1. Pendahuluan
Meninggalnya nabi Muhammad
menimbulkan kevakuman pemimpin yang hampir tidak mungkin digantikan oleh orang
lain. Ia bukan hanya seorang pemimpin negara (sebagai pemimpin negara mungkin
ada orang yang bisa menggantikannya), tetapi juga seorang nabi,pembuat
undang-undang,guru spiritual dan pribadi yang mempunyai visi trasendental.[1]
Sangat sulit menggantikan Muhammad dalam kualitas-kualitas tersebut.[2] Nabi
Muhammad Saw tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan
beliau sebagai pemimpin politik umat islam setelah beliu wafat.Beliau nampaknya
menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya. Karena itulah,tidak lama setelah beliau
wafat, belum lagi jenazahnya dimakamkan,sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar
berkumpul di balai kota Bani Sa’idah, Madinah. Mereka memusyawarahkan siapa
yang akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup alot karena
masing-masing pihak, baik Muhajirin maupun Anshar, sama-sama merasa berhak
menjadi pemimpin umat Islam.
2. Pengertian Khalifah
Di dalam bukunya Fiqih
Siyasah, Mujar Ibnu Syarif memaparkan bahwa Khilafah adalah pemerintahan Islam
yang tidak dibatasi oleh teritorial,sehingga kekhalifahan Islam meliputi
berbagai suku dan bangsa.Pada intinya,khalifah merupakan kepemimpin umum yang
mengurusi agama dan kenegaraan sebagai wakil dari nabi SAW.
Dalam bahasa Ibn
Khaldun,kekhalifahan adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimun di
dunia untuk menegakkan hukum-hukum syari’at Islam dan memikul dakwah Islam ke
seluruh dunia.[3]
Dalam Al Qur’an terdapat
dua bentuk kata khalifah,yaitu dalam surat Al Baqarah:30 yang berarti : “ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
dan dalam surat shaad: 26 yang
berarti; “ Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa)
di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari
jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan
mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.
Menurut Watt,khalifah
dalam pengertian yang dipakai sebagai gelar Abu Bakar serta khulafaur rasyidin adalah bukanlah diambil
dari ayat di atas,melainkan pengertian yang diambil dari pemakaian sehari-hari.
Dalam bahasa arab,khalifah mempunyai makna dasar pengganti.[4]
Dalam bahasa Arab
kuno,terjemahan lazim untuk khalifah adalah pembantu atau wakil pelaksana. Jadi
makna ini menunjukkan kepada orang-orang yang diberi kekuasaan untuk melaksanakan sesuatu. Dari kata dasar
pengganti atau wakil atau pembantu inilah Khalifah Abu Bakar,Umar,Utsman serta
Ali akhirnya menyandang gelar sebagai kalifah al Rasyidin yang berarti mendapat
bimbingan yang benar,karena mereka melaksanakan tugas sebagai pengganti Nabi
Muhammad menjadi kepala negara Madinah al Munawwaroh dan sebnagai pembantu
rakyat dan wakil pelaksana mereka dalam mengelola negara.
Dalam pidato
penganugerahan sebagai khalifah,mereka mengadakan kontrak sosial dengan
masyarakat Islam,bahwa mereka akan bekerja sama dengan masyarakat yang
dipimpinnya.[5] Dengan demikian para
khalifah menggantikan kepemimpinan Muhammad dalam menduduki jabatan duniawi
sebagai pemimpin politik kepala negara dan jabatan ukhrawi sebagai pemimpin
agama,bukan menggantikan nabi dalam jabatan kerasulan. Karenan nabi tidak akan tergantikan
oleh siapapun dan tidak ada satu wahyu pun yang diturunkan setelah berakhirnya
kenabian Muhammad SAW.[6]
3. Sistem Politik Yang
Dijalankan Pada Masa Khulafaur Rasyidin
1. Abu Bakar Al Shidiq :
Politik Konsolidasi
Nama lengkapnya Abdullah ibn Abi Quhafaty at
Tamimi. Pada zaman sebelum Islam,ia bernama Abdul Ka’bah,kemudian oleh Nabi
diganti dengan Abdullah. Ia dijuluki pula dengan Abu Bakar (pelopor pagi hari)
sehingga nama ini yang banyak digunakan,karena ia menjadi pelopor masuk Islam
saat masyarakat Makkah masih dalam kegelapan Jahiliyyah. Gelar Al Shidiq
diperolehnya karena ia segera membenarkan Nabi dalam berbagai
peristiwa,terutama tentang peristiwa Isra’ Mi’raj.[7]Abu
Bakar adalah pilihan yang paling ideal,dialah yang semenjak awal telah
mendampingi nabi dan paling paham tentang risalah Nabi Muhammad SAW.[8]
Masa kekhalifahan Abu Bakar yang berlangsung selama
2 tahun,11-13 H (632-634 M0,diawali dengan pidato yang memberi komitmen bahwa
dirinya diangkat menjadi pemimpin umat Islam sebagai khalifah rasulillah,yaitu menggantikan
Rasul melanjutkan tugas-tugas kepemimpinan agama dan kepemimpinan
pemerintahan.Penegasan ini membawa implikasi bahwa Abu Bakar akan selalu
menjadikan nilai dasar Islam yang dibawa rasul sebagai dasar dari
kepemimpinannya.
Pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah,pada satu
sisi memberikan keuntungan tersendiri bagi berlanjutnya pemerintahan negara
Madinah,namun pada sisi lain munculnya penolakan orang-orang Arab,terutama
orang-orang yang baru masuk Islam.
Penentangan
terhadap negara Madinah yang dilakukan oleh suku-suklu Arab merupakan sebuah
realitas bangsa Arab yang sangat sulit menerima kebenaran,sangat sulit untuk
tunduk pada ajaran yang baru,yang tidak umum berkembang pada lingkungan mereka.
Gerakan oposisi dan penetangan mereka yang disebut
Riddah dibagi menjadi : (1). Gerakan melepas kesetiaan kepada ajaran
Islam,kembali kepada kepercayaan semula. Gerakan Riddah ini secara politik merupakan
pembangkangan terhadap lembaga kekhalifahan.[9]
(2). Gerakan menolak membayar zakat. Penolakan mereka membayar zakat disebabkan
pandangan salah mereka tentang zakat yang dikira pajak.(3). Gerakkan yang
mengangkat diri mereka menjadi nabi: seperti yang dilakukan Musailamah al
Khazzab (pendusta) yang menyatakan bahwa nabi telah mengangkat dirinya sebagai
mitra di dalam kenabian. Di Yaman muncul orang-orang yang mengaku nabi,yaitu
Aswad Ansi dan Sajjah ibn Haris.[10] (4).
Gerakan dari nsuku-suku pembangkang yang mengklaim bahwa Islam adalah agama
bangsa Arab semata. Mereka berusaha meraih kembali kemerdekaan.[11]
Melihat kondisi bangsa Arab dalam wilayah
kekuasaan Islam yang menolak terhadap kekhalifahan Abu Bakar,bahkan penolakan
terhadap Islam,maka orientasi politik yang dijalankannya pertama kali adalah melakukan
konsolidasi, mempersatukan masyarakat Arab dalam kekuasaannya dan dalam
keagamaan Islam serta tetap dalam menjalankan ajaran agama. Terhadap gerakan Riddah,kembali
ke ajaran nenek moyang mereka, Abu Bakar melancarkan operasi pembersihan
terhadap mereka dengan melakukan tekanan dan ajakan kembali ke jalan
Islam,namun ketika mereka menolak baru dilakukan peperangan. Begitu juga ketika
menghadapi orang yang tidak mau membayar zakat dan nabi-nabi palsu,tindakan Abu
Bakar adalah melakukan pembersihan,menumpas
serta memerangi mereka. Perang riddah melawan kemurtadan yang berjalan
alot berhasil dimenangkan oleh pemerintah Abu Bakar di bawah pimpinan Khalid
ibn Walid. Namun,di samping itu semua ,banyak dari penghafal Al Qur’an yang tewas
dalam perang tersebut. Melihat suasana ini Umar merasa cemas,dan mengusulkan
kepada Abu Bakar untuk membukukan Al Qur’an.Abu Bakar pada awalnya tidak
menyetujui usulan ini karena tidak ada otoritas dari Nabi untuk membukukan Al
Qur’an,namun kemudian ia setuju dan memberikan tugas tersebut kepada Zaid bin
Tsabit untuk menuliskannya.
Perilaku politik lain yang dijalankan Abu Bakar
adalah melakukan ekspansi. Ada dua ekspansi yang dilakukan pemerintahan Abu
Bakar,yaitu : (1). Ekspansi ke wilayah Persia di bawah pimpinan Khalid ibn
Walid. Dalam ekspansi ini (thn 634 M),pasukan Islam dapat menguasai dan
menaklukkan Hirah,sebuah kerajaan Arab yang loyal kepada Kisra di Persia.(2).
Ekspansi ke Romawi di bawah empat panglima perang,yaitu Ubaidah,Amr ibn
Ash,Yazid ibn Sofyan,dan Syurahbil. Ekspansi yang dilakukan oleh keempat panglima
perangnya ini dikuatkan lagi dengan kehadiran Khalid ibn Walid untuk menguasai
wilayah tersebut,karena kemenangan atasnya akan sangat besar artinya bagi
penguasaan daerah-daerah lain di barat dan utara.Akhirnya pasukan Islam di
bawah panglima Khalid dapat mengalahkan pasukan Romawi dalam peperangan
Ajnadain pada tahun 634 M.[12]
Ketika
pasukan Islam sedang menghadapi peperangan di Front Sirian
Damascus,Baalbek,Homs,Hama,Yerussalem,Mesir dan Mesopotamia, Abu Bakar
meninggal dunia,Senin 23 Agustus 634 M,setelah menderita sakit selama beberapa
hari. Dalam menjalankan politik pemerintahannya selama 2 tahun 3 bulan dan 11
hari,Abu Bakar mengedepankan aspek musyawarah untuk menyelesaikan berbagai persoalan,sehingga
secara internal kondisi pemerintahnnya stabil.
2. Umar ibn Al Khattab Al
faruq : Politik Ekspansi
Umar ibn Khattab ibn Nufail ibn Abd.Al Uzza
merupakan keturunan dari ‘Adi,salah satu suku bangsa Quraisy yang terpandang
mulia. Ia lahir lebih muda 4 tahun dari Rasulullah di Makkah. Umar dibesarkan
dalam lingkungan yang meskipun kecil dan tidak kaya,tapi menonjol di bidang
ilmu,karena itu kabilah ini sering dipercaya untuk menyelesaikan berbagai
perselisihan dalam suku Quraisy,seperti pernah dilakukan oleh kakenya Nufail
ibn al uzza yang sukses menyelesaikan persengketaan antara Abd al Muttahlib
dengan Hazid ibn Umayyah.[13]
Umar menjabat sebagai khalifah selama 10
tahun,dari tahun 13-23 H (634-644 M).
Dalam masa pemerintahannya Umar melakukan beberapa langkan politik.
Langkah politik ekspansi merupakan langkah yang paling populer selama pemerintahan
Umar. Langkah ini harus dilakukan karena pasukan Islam sudah menyebar ke
beberapa wilayah yang dikirim oleh pemerintahan Abu Bakar,mau tidak mau dia
harus meneruskan langkah tersebut. Umar sangat tahu sekali kondisi psikologi
pasukan Islam yang punya semangat dakwah yang sangat tinggi untuk menyerukan
ajaran-ajaran agama ke seluruh penjuru dunia,selain karena bangsa Arab (kaum
Badui) terbiasa dengan kehidupan berpindah-pindah (nomad) dan suka berperang.
Penyatuan antara kedua aspek dakwah,nomad dan suka berperang dari pasukan
Islam,akhirnya digunakan untuk melakukan ekspansi dan dengan cepat dapat
menundukkan wilayah kekuasaan Romawi dan Persia satu peratu.
Kemenangan besar yang didapat pasukan Islam dalam
peperangan dengan pasukan Romawi di Suriah dan Mesir serta pasukan Sasania di
Persia disebabkan pula oleh ; (1). Kondisi internal kedua kerajaan tersebut
yang secara militer telah lemah akibat peperangan di antara mereka,atau perang
melawan pasukan Islam sebelumnya. (2). Perilaku kedua kerajaan ini terhadap
rakyatnya. Kondisi ini mengakibatkan mereka bergabung dengan pasukan Islam
bahkan mereka lebih memilih untuk menerima penguasa baru dalam kekuasaan
pemerintahan Umar ibn Khattab.
Langkah politik kedua sebagai akibat dari
penyerbuan pasukan Islam ke daerah bekas kekuasaan Romawi dan Sasania adalah
mengkonsentrasikan pasukan Islam hanya digunakan untuk menjalankan penaklukan
dan untuk membentengi wilayah yang telah ditundukkan.[14]
Langkah politik ketiga yang dilakukan Umar ibn
Khattab adalah pasukan islam tidak diperbolehkan memaksakan warga taklukan
untuk memeluk agama Islam. Prinsip ini sudah pernah dijalankan pada masa
Rasulullah yang memberi izin kepada pemeluk Yahudi dan Kristen tetap berpegang
pada agamanya,dengan catatan mereka haruus membayar upeti. Gubernur yang
dikirim hanya ditugasi untuk menangani pengumpulan pajak dan upeti,mengawasi
distribusi pajak sebagai gaji tentara dan memimpin peperangan serta pelaksanaan
shalat jama’ah. Namun dalam perkembangannya ada perubahan dalam pengaturan
terkait dengan urusan sosial dan administrasi kenegaraan,meskipun dalam penerapan
antara satu propinsi dan lainnya berbeda. Di Iraq seluruh wilayah dikuasai dan
diurusi negara Khurasan, dikuasai oleh penguasa lokal,di Mesir menghapus
otonomi kekeyaan fiskal,dan kota mengatur afministrasi yang mandiri.[15]
Langkah politik keempat adalah didasari oleh
keberhasilan meluaskan jajahan yang membawa implikasi pada membanjirnya
harta-harta,baik rampasan,upeti,pajak dan lainnya. Untuk memudahkan urusan
administrasi dan keuangan,maka dalam pemerintahannya dibentuk lembaga-lembaga
dan dewan-dewan, seperti Bait al Maal (perbendaharaan negara),
pengadilan dan pengangkatan hakim,jawatan pajak,penjara,jawatan kepolisian juga
membuat aturan pembagian gaji kepada tentara dan tentara cadangan,pemberian
gaji kepada guru-guru,muadzin dan imam,pembebanan bea cukai,pemungutan pajak
atas kuda yang diperdagangkan,pungutan pajak atas orang-orang kristenbani
Tighlab sebagai ganti jizyah.[16]
Umar juga menempa mata uang dan tahun hijrah yang dimulai dari hijrah Rasul.[17]
Dalam keagamaan tokoh cerdas ini merupakan
mujtahid yang handal pada zamannya. Dia menghasilkan ijtihad dimana
pandangan-pandangannya berbeda dengan Nabi dalam beberapa hal,namun tidak
keluar dari komitmennya yang kuat terhadap Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Seperti peniadaan hukum potong tangan pada tindak pidana pencurian,jatuhnya
talak tiga sekaligus memasukkan lafal asshalatu khairun min al naum dalam
shalat shubuh,shalat tarawih dengan jumlah rakaat sebanyak 20 dan lain-lain.
Pemerintahan khalifah Umar yang berlangsung selama
10 tahun,6 bulan dan 40 hari,dapat dikatakan sebagai pemerintahan yang
demokratis,selain karena dia meletakkan prinsip-prinsip demokrasi dalam
pemerintahannya dengan jalan membangun jaringan pemerintahan sipil[18]
juga bersifat egaliter dengan menjamin persamaan hak dalam
bernegara,tidak membedakan antara atasan dan bawahan, penguasa dan rakyat.
Ketika akan menjalankan shalat shubuh, seorang budak berkebangsaan Persia
bernama Feros atau Abu Lu’lu’ah secara tiba-tiba menyerang Umar dan menikam
dengan pisau. Khalifah terluka yang sangat parah,dan setelah 3 hari dari
peristiwa penikaman tersebut,Umar wafat pada tanggal 1 Muharram 23 H.
3. Usman ibn Affan : Politik
Sentralistik dan Nepotisme
Ia bernama Usman bin Affan ibn Abdul al Ash ibn
Umayyah.dengan demikian ia berasal dari bani Umayyah,walaupun tidak dimasukkan
dalam dinasti Umayyah yang berkuasa setelah Khalifah Ali. Ia lahir di Makkah dari
trah bangsawan Makkah yang sangat dihormat,dua tahun setelah kelahiran Nabi
Muhammad atau seusia Abu Bakar. Usman merupakan sahabat nabi yang sangat kaya
raya tetapi berlaku sederhana dengan lebih menggunakan kekayaannya untuk
kejayaan Islam.
Usman menjabat sebagai khalifah selama 12
tahun,dari tahun 23-35 H (644-655 M), merupakan masa pemerintahan yang
terpanjang di antara khulafa al Rasyidin. Masa pemerintahan Usman terbagi atas
dua periode,yaitu : 6 tahun pertama merupakan pemerintahan yang baik,dan 6
tahun kedua merupakan masa pemerintahan yang buruk.[19]
Kebijakan politik yang dilakukan Usman adalah melanjutkan
ekspansi yang dilakukan Umar ke berbnagai wilayah di front barat,timur dan
utara. Dalam ekspansi ini dimotivasi oleh dakwah sekaligus memperluas kekuasaan,dimana
hasil rampasan, serta pajak dapat digunakan untuk meningkatkan kemajuan negara
serta kesejahteraan umat Islam.
Langkah
politik Usman yang lain adalah menyempurnakan pembagian kekuasaan pemerintah
dengan menekankan sistem pemerintahan terpusat (sentralisasi) dari seluruh
pendapatan propinsi dan menetapkan juru hitung safawi.[20]
Langkah ini merupakan langkah yang strategis untuk menata administrasi
kenegaraan karena makin luasnya wilayah kekuasaan dan makin banyak pegawai dan
pasukan yang mendapat gaji,bahkan pendapatan negara ia bagi-bagikan untuk
kepentingan kalangan migran orang Arab di daerah-daerah pendudukan yang
jumlahnya semakin meningkat. Kebijakan yang brilian inilah saling dimanfaatkan
antara Usman yang memang berasal dari aristokrat Makkah Bani Umayyah atau bani-bani
yang lain yang ada di Makkah,sehingga
dapat dikatakan ia terlalu terikat dengan kepentingan orang-orang Makkah.
Perilaku politik nepotisme dengan menempatkan Bani Umayyah menempati posisi
penting dalam pemerintahan Usman,dalam pandangan sahabat dan masyarakat Madinah
menjadi titik kelemahan. Maka muncullah kebencian rakyat yang pada beberapa
waktu kemudian meletuslah pembangkangan dan pemberontakan di beberapa negeri
yang dilakukan oleh orang-orang yang kecewa terhadap kebijakan khalifah.
Ketidak senangan
mereka terhadap Usman sebetulnya sudah sejak terpilihnya Usman menjadi
khalifah,terutama orang-orang yang menyokong Ali ibn Abi Thalib,yaitu
orang-orang Badui dan penduduk Mesir. Kebencian ini akhirnya menimbulkan
tuduhan terhadap Usman,bahwa ia telah membagikan harta negara kepada kerabat
khalifah seperti Hakam mendapat tanah Fadah,kemudian Abdullah diizinkan
mengambil sendiri 1/5 dari harta rampasan perang di Tripoli. Tuduhan yang lain
adalah bahwa Usman tidak bertindak atas perilaku Marwan yang mengambil dan
menyalahgunakan harta Baitul Maal dan Mu’awiyah mengambil alih tanah negara di
Suriah.[21] Padahal Utsman Radhiallahu ‘anhu yang
paling berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan
mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan,
jembatan-jembatan, masjid-masjid dan memperluas masjid Nabi di Madinah.
Sebagai seorang kepala agama, Khalifah Usman melakukan usaha memperkenalkan edisi Al Qur’an standar dengan membuat kodifikasi baru dengan meninjau ulang shuhuf-shuhuf yang telah ditulis oleh Zaid bin Tsabit pada masa pemerintahan Abu Bakar. Alasan pengkodifikasian ini karena Usman mendengar perbedaan soal qiro’ah Al qur’an di antara penduduk yang menimbulkan perselisihan. Atas usul Hudzaifah ibn al Yaman,maka Usman menyuruh Zaid ibn Tsabit dan Zaid ibn Ash dengan menjadikan shuhuf yang ada pada Hafsah menjadi pedoman penulisan.Setelah ditulis naskah tersebut, maka pengkodifikasikan telah selesai dan naskah tersebut disebut dengan mushaf imam (Usmani). Kemudian disuruh menyalin empat naskah dengan pedoman naskah asli (yang di tangan Usman) dimana nantinya akan dikirim ke Makkah, Madinah, Basrah dan Suriah. Dan naskah yang lain harus dibakar termasuk shuhuf yang ada pada Hafsah.[22] Namun maksud baik ini ditentang oleh sebagian kelompok muslim yang merasa merekalah yang paling berhak atasAl Qur’an. Usman tidak mempunyai otoritas sama sekali untuk menetapkan edisi Al Qur’an tersebut.[23]
Sebagai seorang kepala agama, Khalifah Usman melakukan usaha memperkenalkan edisi Al Qur’an standar dengan membuat kodifikasi baru dengan meninjau ulang shuhuf-shuhuf yang telah ditulis oleh Zaid bin Tsabit pada masa pemerintahan Abu Bakar. Alasan pengkodifikasian ini karena Usman mendengar perbedaan soal qiro’ah Al qur’an di antara penduduk yang menimbulkan perselisihan. Atas usul Hudzaifah ibn al Yaman,maka Usman menyuruh Zaid ibn Tsabit dan Zaid ibn Ash dengan menjadikan shuhuf yang ada pada Hafsah menjadi pedoman penulisan.Setelah ditulis naskah tersebut, maka pengkodifikasikan telah selesai dan naskah tersebut disebut dengan mushaf imam (Usmani). Kemudian disuruh menyalin empat naskah dengan pedoman naskah asli (yang di tangan Usman) dimana nantinya akan dikirim ke Makkah, Madinah, Basrah dan Suriah. Dan naskah yang lain harus dibakar termasuk shuhuf yang ada pada Hafsah.[22] Namun maksud baik ini ditentang oleh sebagian kelompok muslim yang merasa merekalah yang paling berhak atasAl Qur’an. Usman tidak mempunyai otoritas sama sekali untuk menetapkan edisi Al Qur’an tersebut.[23]
Kebencian terhadap
Khalifah Usman makin membara di seluruh wilayah kekuasaan Islam. Di Kufah dan
Basrah sebagai basis pendukung kekuatan Ali pun muncul ketidaksenangan terhadap
khalifah. Mereka diprakarsai oleh Thalhah dan Zubair menentang gubernur yang
diangkat oleh khalifah.
Tepat pada saat khalifah sedang membaca Al Qur’an
tanggal 17 Juni 656 H (35 M) Usman
meninggal dunia karena dibunuh pemberontak. Pemerintahan khalifah Usman masih
dapat disebut sebagai pemerintahan demokratis,karena khalifah tidak pernah
menunjukkan sifat refresif, bahkan dia sangat baik dan shaleh,seluruh waktunya
banyak digunakan untuk ibadah. Namun perilaku bawahannya yang tidak
dapatdiawasi karena faktor usia yang telah tua dan lemah pada Usman inilah yang
menjadikan pemerintahannya berkurang demokrasinya.[24]
4. Ali bin Abi Thalib
Ia bernama Ali ibn Abi Thalib ibn Abdul Muthalib,
sepupu Nabi Muhammad dan menantunya karena ia menikah dengan Fatimah binti
Muhammad. Ali merupakan sahabat nabi semenjak anak-anak. Ketika berumur 12
tahun telah masuk Islam dan mengakui risalah. Sebagai anak Abu Thalib yang
secara materi sangat kekurangan dan ditempa dengan tauladan ayahnya yang
berakhlak mulia dan terhormat,telah membentuk Ali mempunyai watak yang lebih
mementingkan aspek spiritual sehingga sepanjang sejarahnya Ali lebih bnerkosentrasi
pada perjuangan menegakkan Islam,keagamaan dan keilmuan tanpa menoleh
sedikitpun pada aspek duniawi.
Masa pemerintahannya berlangsung selama 5
tahun,dari 36-41 H (656-661 M), diwarnai oleh timbulnya banyak kekacauan dan
pemberontakan-pemberontakan.Pengangkatannya sebagai khalifah tidak dilaksanakan
sebagaimana yang telah dialami oleh khalifah-khalifah sebelumnya,hal ini
disebabkan karena Usman tidak sempat menunjuk pengganti atau membentuk dewan
formatur untuk memilih khalifah. Ali diangkat melalui proses pembai’atan
langsung yang dilakukan oleh masyarakat Islam di Madinah,secara terbuka di
masjid termasuk dihadiri kaum Muhajirin dan Anshar.[25]
Menurut Munawir Syadzali,setelah pembunuhan Usman,kota
Madinah dalam kondisi yang sepi dan
kosong karena banyak ditinggal oleh para sahabat ke wilayah yang baru
ditaklukkan. Kondisi ini diperparah oleh tidak amannya kota,sehingga keamanan
dikendalikan oleh Ghafiqy ibn Harb selama 5 hari. Hanya sedikit para sahabat
yang masih tinggal di kota Madinah dan tidak semuanya mendukung Ali,seperti
Sa’ad ibn Abi Waqqash dan Abdullah ibn Umar. Mu’awiyah Amr ibn ‘Ash serta
Aisyah menganggap tidak sah dengan pembai’atan Ali sebagai khalifah karena
tidak semua ahli al halli wa al aqdi
hadir saat pembai’atannya. Ia menggugat
kepemimpinan Ali dengan alasan : (1). Ali harus bertanggung jawab atas
terbunuhnya Usman (2). Hak pemilihan khalifah ada pada seluruh wilayah
negara,bukan monopoli orang-orang Madinah.
Ali mempunyai watak damn pribadi sendiri,suka
berterus terang,tegas bertindak dan tak suka berminyak air. Ia tak takut akan celaan
siapapun dalam menjalankan kebenaran. Setalah dibai’atnya Ali sebagai
khalifah,dikeluarkannya 2 buah ketetapan : (1). Memecat kepala-kepala daerah
angkatan Usman. Dikirimnya kepala daerah baru yang akan menggantikan. Semua
kepala daerah angkatan Ali itu ter[paksa kembali dsaja ke Madinah,karena tak
dapat memasuki daerah yang ditetapkannya.[26]
(2). Mengambil kembali tanah-tanah yang dibagi-bagikan Usman kepada
famili-famili dan kaum kerabatnya tanpa jalan yangsah. Demikian juga hibah atau
pemberian Usman kepada siapapun yang tiada beralasan,diambil Ali kembali.
Terhadap para penentangnya seperti Aisyah, Talhah serta Zubair yang
menuntut supaya Ali segera menghukum pembunuh Usman,Ali mencoba menjalankan
politik secara damai. Hal ini dilakukannya untuk menghindari pertikaian di
antara masyarakat Islam. Namun ketika kompromi ini diajukan kepada Aisyah,
Thalhah serta Zubair,ditolak. Maka peperangan tidak bisa dihindarkan lagi.
Terjadilah perang Jamal (unta),karena Aisyah janda nabi menaiki unta,pada tahun
36 H. Dalam peperangan ini,pasukan Ali yang didukung masyarakat
Anshar,masyarakat Kufah dan Mesir,dapat memenangkan peperangan. Aisyah
tertawanvdan dikembalikan ke Madinah,sedangkan Thalhah dan Zubair terbunuh
ketika hendak melarikan diri bersama 20.000 kaum muslim yang gugur.
Adapun terhadap
Mu’awiyah ibn Abi Sufyan yang tidak mengakui kekhalifahannya dan menolak
meletakkan jabatannya sebagai gubernur di Suriah,Ali melakukan tindakan
penyerangan terhadap penguasa Suriah itu. Peperangan terjadi di Shiffin,dekat
Sungai Euphrat padatahun 37 H. Dalam peperangan ini sebenarnya pasukan
Mu’awiyah telah terdesak kalah,dengan terbunuhnya 7.00 orang. Namun dalam
kondisi yang terdesak ini,Mu’awiyah yang mempunyai siasat lihai,dengan
mengangkat Al Qur’an sebagai tanda meminta damai dengan cara tahkim
(arbitrase). Dalam tahkim diusulkan agar Ali dan Mu’awiyah meletakkan jabatan
yang diklaim mereka. Karena Musa al Asyar sebagai wakil dari Ali lebih tua
daripada Amr ibn Ash wakil Mu’awiyah,maka dia lebih dahulu menyampaikan pidato.
Namun ketika Amr ibn Ash menaiki mimbar,bukannya yang diucapkan tentang
penurunan Mu’awiyah sebagaimana kesepakatan semula,tetapi mengucapkan
penerimaan turunnya Ali sebagai khalifah dan mengangkat Mu’awiyah sebagai
khalifah. Peristiwa tahkim yang semula diharapkan dapat mengakhiri peperangan
di antara kaum Muslim,namun kenyataanyya dengan penurunan Ali dan menaikkan
Mu’awiyah membuat kedudukan Mu’awiyah sejajar dengan khalifah Ali dan menyulut
pertikaian baru,dengan munculnya kelompok khawarij,orang-orang yang keluar dari
barisan Ali dan menegaskan ketidak setujuannya terhadap tahkim,bahkan berusaha
membunuh Ali dan Mu’awiyah,karena keduanya tidak berhukum pada hukum Allah.
Dengan demikian
umat Islam terpecah lagi ke dalam 4 golongan,yaitu Mu’awiyah, Syi’ah (Ali),
Khawarij serta kelompok yang tidak ikut dalam pertikaian politik dan lebih concern
pada kesalehan dan ilmu. Dan dengan keluaenya Khawarij dari mendukung Ali,maka menjadi
lemahlah kekuatan Ali,sehingga Mu’awiyah dapat memperluas pengaruh dan
kekuasaannya bukan saja di Suriah,tapi juga di Mesir. Hal ini membuat Ali menyetujui perjanjian
dengan Mu’awiyah yang mengakui kekuasaan atas Suriah dan Mesir. Ketika berita
itu didengar oleh khawarij,seorang anggota Khawarij yang sangat fanatik bernama
Ibnu Muljam dapat membunuh Ali pada tanggal 17 Ramadhan 40 H (661 M).[27] Setelah Ali terbunuh,kedudukan khalifah
dijabat oleh Hasan selama beberapa bulan sampai terjadinya perjanjian damai
yang pada intinya menyerahkan kekuasaan khilafah pada Mu’awiyah. Perjanjian itu
dibuat dengan harapan dapat mempersatukan kembali umat Islam dalam satu
kepemimpinan politik. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 41 H (661 M) dan
disebut dengan ‘Am Jama’ah (tahun persatuan)[28].
4. Penutup
Perlu dijelaskan
bahwa khilafah yang timbul setelahwafatnya rasulullah tidak berbentuk
kerajaan,dalam arti kepala negara dipilih dan tidak didasarkan turun-temurun.
Tampilnya Abu Bakar al-Shidiq sebagai
khalifah (11 H/632 vM-13 H/634 M) merupakan awal terbentuknya pemerintahan
model khilafah dalam sejarah Islam yang berpusat di Madinah.
Sepeninggal Abu Bakar al-Shidiq,Umar
bin al-Khattab mendapat kepercayaan sebagai khalifah kedua. Tampilnya Umar
sebagai khalifah kedua (13 H/634 M-23 H/644 M) tidak melalui pemilihan dalam
satu forum musyawarah terbuka,tetapi melalui penunjukkan atau wasiat oleh
pendahulunya.
Sementara itu,Usman bin Affan menjadi
khalifah ketiga (23 H/644M- 35H/656M) dipilih oleh sekelompok orang yang
terdiri dari 6 orang yang ditentukan Umar sebelum wafat. Pasca wafatnya Umar,keenam
orang tersebut berkumpul untuk bermusyawarah. Atas inisiatif Abdurrahman ibn
Auf,terjadilah permusyawarahan yang akhirnya sepakat memilih Usman bin Affan
senagai pengganti Umar bin Khattab dengan pertimbangan lebih tua dan lebih
lunak sifatnya. Pasca pembunuhan Usman oleh para pemberontak,Ali bin Abi Thalib
diangkat menjadi khalifah melalui pemilihan. Tetapi proses pemilihan itu
menurut Munawir Syadzali jauh dari sempurna.
Semasa kepemimpinannya Ali memerintah selama 5 tahun (35 H/656 M-40
H/660 M) dan di akhir kepemimpinannya ia pun terbunuh oleh para pemberontak.
Ciri yang menonjol
dari sisitem pemerintahan yang mereka jalankan terletak pada mekanisme
musyawarah bukan dari turun temurun. Tidak ada satupun dari 4 khalifah tersebut
yang menurunkan kekuasannya pada sanak
kerabatnya. Musyawarah menjadi cara yang ditempuh dalam menjalankan kekuasaan sesuai
dengan apa yang diajarkan Rasulullah SAW.
DAFTAR PUSTAKA
Engineer, Asghar Ali. Asal-Usul dan
Perkembangan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.1999.
Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam.
Jakarta : Al Husna.1992.
Watt, William montgemory. Butir-butir Hikmah
Sejarah Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada.2002.
Engineer, Asghar Ali. Devolusi Negara Islam.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2003.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta
: Raja Grafindo Persada.2003.
Zada, Mujar ibnu Syarif Khamami. Fiqh Siyasah
Doktrin dan Pemikiran politik Islam. Jakarta : Erlangga. 2008.
Taufiqurrahman. Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam. Surabaya :
Pustaka Islamika.2003.
[2] Asghar Ali Engineer. Asal-usul dan Perkembangan Islam.(Yogyakarta:Pustaka
Pelajar.1999).hlm.213.
[6] Taufiqurrahman. Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam. (Surabaya:Pustaka
Islamika.2003).hlm.60.
[8] Hassan Ibrahim Hassan, Tarikh Al Islam I, (Kairo : Maktabah Al Misriyyah 1979),205. Lihat juga padaSyalabi.Sejarah
dan kebudayaan Islam I, Jakarta,jaya Murni,226.
[16] Disarikan dari Syibl, Nu’mani, Al Farouq, Lifeat Omar the Great Second
Caliph of Islam, Terjemahan Kadiriyo Djojosuwarno, (Baqndung, Pustaka 1981),
555-557.
[22] M. Hasbi Al shidiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al Qur’an,(Yogyakarta : Bulan Bintrang
1986), 87-89.
[23] Ira M. Lapidus 84, lihat juga dalam
Ahmad Al Beladzuri, Futuh Al Buldan V, (Kairo :Maktabah, Al Mishriyah tt),62
[24] Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam, (Surabaya : Pustaka Islamika 2003),81.
[25] Coba anda lihat dan bandingkan dengan Yusuf Musa,121-131. Ada suatu Riwayat yang
menyatakan bahwa pembaiatan Ali diawali dengan pemberontakan Usman yang
dipimpin oleh Abdullah bin Saba’. Datang ke rumah Ali memintanya untuk jadi
kholifah. Pada mulanya Ali menolak,namun mereka tetap memaksa dan akhirnya Ali menerima
dengan syarat harus dilakukan di masjid.baca Abdul Aziz Thaba, 105-106.
ConversionConversion EmoticonEmoticon