ilmiyah dan di bawah naungan cinta karena Allah
serta bekerjasama mencapai kebenaran tanpa harus menyeretnya ke jurang
ta’asshub.” (Majmu’ah Rosail, hal 269)
Imam
Syahid Hasan al Banna menjelaskan tujuan dakwah adalah mewujudkan pribadi
muslim, rumah tangga muslim, masyarakat muslim dan pemerintah muslim, yaitu
pemerintah yang memimpin akan memimpin negeri-negeri Islam dan menghimpun
seluruh komunitas kaum muslimin, menegakkan kembali menara keagungan mereka,
mengembalikan kembali tanah air, bumi dan negeri mereka yang selama ini
terampas kemudian memanggul bendera jihad dan panji dakwah kepada Allah
sehingga dunia ini tunduk di bawah naungan Islam.
Kemudian ia menjelaskan
bekal-bekal yang harus dimiliki untuk mewujudkannya seraya berkata:
”Bekal
kami adalah para salaf (pendahulu) kami. Dan senjata yang pernah dipakai
pimpinan dan teladan kami, Muhammad Rasulullah saw. dan para sahabatnya untuk
bertempur dengan sedikit bilangan dan sederhananya perlengkapan serta besarnya
kesungguhan, itulah senjata yang akan kami pakai dalam rangka memperjuangkan
dunia ini dari mula.” (Tahta Rayatil Islam, hal 100,101)
”Maka
terhimpunlah kekuatan aqidah dengan kekuatan persatuan. Jadikanlah jamaah
mereka jamaah teladan yang kalimatnya senantiasa muncul di permukaan dan
seruannya selalu menang meskipun seluruh penghuni bumi menjegalnya.”
Adakah
yang dilakukan para da’i dahulu hingga kini lebih banyak dari itu? Mereka
menyeru dengan fikrah, menjelaskan kepada orang dan mendakwahkanya. Mereka
meyakininya, mereka bekerja dalam rangka mewujudkannya dan mereka berhimpun
disekelilingnya. Makin bertambahlah bilangan pendukungnya dan makin menggema
pula gaung fikrahnya hingga batas-batas ruang dan waktu.
”Itulah sunnatullah dan
tiada bagi sunnatullah itu pengganti.” (Majmu’ah Rosail, Da’watul Ikhwan fi
Thaurin Jadid, hal 123, 124)
Secara
garis besar, ada empat agenda yang harus dilaksanakan oleh para dai di dalam
menghadapi problematika umat ini. Agenda pertama adalah Siyaghah al-Bina
al-Ijtima’i. Perlu dipahami bahwa masyarakat bukan hanya terdiri dari kumpulan
manusia dan interaksi. Tetapi juga mencakup kumpulan institusi atau tatanan,
dengan beragam struktur dan fungsinya. Tatanan inilah yang menjadi wadah dan
salauran berbagai pola interaksi anggota-anggota masyarakat. Keluarga adalah
tatanan terkecil dan inti sebuah masyarakat. Terkecil, karena bisa dibentuk
dengan dua orang anggota masyarakat. Keluarga initi kemudian berkembang menjadi
keluarga besar (extended family). Keluarga menjadi institusi inti karena
ada-tidaknya masyarakat, hidup matinya dan maju mundurnya suatu masyarakat
sangat ditentukan oleh keberadaan keluarga-keluarga didalamnya. Itulah
sebabnya, Islam memberikan perhatian sangat besar terhadap keluarga.
Dalam
maratibul-’amal (tahapan langkah kerja) dakwah, pembangunan institusi keluarga
adalah langkah lanjutan pembentukan pribadi muslim dan lnagkah antara menuju
pembangunan masyarakat Islam. Dari sini, peran dakwah keluarga menjadi sangat
jelas. Keluarga menjadi sarana hidup untuk mengokohkan kepribadian kader (dai)
dan mencetak generasi baru dakwah. Juga menjadi sarana dakwah untuk membangun
mujtama’ Islami.
Problem
sosial masyarakat paling kritis saat ini adalah terkikisnya eksistensi
keluarga. Orang muda takut menikah karena ingin bebas, muda-mudi serumah tanpa
nikah karena tak ingin terikat, pasangan muda enggan melahirkan anak karena
mengganggu karier, keuangan dan kecantikan. Pasangan lama mulai retak karena
isu selingkuh, kawin-cerai jadi urusan ringan, single parent dan
single-parenthood menjadi mode, broken home dan loss generation menimpa
anak-anak dalam keluarga, dan setumpuk persoalan lainnya.
Dari
realitas ini, upaya merekonstruksi dan memperbaiki institusi keluarga di tengah
masyarakat menjadi prioritas dalam siyaghah al-bina al-ijtima’i. Dai harus
meluruskan kembali orientasi masyarakat tentang berkeluarga. Mengarahkan cara
pengelolaan keluarga sesuai tuntunan Islam. Membantu penyelesaian problem dan
konflik keluarga, mengokohkan hubungan dalam keluarga besar (extended family)
serta memberdayakan peran-peran keluarga di masyarakat dalam berbagai bidang.
Untuk
merealisasikan hal ini, perlu penyelesaian dalam uslub dan wasilah dakwah.
Keluarga adalah cermin kehidupan keseharian setiap orang. Maka diperlukan
pembahasaan nilai dan konsep yang normatif ke dalam bahasa komunikasi dakwah
yang sehari-hari, praktis dan lebih bernuansa non-formal. Pergaulan dakwah pada
akhirnya akan sangat menentukan keberhasilan agenda ini.
Dakwah
keluarga juga membutuhkan keluarga dai sebagai sarana. Bagaimana keluarga dai
menjadi usrah mitsaliyah (keluarga model) yang memiliki misdaquyah a’iliyah
(kredibilitas keluarga). Tentu saja bukan dalam perspektif material. Tetapi
bagaimana iklim dan suasana kehidupan keluarga dai memiliki keistimewaan yang
tidak dimiliki oleh keluarga-keluarga lain, walaupun mereka dilengkapi dengan
berbagai sarana material.
Manakala
keluarga mampu membangun tali hubungan baik dengan keluarga-keluarga di
masyarakat, berarti dai mulai memegang (dan selanjutnya mengendalikan) jantung
kehidupan masyarakat. Karena dari keluargalah muncul dan berkembang berbagai
institusi lain. Misalnya sekolah, masjid, pasar, pabrik, media massa, lembaga
kesenian, ormas dan lainnya.
Agenda
kedua adalah ikut memelihara asset kebaikan masyarakat. Di tengah kebodohan
terhadap Islam dan kerusakan budaya akibat serbuan budaya permisif barat,
masyarakat masih memiliki potensi dan aset kebaikan. Baik yang bersifat materil
maupun non materil.
Pada
masyarakat yang mengalami transisi kebudayaan, seringkali tidak mampu
memelihara kebaikannya secara efektif. Sehingga tatanan budayanya nyaris
berganti sama sekali dengan sesuatu yang baru. Atau ketika hal baru itu sesuatu
yang baik, mereka seringkali tidak mampu memeliharanya.
Realitas
sosial masyarakat kita sangat dekat dengan ini. Misalnya krisis adab pergaulan
antara anak dan orang tua, antara guru dan anak didik. Juga dalam kebiasaan
hidup semacam pengajian anak-anak pada sore hari di mushalla atau surau,
ibu-ibu yang menyenandungkan shalawat saat menidurkan anaknya sampai kepada
kisah-kisah kepahlawanan tokoh-tokoh Islam lokal.
Di
sini, dakwah memiliki kewajiban memelihara kebaikan yang ada di masyarakat.
Sehingga kita tidak membangun dari nol, dan akan mempercepat pembentukan
masyarakat Islami. Alhamdulillah, selama ini kita banyak menginspirasi dan
mensyiarkan berbagai bentuk budaya Islam. Berkembangnya senandung shalawat di
masyarakat tidak bisa dilepaskan dari semarak anasyid dakwah. Berkembangnya
mode busana muslimah yang trendi juga tak lepas dari syiar jilbab yang
diperjuangkan aktifis dakwah.
Yang
perlu dipahami, kebaikan masyarakat ada yang bersifat syar’i dan ada yang
sifatnya ’urf (adat kebiasaan). Budaya gotong royong, kerja bakti, siskamling,
arisan warga dan lain sebagainya adalah adat baik yang bisa dimanfaatkan untuk
kepentingan dakwah. Ini maslahat dari sisi budaya.
Dari
sisi material, masyarakat memiliki banyak kebaikan fisik yang tidak mampu
mereka pelihara. Masjid-masjid baru yang megah, sarana transportasi umum yang
vital, taman-taman kota dan lain sebagainya. Apabila dakwah ikut terlibat dalam
memelihara aset-aset kebaikan materil masyarakat semacam ini, maka akan
menghasilkan simpati dan dukungan besar dari masyarakat. Bahkan tidak mustahil,
dukungan finansial (ta’yid mali) akan diberikan oleh mereka.
Ketika
kerja dakwah dilakukan dalam bentuk ini, maka tersedia peluang lain bagi
dakwah. Yaitu pemanfaatan secara optimal alokasi dana-dana pembangunan
pemerintah daerah yang relatif besar jumlahnya. Pihak pemerintah akan senang
dan merasa lebih aman apabila dana-dana semacam itu dikelola dan dikerjasamakan
dengan lembaga-lembaga dakwah yang memiliki kredibilitas moral serta kemampuan
kerja profesional.
Agenda
ketiga, berperan aktif dan pro-aktif dalam memecahkan problematika masyarakat.
Ada pelajaran sejarah yang sangat berharga dari Sirah Nabawiyah. Ketika
kabilah-kabilah di Makkah nyaris konflik akibat tidak menemukan kesepakatan
dalam peletakan kembali Hajar Aswad, akhirnya Muhammad Saw tampil sebagai
”problem solver” bagi mereka. Masalah selesai tanpa konflik dan mereka semau
puas dengan solusi yang diberikan nabi. Apa hasilnya? Tokoh-tokoh dan
masyarakat Makkah menggelari nabi Muhammad sebagai ”Al-Amin”. Senuah pengakuan
dan penghargaan sosial yang sangat mahal.
Begitu
pula dengan Nabi Yusuf as. Dengan kecerdasan intelektual dan bimbingan Allah
Swt, beliau mampu memberikan solusi jitu terhadap ancaman krisis pangan panjang
di negeri Mesir. Alhasil, Yusuf as. mendapatkan posisi tawar yang kuat,
sehingga mendapat jatah di kursi pemerintahan.
Demikian
pula Nabi Musa as. Dorongan spontan untuk membantu putri-putri Syuaib yang
mengalami kesulitan dalam memberi minum gembalaannya, menghasilkan ganjaran
sosial yang luar biasa. Nabi Musa as. diambil sebagai menantu oleh nabi Syuaib
as.
Kisah-kisah
di atas menjelaskan urgensi dari keterlibatan untuk menyelesaikan berbagai
problem masyarakat. Yang diperlukan pertama kali adalah pengenalan lengkap atas
peta persoalan masyarakat di berbagai aspek. Tafa’ul maydani yang intens akan
menghasilkan wawasan dan pemahaman yang baik tentang hal ini. Bila saja seorang
dai bisa mendeskripsikan kondisi wilayah geografisnya dalam lingkup
se-kelurahan/desa, maka ia akan memiliki peluang sebagai unsur problem solver.
Kejelasan
agenda dan program dakwah –yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat- akan
menggiring dai untuk bisa menganalisis daya dukung dan daya topang dakwah untuk
merealisasikannya. Disinilah perencanaan strategis dilakukan di berbagai
tingkat struktur dan unit-unit organisasi dakwah. Program yang sesuai dengan
daya dukung dan daya topang dakwah, tentu diprioritaskan. Adapun yang belum
bisa dijalankan, perlu dilakukan langkah-lakngkah konsolidasi kekuatan dakwah.
Ini dilakukan dengan peningkatan kemampuan kerja di berbagai sisi dan dengan
memperluas tingkat partisipasi warga masyarakat.
Agenda
keempat yaitu Taqwiyah at-Tadhamun al-Ijtima’i. Salah satu ciri penting
keumatan adalah rasa ikatan sosialnya. Dalam konteks umat Islam, keterikatan
umat Islam bersifat ideologis yaitu kesatuan iman dan Islam. Ini merupakan
ikatan paling kuat dan mampu menggerakkan. Pada sisi lain, ajaran-ajaran Islam
sangat kaya dengan nilai dan perilaku yang mengarahklan pada terwujudnya rasa
solidaritas sosial dalam berbagai dimensinya.
Misalnya
keterikatan nasab-kekerabatan, hubungan ketetangaan (neighbourhood),
keterikatan antara muzakki dan mustahik, solidaritas antara yang kuat dan lemah
dan seterusnya. Bentuk-bentuk ikatan ini tidak hanya berlaku dalam lingkup
keluarga, lokal, kedaerahan, kebangsaan tapi juga meluas dalam ruang lingkup
internasional (’alamiyah).
Munculnya
berbagai problematika umat menjadi sarana efektif untuk menguatkan rasa
solidaritas sosial ini. Bahkan dalam pengalaman sejarahnya, isu-isu
internasional keumatan, sangat efektif dalam menggalang rasa persatuan umat,
mobilisasi dukungan dana sampai pada daya upaya jihad internasional.
Perang
Afganistan, Qadhiya palestina, Genocide di Bosnia, dan lainnya telah
menunjukkan bukti-bukti nyata. Di skala lokal, kasus Maluku, Poso, Aceh juga
tidak kalah efektif sebagai bahan perekat solidaritas umat. Di sinilah, dakwah
harus mulai secara lebih nyata, luas dan intensif mengelola berbagai persoalan
keumatan untuk membangun basis dukungan sosial umat.
Bukti
lain, ketika dakwah merespon berbagai bencana alam dalam aksi solidaritas
kemanusiaan muncul simpati luar biasa dari warga masayrakat terhadap dakwah. Bahkan
sunnahnya, dakwah senantiasa terdepan dalam merespon masalah ini.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Agenda
dakwah ini memang berat, tetapi dengan ta’liful qulub, bukanlah suatu hal yang
mustahil untuk terealisasi. Allah menyatakan bahwa ta’liful qulub bukan
merupakan otoritas manusia semata, rasul sekalipun tak mampu mewujudkan
ta’liful qulub itu tanpa dukungan mutlak dari Allah Swt. karena Allah yang
mampu mewujudkannya pada hati setiap hambaNya yang komitmen pada jalur dakwah.
(Al-Anfaal:63).
Kalau
tujuan aktifitas dakwah, langkah-langkah kerja, sistem pengelolaan sasaran
dakwah, sangat mungkin direncanakan dan diproses dalam pola manajerial oleh
tangan dan pikiran manusia. Tetapi persatuan hati dan kesatuan jiwa merupakan
rahmat Allah yang sangat spesifik dianugerahkan kepada hamba-hambaNya yang
dipilihNya, karena rahmat khusus itu hanya diberikan Allah kepada
hamba-hambaNya yang mukminin muttaqin (beriman dan bertakwa).
Ternyata
pertautan hati dan kesatuan motivasi yang menjadi impian setiap mukmin dan para
dai bukan sekedar ”makan tidak makan kumpul,” bukan pula sekedar ”rame-rame
ngerjain tugas.” Tetapi esensi pertautan hati itu sebenarnya merupakan efek dan
dampak dari ketaatan dan kepatuhan kita kepada tuntunan dan ajaranNya. Jika ada
taat, niscaya ada rahmat, selanjutnya akan ada hati yang terpatri dalam
rengkuhan ridhaNya.
Karenanya
peningkatan kualitas ibadah, perbaikan akhlak dan perilaku, menambah kedekatan
kepada Al-Quran, menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah dan amalan-amalan
senada, menjadi prioritas bagi keserasian kerja dakwah terstruktur dan
keharmonisan hubungan para dai yang tergabung dalam aktivitas dakwah.
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini kami berusaha dengan
semaksimal mungkin namun kami sadar meskipun demikian tetap terdapat suatu
kesalahan ataupun kekurangan, kami mohon saran dan masukan yang membangun agar
makalah kami bisa lebih baik lagi di masa mendatang.
ConversionConversion EmoticonEmoticon