Kebahagian keluarga
tidak akan dapat berlangsung secara baik tanpa adanya suatu pengertian dari
masing–masing invidu tersebut. Seorang pasangan suami istri pastilah menginginkan
kebahagiaan yang diidam–idamkan oleh kebanyakan orang. Dalam proses mendapatkan
kebahagiaan itu, pasangan suami istri mempunyai hak dan kewajibannya masing–masing.
Dalam hal ini hak dan kewajiban bagi masing–masing suami istri memegang peranan
penting dalam suatu rumah tangga.
Hingga saat ini
pandangan masyarakat terhadap perempuan masih saja buruk, perempuan cenderung
dipandang sebagai manusia kelas dua yang tidak layak memimpin dan menduduki
posisi-posisi kunci di berbagai ruang publik, perempuan masih cenderung
ditempatkan pada posisi-posisi domestik, seperti merawat rumah tangga mengasuh
anak dan memasak di dapur. Relasi laki-laki dan perempuan dalam ranah
keluargapun diskriminatif, laki-laki adalah pemimpin dan penaggungjawab rumah
tangga, sementara perempuan meskipun memiliki kemampuan intelektual selalu
berposisi sebagai “abdi” suami yang harus taat, sekalipun suami berlaku tidak
adil terhadapnya.
Perbedaan
laki-laki dan perempuan masih menyimpan beberapa masalah. Perbedaan anatomi
biologis antara keduanya cukup jelas, namun efek yang timbul akibat perbedaan
itu menimbulkan perdebatan, karena ternyata perbedaan jenis kelamin menimbulkan
seperangkat konsep budaya.
Kualitas individu laki-laki dan perempuan di
mata Allah tidak ada perbedaan. Amal dan prestasi keduanya sama-sama diakui
Allah, keduanya sama-sama berpotensi untuk memperoleh kehidupan duniawi yang
layak, dan kedunya mempunyai potensi yang sama untuk masuk surga.
حَدَّثَنَا
مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ
فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
تَابَعَهُ شُعْبَةُ
وَأَبُو حَمْزَةَ وَابْنُ دَاوُدَ وَأَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ
Telah
bercerita kepada kami Musaddad dari Abu> ‘Awa>nah al-A’mash dari Abi> H}azim dari Abi> Hurairah
r.a. berkata : Rasulullah saw bersabda : “Bila seorang suami mengajak istrinya
ke tempat tidur kemudian si istri enggan memenuhi ajakannya, sehingga suami
merasa kecewa hingga tertidur, maka sepanjang malam itu pula para malaikat akan
melaknati istri itu hingga datangnya waktu shubuh.”
Bahasa yang dipakai
dalam hadis ini perlu dicermati dengan seksama. Kata-kata ajakan suami dengan
menggunakan إِذَا دَعَا (dakwah) artinya
mengajak dengan cara yang baik, sopan, penuh bijaksana dan mengetahui benar
kondisi yang diajak seperti dalam Al Qur’an surat an-Nahl ayat 125.
Penolakan isteri atas
ajakan suami dengan menggunakan kata فَأَبَتْ . di
dalam kamus Arab-Indonesia kata فَأَبَتْ berasal dari
kata آب yang berarti غير راضٍ / tak sudi atau enggan. Di mana
kalau dikaitkan dengan bahasa yang digunakan oleh Allah dalam surat Al-Baqarah
ayat 34, ketika menggambarkan sikap iblis yang tidak mau sujud kepada Adam,
maka Allah juga menggunakan kata a>ba, yaitu
berbunyi a>ba wastakbara, artinya: ”ia enggan dan
takabur”.
Jadi, dari analisis
bahasa ini dapat disimpulkan bahwa laknat malaikat benar-benar terjadi pada
isteri jika ketika sang suami sudah mengajaknya dengan penuh kesopanan, tidak
memaksa dan dengan penuh pengertian dalam arti isteri tidak sedang dalam
keadaan uzur baik karena haid maupun alasan rasional lainnya, tetapi
sang isteri menolaknya dengan tanpa alasan. Tetapi laknat itu tidak akan
terjadi jika memang sang suami memaksa sang istri untuk melayani, karena punya
pemahaman bahwa dia/suami punya hak memaksa istri untuk memenuhi kebutuhan
seksual mereka.
Asba>bul Wuru>d hadith
dapat dilihat secara mikro dan makro. Mikro dalam arti situasi yang khusus yang
menyebabkan hadith itu ada. Sedangkan makro berarti menggali situasi dan
kondisi dan sosio-historisnya saat itu.
Hadith tentang
intervensi malaikat dalam hubungan seksual ini, belum ditemukan Asba>bul Wuru>d
mikronya, tetapi dimungkinkan ada kaitannya dengan kondisi sosio-historis dan
kultural saat itu atau dengan melihat asba>b al wuru>d makronya. Dari Asba>bul Wuru>d makro ada
kemungkinan hadith itu berkaitan dengan budaya pantang ghilah yang ada
di kalangan bangsa Arab sebelum itu. Ghilah adalah bersetubuh istri yang
sedang hamil atau menyusui. Mereka menganggap bahwa ghilah itu suatu
yang tabu untuk dilakukan. Budaya tersebut begitu kuat
di kalangan wanita Arab, sehingga Nabi pernah bermaksud untuk melarang ghilah.
Nabi mengurungkan maksudnya, setelah mengetahui bahwa ghilah yang
dilakukan ternyata tidak menimbulkan hal buruk bagi anak-anak yang dilahirkan.
Budaya pantang ghilah
bagi wanita jahiliyah tidak menjadi persoalan karena mereka boleh poligami
dengan tanpa ada batasan. Datangnya Islam membawa aturan tentang batasan
poligami dan dalam pelaksanaannya harus adil. Karena itu, jika pantang ghilah
tetap dipertahankan, sementara poligami tidak bebas maka hal ini sangat berat
bagi mereka. Jadi, kemungkinannya hadith tersebut untuk
mengatasi kesulitan-kesulitan yang dirasakan para lelaki Arab Muslim. Selain
itu juga untuk menghilangkan budaya pantang ghilah yang masih diikuti
oleh wanita Arab Muslim.
1.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي
عَدِيٍّ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ سُلَيْمَانَ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيءَ
لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
2.
و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَأَبُو
كُرَيْبٍ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ ح و حَدَّثَنِي أَبُو سَعِيدٍ
الْأَشَجُّ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ ح و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَاللَّفْظُ
لَهُ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ كُلُّهُمْ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَلَمْ تَأْتِهِ فَبَاتَ
غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
3.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو الرَّازِيُّ حَدَّثَنَا
جَرِيرٌ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا دَعَا الرَّجُلُ
امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَلَمْ تَأْتِهِ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا
لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
4.
حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ
وَوَكِيعٌ قَالَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ أَبِي حَازِمٍ الْأَشْجَعِيِّ عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ عَلَيْهِ فَبَاتَ
وَهُوَ غَضْبَانُ لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى يُصْبِحَ قَالَ وَكِيعٌ
عَلَيْهَا سَاخِطٌ
5.
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ قَالَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنِ
أَبِي حَازِمٍ عَنِ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ
فَبَاتَ وَهُوَ عَلَيْهَا سَاخِطٌ لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
6. Skema Sanad
7. Rangkaian skema sanad
8. Takhrij Hadith
a.
Abu> Da>ud
Kitab Nikah}
Nomor hadith : 1829
b. Ah}mad
Kitab Ba>qi musnad al-mukthiri>n
Nomor
hadith : 7159, 8224, 8652,
9294, 9664, 9835, 10313, 10524
c. Dara>mi
Kitab nikah
Nomor
hadith : 2131
d. Muslim
Kitab Nikah}
Nomor hadith : 2093
1.
Abu> H<{azim
Nama aslinya adalah Sulaima>n Maula> ‘Izah,
lahir di Kuffah dan wafat pada tahun 101 H. Menurut Ibnu H}anbal, Yah}ya bin
Mu’in serta Muh}ammad bin
Sa’ad beliau adalah thiqqah.
2.
Al- A’masy
Nama aslinya adalah Sulaima>n bin Mah}ran, nama panggilannya adalah Abu> Muh}ammad dan
Al-a’mash. Lahir di Kuffah dan wafat
pada tahun 147 H. Menurut Yah}ya bin
Mu’in serta Muh}ammad bin
Sa’ad beliau adalah thiqqah.
3.
Abu> ‘Awa>nah
Nama aslinya adalah Wad}ah bin ‘Abdullah Maula> Yazi>d bin ‘At}a’, sedangkan nama panggilannya adalah Abu> ‘Awa>nah. Lahir dan wafat di Bas}rah pada tahun 176 H. Menurut ‘Affan bin Muslim
kitabnya adalah shahih, sedangkan menurut Ibnu H}atim Arra>zi beliau shuduq
thiqqah.
4.
Musaddad
Nama aslinya adalah
Musaddad bin Musrahid bin Musrabil bin Mustauad sedangkan nama panggilannya
adalah Abu> al-h}asan. Lahir dan wafat di Bas}rah pada tahun 228 H. Menurut Ibnu H}anbal
beliau adalah thiqqah, menurut Yah}ya bin Mu’in beliau adalah thiqqah thiqqah, dan menurut An-nasa>’i beliau adalah thiqqah.
5.
Abu> Hurairah
Nama aslinya adalah
‘Abdu Rah}man bin Shakhra, jabatannya
adalah sahabat. Sedangkan nama panggilannya adalah Abu> Hurairah. Lahir dan wafat di Madinah pada tahun
57 H.
Mengenai hadis-hadis
tentang intervensi malaikat dalam hubungan seksual suami isteri, para ulama dan
ilmuwan berbeda dalam memaknainya. Ada kelompok yang menerima hadith itu apa
adanya secara tekstual, sedangkan kelompok yang lain mencoba untuk melihat dari
konteksnya. Perbedaan pandangan antara kelompok pertama dan kedua menurut
Mas’udi disebabkan oleh perbedaan konstruksi tentang
seksualitas itu sendiri. Mas’udi berpendapat bahwa walaupun
hadith tersebut
diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim yang dipandang sebagai perawi dan pentakhrij
hadith paling
terpercaya, namun tidak mungkin Rasul mensabdakan suatu ketidakadilan, apalagi
ketidakadilan suami terhadap isteri.[1]
Banyak ulama yang
menyarankan supaya hadis tersebut tidak difahami secara h}arfiah/tektual. Must}afa Muhammad ’Imarah
mengatakan bahwa laknat malaikat hanya terjadi jika penolakan isteri dilakukan
dengan tanpa alasan. Wahbah al-Zuhaili juga mengatakan bahwa laknat dalam hadis
tersebut juga harus diberi catatan: selagi isteri dalam keadaan longgar dan
tidak dalam keadaan ketakutan. Al-Syirazi mengatakan bahwa meskipun pada
dasarnya isteri tidak terangsang atau tidak mood, maka ia boleh
menawarnya atau menangguhkannya sampai batas tiga hari. Bagi isteri yang sedang
sakit, tidak wajib untuk melayani ajakan suami, sampai sakitnya hilang. Jika
tetap memaksa ia bertentangan dengan mu asyarah bi al-ma’ruf dengan
berbuat aniaya pada pihak yang semestinya dilindungi.
11. Grand Theori
Dalam kamus besar
bahasa Indonesia kata kemitraan berasal dari kata dasar mitra, yang berarti
teman, kawan kerja, pasangan kerja serta rekan. Kemitraan diartikan sebagai :
perihal hubungan (jalinan kerja sama) yg menunjukkan persamaan hak sebagai
mitra.[2]
Kemitrasejajaran dalam
keluarga adalah adanya sikap saling menghormati, saling membantu, saling menghargai,
dan saling mengisi atas dasar saling asih, asah, dan asuh antara suami dan
isteri. Dengan
demikian, kemitrasejajaran dalam keluarga mengandung arti adanya jalinan
hubungan yang harmonis antara suami dan isteri yang berdimensi kesetaraan.[3]
Pada hakekatnya hubungan
suami dan istri, laki-laki dan perempuan adalah hubungan kemitraan. Dari sini
dapat dimengerti mengapa ayat-ayat Al Qur’an menggambarkan hubungan laki-laki
dan perempuan, suami dan istri sebagai hubungan saling menyempurnakan yang
tidak dapat terpenuhi kecuali atas dasar kemitraan. Hal ini diungkapkan Kitab
Suci Al Qur’an dengan istilah “ba’dhukum min ba’dhihi” (sebagian kamu
(laki-laki) adalah sebahagian dari yang lain (perempuan). Istilah ini atau
semacamnya dikemukakan kitab suci Al Qur’an baik dalam konteks uraiannnya
tentang asal kejadian laki-laki dan perempuan (Q.S Ali Imran(3) : 195), maupun
dalam konteks hubungan suami istri (Q.S al-Nisa(4) : 21) serta kegiatan-kegiatan
sosial (Q.S al-Taubah(9) : 71). Dijelaskan pula dalam surat al-Baqarah ayat 187
tentang hubungan kemitraan suami istri merupakan hubungan timbal balik.[4]
Konsep kemitrasejajaran dapat dibagi menjadi :
1. Kemitrasejajaran
secara normatif
Kemitrasejajaran antara
pria dan wanita dalam ajaran Ilahi yang bersifat qath’i (fundamental)
secara normatif adalah setara, kendati ada perbedaan biologis. Adapun ajaran
yang bersifat juz’iyah (partikular) adalah ajaran yang bersifat
kontekstual, terkait dengan dimensi, ruang dan waktu. Ajaran-ajaran ini
bersifat danni (tida mutlak), bisa terjadi modifikasi atau tetap dipertahankan
sebagaimana bunyi harfiahnya sehingga terwujud nilai-nilai keadilan bagi orang
yang terkait, misalnya dalam kesaksian dan waris.
Kemitrasejajaran pria
dan wanita dalam kehidupan, baik lingkup keluarga maupun bermasyarakat
mengalami pergeseran dan perbedaan yang signifikan secara sosiologis
antropologis :
1. Nomad
(bangsa pengembara) termasuk masyarakat Arab ketika Al Qur’an diturunkan.
Ketika kaum pria pulang dari berburu, berperang dan lain sebagainya membawa
aset ekonomis dan politis. Sedangkan kaum wanita tidak ekonomis dan politis.
Situasi inilah mengantarkan adanya dominasi pria dan wanita.
2. Agraris.
Ketika secara ekonomis
suatu pekerjaan tidak memerlukan otot kuat, tetapi dikarenakan alam, maka
wanita lebih dominan atau setidaknya sejajar sehingga ada ungkapan ibu pertiwi.
Hal ini adalah refleksi sosiologis antropologis yang serba murah
kepadapenghuninya, seperti Dewi sri dan sebagainya.
3. Modern,
pada masyarakat ini tidak lagi pekerjaan didominasi oleh kekuatan nfisik, namun
oleh ketrampilan wanita di rumah dengan industri rumahan, komputer, kerja di
bank menjadi sama nilainya dengan kaum pria. Implikasinya pada aspek
pendidikan, ekonomi dan politik.[7]
3. Kepemimpinan
rumah tangga
Di dalam sabda Rasul
disebutkan bahwa suami adalah kepala keluarga, sedangkan istri juga disebut
kepemimpinan di rumah suaminya. Keduanya bertanggung jawab atas pelaksanaan
kepemimpinannya. Ini adalah pembagian tugas suami dan istri walau tidak
dibatasi secara ketat, dengan pengertian bahwa yang lain tidak mau tahu dengan
tugas-tugas lain selain tugasnya sendiri. Pengertian sabda Rasul tersebut
menegaskan adanya kemitraan dalam peran dan tugas masing-masing di dalam
pertanggung jawaban keluarga.
12. Substansi Tema Hadith
Rasululah
bersabda tentang tugas istri terhadap suami :
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا أَبُو
عَوَانَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ
عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
تَابَعَهُ شُعْبَةُ
وَأَبُو حَمْزَةَ وَابْنُ دَاوُدَ وَأَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ
Telah bercerita kepada kami Musaddad dari Abu> ‘Awa>nah al-A’mash dari Abi> H}azim dari Abi> Hurairah
r.a. berkata : Rasulullah saw bersabda : “Bila seorang suami mengajak istrinya
ke tempat tidur kemudian si istri enggan memenuhi ajakannya, sehingga suami
merasa kecewa hingga tertidur, maka sepanjang malam itu pula para malaikat akan
melaknati istri itu hingga datangnya waktu shubuh.”
Hadith
ini oleh kebanyakan masyarakat dipahami bahwa istri yang tidak mau melayani
suami akan dilaknat malaikat. Hadith ini tidak bisa disimpulkan begitu saja,
sebab, apabila suami mengajak istri untuk melakukan keinginannya, sedangkan
istri dalam keadaan tidak mengizinkan (karena lelah atau lainnya) dan suami
tetap memaksa, pada hakikatnya sumami tersebut telah melanggar prinsip mu’asyarah bil ma’ruf tersebut. Dan pada
hakikatnya kenikmatan dalam hubungan seksual suami istri merupakan sebagian
efek (hasil) hubungan kemitraan.
Salah satu cara untuk mencapai keluarga sakinah adalah isteri melayani
secara biologis. Jika ini telah terpenuhi, maka ketenangan batin dan lain sebagainya akan
tercapai. Jadi, kalau hal itu tidak dimaksimalkan oleh isteri, maka itu akan
mengancam perjalanan bahtera keluarga. Sehingga kata melaknat itu artinya
mungkin seorang isteri yang tidak berusaha maksimal dalam meladeni suami. Jadi,
laknat malaikat itu turun kepada isteri yang tidak melayani suami secara
maksimal.
1. Hak dan kewajiban antara suami dan
istri
Selama
ini, masih saja ada kesenjangan atau kerancuan daalm sebagian besar masyarakat
yang belum bisa menerima kemitrasejajaran antara suami dan istri. Pengertian
mitrasejajar tidak bisa dipahami dengan makna yang sama, persis dan serupa,
tetapi kemitrasejajaran yang dimaksud di sini adalah suatu relasi yang
berasaskan keadilan. Keadilan menurut Islam adalah terpenuhnya hak bagi yang
memiliki secara sah, yang jika dilihat pada sudut pandang orang lain adalah
kewajiban. Oleh karena itu, siapapun yang lebih banyak melakukan kewajiban atau
yang memikul kewajiban lebih besar, dialah yang memiliki hak lebih dibanding
yang lain. Sementara ini banyak anggapan bahwa beban suami atau beban produksi untuk
mencari nafkah lebuh berat dari istri (beban reproduksi : mengandung,
melahirkan dan menyusui). Oleh karena tidak ada yang tidak dapat dikatakan
lebih berbobot antara hak dan kewajibannya, tetapi seimbang dan sejajar.[8]
Dalam
kehidupan berkeluarga, agama Islam mempunyai falsafah yang khusus mengenai
hak-hak serta kewajiban pria dan wanita. Dalam Islam tidak ada perbedaan atau
perselisihan apakah pria dan wanita sama sebagai manusia atau tidak. Menurut
Islam wanita dan pria adalah sama-sama manusia dan keduanya mendapatkan hak dan
kewajiban yang sama dan sejajar. Kesejajaran hak dan kewajiban antara pria dan
wanita menempatkan keduanya pada kedudukan ytang sama dan persis. Menurut
Murtadha Munthahari, hal ini disebut dengan keseragaman dan keidentikan hak
wanita dan pria, bukan kesetaraan hak yang oleh Barat selalu disebut persamaan
hak.[9]
2. Dalam hubungan seksual
Di
kalangan masyarakat pada umumnya terdapat kecenderungan bahwa yang lebih banyak
menikmati hubungan seksual antara suami dan istri adalah suami, sementara pihak
istri hanya dianggap sebagai pelayan. Padahal, kecocokan seksual anatara suami
istri lebih berarti ketimbang mencari kepuasan nafsu. Lima belas abad yang
lampau agama Islam telah memberikan bimbungan untuk menciptakan kemitraan dalm hubungan
seksual suami istri tersebut. Nabi Muhammad saw sendiri mengatakan bahwa seks
termasuk salah satu bentuk amal dalam Islam.
Hubungan
seksual anatara suami dan istri merupakan hak dan kewajiban. Keduanya saling
merasakan, bukan hanya sepihak. Hubungan seksual bagi suami atau istri adalah
hak, sehingga merupakan kenikmatan baginya, sekaligus juga merupakan kewajiban,
yaitu melayani dan menyenangkan. Apabila hubungan seksual bagi istri hanya
merupakan kewajiban, maka tidak mustahil itu dirasakan sebagai beban atau
bahkan bisa jadi sebuah penderitaan. Sayangnya, banyak di antara kaum istri
yang menganggap hubungan ini hanya dirasakan sebagai kewajiban dan pembebnan
belaka, ketimbang sebagai hak dan penikmatan atau kebahagiaan. Kewajiban mu’asyarah bil ma’ruf dalam Al Qur’an surat al-nisa(4) : 18
termasuk juga kaitannya dengan hubungan seksual.[10]
13. Pesan Moral
Dengan melihat realitas seksualitas, maka penulis menyimpulkan bahwa kepuasan
seksualitas adalah hak dan kewajiban bersama, antara suami dan istri. Artinya
jika salah satu membutuhkan dan tidak tersalurkan maka sebenarnya pada saat itu
akan terjadi suasana yang tidak harmonis baik fisik maupun psikologis. Jika hal
tersebut dipahami dengan benar maka angka perceraian akan turun dan problematika
seksual akan berkurang.
14.
Penutup
Pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang
berbicara seputar perempuan perlu dikaji ulang agar didapatkan pemahaman yang
adil dan tidak diskriminatif terhadap perempuan.
Harus diakui bahwa agama Islam tidak merinci
pembahagian antara laki-laki dan perempuan. Islam hanya menetapkan tugas-tugas
pokok masing-masing, sambil menggariskan prinsip kesejajaran dan kemitraan atas
dasar musyawarah dan tolong menolong. Ketiadaan rincian ini, mengantar setiap
pasangan untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakatnya, serta
kondisi masing-masing keluarga.
Al Qur’an tidak menceritakan secara
kronologis mengenai asal-usul dan proses penciptaan laki-laki dan perempuan. AL
Qur’an juga tidak memberikan pembahasan lebih terperinci tentang pembagian
peran laki-laki dan perempuan. Namun tidak berarti Al Qur’an tidak mempunyai
wawasan tentang jender. Perspektif jender dalam al Qur’an mengacu kepada
semangat dan nilai-nilai universal. Adanya kecenderungan pemahaman bahwa
konsep-konsep Islam banyak memihak kepada jender laki-laki, belum tentu
mewakili sustansi ajaran Al Qur’an.[11]
Jadi, hadith tentang laknat
malaikat terhadap isteri yang menolak ajakan suami, ditangkap sebagai indikasi
bahwa seksualitas adalah kewajiban isteri hak suami masih perlu dilihat dan
diintegrasikan dengan al Qur’an yang berbicara tentang seksualitas. Sebagaimana
dikatakan oleh Shalahuddin bin Ah}mad al Adabi dalam bukunya
Minhaj Naqd al-Matn, bahwa jika mempelajari hadis maka ada keharusan
melihat al Qur’an sebagai rujukan. Ia mengatakan bahwa setiap hadis Nabi yang
menyalahi makna/semangat teks al Qur’an, maka hadis itu dinilai bukan sebagai
kata-kata Nabi. Selain merujuk pada al Qur’an yang tidak kalah pentingnya
adalah melihat hadis-hadis Nabi dan al Qur’an yang menunjukkan egaliter dalam
masalah seksual.
DAFTAR
PUSTAKA
Subhan, Zaitunah. Tafsir kebencian Studi bias
Gender dalam Tafsir Qur’an. Yogyakarta : LKiS. 1999.
Umar, Nasaruddin. Argumen
Kesetaraan Jender. Jakarta : Dian Rakyat. 2010.
Masdar Faried Mas’udi, Islam dan Hak-hak
Reproduksi Perempuan Dialog Fiqh Pemberdayaan . Bandung:
Mizan, 1997.
[1] Masdar
Faried Mas’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan Dialog Fiqh
Pemberdayaan (Bandung: Mizan, 1997)
[5] Sosiologis adalah ilmu yang untuk mengetahui segala perkembangan
yang terjadi di masyaraakat (struktir social, stratifikasi social, konflik
social, dan lain-lain).
[6] Antropologi adalah ilmu yang membahas hal-hal yang berkaitan dengan
manusia (warna, visi,, kepercayaan dan lain-lain).
[8]DR. Zaitunah Subhan. Tafsir kebencian Studi
bias Gender dalam Tafsir Qur’an. (Yogyakarta : LKiS. 1999). Hlm
132-133.
ConversionConversion EmoticonEmoticon