A. Pendahuluan
Hukum Islam adalah
salah satu aspek ajaran Islam yang menempati posisi penting dalam pandangan
umat islam, karena ia merupakan manisfestasi paling konkret dari hukum Islam
sebagai sebuah agama. Sedemikian pentingnya hukum Islam dalam skema doctrinal-Islam,
sehingga seorang orientalis, Joseph Schacht, menilai bahwa “mustahil memahami
Islam tanpa memahami hukum Islam”.[1]
Jika dilihat dari
perspektif historisnya, hukum Islam pada awalnya merupakan suatu kekuatan yang
dinamis dan kreatif. Hal ini dapat dilihat dari munculnya sejumlah madzab hukum
yang responsif terhadap tantangan historisnya masing-masing dan memiliki corak
sendiri-sendiri, sesuai dengan sosio cultural dan politis dimana madzab hukum
itu mengambil tempat untuk tumbuh dan berkembang.
Dalam tata hukum
nasional-Indonesia UU No. 1/1974 dan Impres No. 1/1991 merupakan peraturan yang
memuat nilai-nilai hukum Islam, bahkan KHI merupakan fiqih Indonesia yang
sepenuhnya memuat materi hukum keperdataan Islam (Perkawinan, kewarisan, dan
perwakafan), dalam hukum Islam perbedaan agama dan keluarga Islam kontemporer
mengalami banyak perkembangan pemikiran, bolehnya ahli waris yang beda agama
mendapatkan harta warisan dan lain sebagainya, dalam makalah ini fokusnya hanya
pada pernikahan beda agama.
Undang-undang No.1
tahun 1974 tentang perkawinan merupakan undang-undang yang dijadikan dalam
menyelasaikan permasalahan yang terkait dengan perkawinan atau nikah, talakm
cerai dan rujuk, yang ditandatangani oleh pengesahannya pada tanggal 2 januari
1974 oleh Presiden Soeharto, agar undang-undang perkawinan dapat dilaksanakan
dengan seksama, pemerintahan mengeluarkan peraturan pemerintahan (PP) No. 1975.
Undang-undang ini merupakan hasil usaha untuk menciptakan hukum nasional dan
merupakan hasil unifikasi hukum yang menghormati adanya variasi berdasarkan
agama. Unifikasi ini bertujuan untuk melengkapi segala yang hukumnya diatur
dalam agama tersebut.[2] Pengertian perkawinan ini menurut hukum adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan
untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha Esa.[3]
B. Pengertian
Krena masalah ini
adalah masalah hukum, untuk mengetahui pengertian tentang pernikahan beda
agama, perlu kiranya kita mengetahui istilah-istilah dalam konteks hukum yang
berlaku di Negara kita.
Sebelum
diundangkannya Undang-unndang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, di Indonesia
pernah berlaku peraturan hukum antar golongan tentang pernikahan campuran,
yaitu Regeling op de Gemengde Hewelijken (GHR) atau peraturan tentang
perkawinan campuran sebagaimana dimuat dalam staatblad 1989 Nomor 158.[4]
Pasal 1 dari
peraturan tentang perkawinan campuran itu dinyatakan bahwa yang dinamakan
perkawinan campuran adalah perkawinan orang-orang di Indonesia yang tunduk
kepada hukum yang berlainan. Terhadap pasal ini ada tiga pandangan dari para
ahli hukum mengenai perkawinan antar agama, sebagaimana diungkapkan oleh Prof.
Dr. Sudargo Gautama sebagai berikut:
1.
Perkawinan
campuran antar agama dan antar tempat termasuk di bawah GHR. [5]
2. Perkawinan antar agama dan antar tempat tidak termasuk di bawah
GHR.
3.
Hanya
perkawinan antar agama yang termasuk di bawah GHR.
Kemudian dengan berlakunya UU. Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974,
seperti disebut pada pasal 66, maka semua ketentuan-ketentuan perkawinan
terdahulu sepanjang telah diatur dalam undang-undang tersebut dinyatakan tidak
berlaku.[6]
1.
Pemahaman
tentang pasal demi pasal dari UU No. 1/1974, khususnya yang berkaitan dengan
perkawinan beda agama, di kalangan para ahli dan praktisi hukum, dapat dijumpai
tiga pendapat:
2. Perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1974
ayat (1): “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaan itu,” dan pasal-8 huruf (f): “Perkawainan di larang antara
dua orang yang mempunyai hubungan oleh agama atau peraturan lain yang berlaku,
dilarang kawin.
3. Perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan karena
telah tercakup dalam perkawinan campuran, sebagaimana termaktub dalam pasal 57
undang-undang ini dan pelaksanaanya dilakukan menurut tata cara yang diatur
oleh pasal 66 UU No. 1/1974.
4.
Perkawinan
antar beragama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karenanya
sesuai dengan 66 UU No.1/1974, maka peraturan-peraturan lama dapat diberlakukan.
C. Perkawinan
Beda Agama dalam perspektif hukum Islam
Perkawinan beda Agama adalah suatu realita
bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, ras, dan agama serta kaya
akan budaya. Heteroginitas masyarakat itu sangat memungkinkan terjadinya perkawinan
antar suku, bahkan antar agama. Namun hal terakir ini bagi masyarakat Indonesia
merupakan hal yang sangat peka, bahkan pada tahun delapan puluhan sebagaimana
dikutip oleh Prof. Dr. Nassruddin Baidan dari majalah “tempo” sangat merisaukan
sebagian muslim di Indonesia.[7]
Persoalan politik sosial yang sangat
kompleks tersebut tentunya harus didekati melalui berbagai disiplin ilmu,
sehingga persoalan-persoalan tersebut dapat terjawab dengan benar dan jelas
serta memberi kepuasan terhadap masyarakat, khususnya mengenai pembahasan di
atas.
Pembahasan tentang perkawinan, khususnya
perkawinan antara muslim dengan non muslim dalam perspektif hukum Islam,
tentunya berangkat dari penelusuran terhadap sumber pokok ajaran (Al-Qur’an dan
Al-Hadits) serta mencermati pekembangan hukum Islam tentang hal tersebut.
Untuk mempersingkat pembahasan dalam
makalah ini, maka paling tidak ada dua golongan yang disebutkan dalam Al-Qur’an
yaitu golongan musrik dan golongan ahli kitab yang sekaligus menjadi dasar
pernikahan antar muslim dengan mereka.[8] Namun yang menjadi persoalan adalah
siapakah musrikin?dan siapah ahli kitab? Tampaknya para ulama sangat bervariasi
dan tidak ada kata sepakat dalam menetapkan kedua istilah tersebut. Ada yang
memasukkan ahli kitab ke dalam kategori musyrik dan ada pula yang membedakan
keduanya secara tegas. Ibn Umar misalnya, ia menganut yang pertama sebagaimana
yang ditegaskannya:
“saya
tidak melihat syirik yang lebih berat dari perkataan wanita itu bahwa tuhannya
ialah Isa”[9]
Sedangkan Syeikh Mahmud Syaltut, Muhammad
Abduh, Rasyid Ridha dan yang sependapat dengan mereka membedakan dengan jelas
antar musyrik dengan ahli kitab.[10]
Qatadah, seorang
mufassir dari kalangan tabi’in, sebagaimana dikutip oleh Rasyid Ridha,
bependapat bahwa yang dimaksud musyrik dalam ayat 221 surat Al-Baqarah adalah
penyembah berhala pada saat Al-Qur’an turun. Oleh karena itu ayat tersebut
tidak tegas melarang menikah dengan orang musyrik selain bangsa Arab, seperti
Cina, Konhucu, Budha, dan lain-lain.[11] Lebih tegas lagi Rasyid Ridha dengan
mendasarkan pada ayat 24 Surat Al-Fatir, ayat 7 surat Ar-Ra’d, ayat 16 surat Al
Hadid, dan 78 Surat Al-Mukmin, ia mengangnggap bahwa majusi, shabiin sebenarnya
dulunya mereka mempunyai kitab dan nabi, namun karena masanya sudah terlalu
lama dan jarak yang terlalu jauh dengan nabinya, maka kitab aslinya tidak dapat
diketahui.[12] Pendapat inilah yang dijadikan ketentuan oleh Negara Pakistan dan
Turki.
Disamping itu, ada
pendapat lain dari ulama syafi’iyah yang menegaskan bahwa yang dimaksud ahli
kitab yang halal dinikahi adalah mereka yang memeluk agama nenek moyangnya Nabi
Muhammad diutus dan setelah itu tidak dapat dikatakan lagi ahli kitab.[13]
Adapun secara
konkret, Al-Jaziri dalam karyanya: kitab al-fiqh ala madzabil al-arba’ah
membedakan golongan ahli kitab menjadi tiga golongan, yaitu:
1.
Golongan yang
tidak berkitab samawi atau semacam kitab samawi, mereka adalah penyembah
berhala.
2. Golongan yang mempunyai kitab samawi, mereka adalah orang-orang
majusi (penyembah bintang)
3.
Golongan yang
mengimani kitab sucinya sebgai kitab samawi, mereka adalah yahudi dan Nasrani.[14]
Sementara itu, Yusuf Qardhawi membagi lima kategori, yaitu:musyrik,
muhlid, murtad, bahai, dan ahli kitab. Golongan pertama dan kedua yang disebut
al-Jaziri adalah termasuk musyrik, sedang muhlid, murtad, dan bahai oleh yusuf
Qardhawi digolongkan Musyrik.
Dalam hal larangan pernikahan antara orang muslim dengan orang
mussyrik para ulama sepakat tentang keharamanya, hal ini memang secara tegas
dinyatakan dalam Al-Qur’an. Namun dalam hal pernikahan antara pria muslim
dengan wanita ahli kitab, dengan pernikahan seorang wanita muslimah dengan pria
ahli kitab.
D. Pernikahan antara Pria Muslim dengan Wanita ahli Kitab.
Berbeda dengan
larangan menikahi perempuan musyrik, penyembah berhala, matahari, bintang, dan
etis, murtad. Al-Qur’an menghalalkan bagi laki-laki muslim menikahi perempuan
dari kalangan ahli kitab. Tentang dibolehkannya laki-laki Muslim menikahi
perempuan dari ahli Kitab, Allah berfirman:
الْيَوْمَ أُحِلَّ
لَكُمُ الطَّيِّبٰتُ ۖ وَطَعَامُ الَّذِينَ
أُوتُوا۟ الْكِتٰبَ حِلٌّ
لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ
لَّهُمْ ۖ وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ
الْمُؤْمِنٰتِ وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ
الَّذِينَ أُوتُوا۟ الْكِتٰبَ
مِن قَبْلِكُمْ إِذَآ
ءَاتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ
مُسٰفِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِىٓ أَخْدَانٍ
ۗ وَمَن يَكْفُرْ
بِالْإِيمٰنِ فَقَدْ حَبِطَ
عَمَلُهُۥ وَهُوَ فِى
الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِينَ
Pada hari ini
dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi
Al-kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan
dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga keheormatan.[15] Diantara wanita-wanita
yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di dantara orang-orang
yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu membayar mas kawin mereka dengan
maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima
hukum-hukum Islam) maka hapusl;ah amalanya dan ia di hari kiamat termasuk
orang-orang merugi. (Al-Maidah:5)
Ibrahim Hosen
mengelompokkan pendapat para ulama mengenai pernikahan tersebut, dalam tiga
kelompok, yakni ada yang menyatakan haram, ada yang mengatakan menghalalkan,
ada yang mengatakan halal tetapi siasah tidak menghendaki.[16]
Pertama, adalah
kelompok yang membolehkan pernikahan antara pria muslim dengan wanita ahli
kitab, yakni pendapat jumhur ulama. Mereka mendasarkan pada dalil Al-Qur’an
Surat Al-Maidah ayat 5 yang didukung dengan praktik. Pada zaman nabi ada beberapa
sahabat yang melakukannya.
Kedua adalah
kelompok yang mengharamkannya seperti yang termuka dari kalangan sahabat yaitu
Ibn Umar. Pendapat ini diikuti oleh kalangan Syiah Imamiyah. Apapun dasar dari
pendapat ini adalah pemahaman terhadap Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 221
yaitu:
وَلَا تَنكِحُوا۟ الْمُشْرِكٰتِ حَتَّىٰ
يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ
مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ
أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا
تُنكِحُوا۟ الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ
يُؤْمِنُوا۟ ۚ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ
خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ
وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُو۟لٰٓئِكَ يَدْعُونَ
إِلَى النَّارِ ۖ وَاللّٰـهُ يَدْعُوٓا۟ إِلَى
الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِۦ ۖ وَيُبَيِّنُ ءَايٰتِهِۦ لِلنَّاسِ
لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Dan janganlah
kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun ia menarik
hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum meraka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari
orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
Adapun praktik para sahabat menurut pendapat ini adalah waktu itu Islam baru
sedikit.[17]
ketiga adalah golongan yang berpendirian bahwa
menikahi perempuan ahli kitab sah hukumnya tetapi siasah tidak menghendakinya.
Pendapat ini didasarkan pada riwayat Umar Ibn Khathab memerintah kepada sahabat
yang beristri ahli kitab
Ketika Umar
meminta kepada para sahabat yang beristri ahli kitab untuk menceraikannya, lalu
para sahabat mematuhinya kecuali Huzaifah. Maka Umar memerintahkan untuk kedua
kalinya kepada Huzaifah “ceraikan dia”, lalu Huzaifah berkata kepada Umar
“Maukah menjadi saksi bahwa menikahi perempuan ahli kitab itu adalah haram?”
Umar menjawab “Ia akan menjadi fitnah, ceraikanlah”, kemudian Huzaifah
mengulangi perintah tersebut, namun dijawab Umar “Ia adalah fitnah” akhirnya
Umar berkata “Sesungguhnya aku tahu ia adalah fitnah tetapi ia halal bagikui.
Dan setelah Huzaifah meninggalkan Umar, barulah ia metalaq istrinya. Kemudian
ada sahabat yang bertanya kepadanya “mengapa engkau tidak mentalaq istrimu
ketika diperintah oleh Umar? “ jawab huzaifah “karena aku tidak ingin diketahui
orang bahwa aku melakukan hal yang tidak layak”[18]
Dalam
hal ini , Al Jazir berpendapat bahwa hukum perkawinan antara muslim dengan ahli
kitab hukumnya adalah mubah, akan tetapi jadi persoalan bagi suami terlebih
setelah punya anak, sebab kemudahan itu tidak bersifat mutlak, tapi muqayyad.[19]
Lebih tagas lagi,
sayyid Sabiq bahwa hukum antara laki-laki mukmin dengan perempuan kitabiyah,
meskipun Jaiz makruh karena suami tersebut tidak terjamin bebas dari fitnah
istri. Terlebih dengan kitabiyah Harbiyah.[20] Demikian juga dengan Yusuf Qardhawi,
berpendapat bahwa kebolehan nikah dengan wanita kitabiyyah tidak mutlaq, tetapi
terikat dengan qayid-qayid yang perlu diperhatikan, yaitu:
1.
Kitabiyah itu
benar-benar berpergang pada ajaran samawi, tidak etis dan tidak murtad
2. Kitabiyah itu mukhsannah (memelihara diri sendiri dari perbuatan
zina)
3. Ia tidak Kitabiyah harfiyah, sedang kitabiyah dzimmiyah hukumnya
boleh
4.
Dipastikan
tidak terjadi “fitnah” baik dalam kehidupan rumah tangga terlebih dalam
kehidupan sosial masyarakat. Sehingga semakin tinggi kemungkinan terjadi
mafsadah, maka semakin besar tingkat larangan dan keharaman.
D. Pernikahan Wanita Muslimah dengan Pria Ahli Kitab
Jika mayoritas
ulama membolehkan pria muslim menikahi wanita ahli kitab, maka dalam kasus
wanita muslimah dinikahi oleh para ahli kitab dan umumnya non muslim, mereka
sepakat mengharamkannya baik dari kalangan ahli kitab atau etis.[21] Di dalam ayat
5 al-maidah , Allah hanya menegaskan “makananmu halal bagi mereka” dan tidak
ditegaskannya “wanita-wanita mu halal bagi mereka”. Penegas teks tersbut,
sebgaimana dijelaskan oleh as-Shabuni, dapat dijadikan indikator bahwa hukum
kedua kasus itu tidak sama, artinya dalam makanan mereka boleh saling memberi
dan menerima serta masing-masing boleh menekan keduanya. Namun dalam kasus
menikahnya wanita-wanita muslimah dengan non muslim lebih urgen ketimbang
dengan masalah “makana” serta memeberi dampak yang lebih luas, sehingga tidak
ada hubungan antar keduanya.
Demikian juga
Al-Maraghi dalam mengomentari kasus ini, menjelaskan bahwa menikahi wanita
muslimah dengan laki-laki non muslim itu hukumnya haram, berdasarkan sunnah
Nabi, Ijma’ umat. Rahasia larangan ini dalah karena istri tidak punya wewenang
seperti suami, bahkan keyakinan berusaha memaksa istri untuk menukar
keimanannya sesuai dengan keyakinan suami.
Tambahan lagi,
seorang yang non muslim dari kalangan ahli kitab atau bukan, tidak mengakui
islam si istri yang muslimah, tidak pula mengakui nabi Muhammad Saw dan kitab
suci Al-Qur’an yang dibawanya. Oleh sebab itu, adakalanya ia menghina agama
istrinya, meremehkan akidahnya, dan melecehkan Nabinya. Sementara itu, si istri
meyakini agamanya sendiri lebih baik dari agama suaminya, dan akidahnya lebih
lurus dari pada akidah suaminya. Dan tidaklah mungkin ia akan terus menerus
bersabar menghadapi penghinaan dan pelecehan, shingga pada saatnya ia mungkin
akan memberontak, membela agamanya dan membalas penghinaan sang suami dengan
penghinaan yang sama. Atau mungkin jika kepribadiannya yang lemah akan tunduk
pada suaminya dalam ketakutan dan kebingungan, dan jika fondasi akidahnya
kurang kuat, boleh jadi ia akan keluar dari agama Islam dan mengikuti agama
suaminya.
Sebaliknya jika
seorang pria muslim menikah dengan perempuan ahli kitab, Ia akan mengakui agama
si Istri (meski berbeda dengan agamanya sendiri), bahkan menjadi keimanan
kepada Nabinya dan kitab sucinya sebagai bagian integral dari aspek keimananya
sendiri, yang tidak akan sempurna kecuali dengan itu.
E. Kesimpulan
Dari uraian dia
atas dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa kasus pernikahan beda agama ini,
terjadi khilafiyah antara para ulama’. Baik pernikahan anatar pria muslim
dengan wanita ahli kitab, wanita muslimah dengan pria ahli kitab mereka tidak
ada kata sepakat. Namun untuk pernikahanya seorang wanita muslimah dengan pria
non-muslim para ulama sepakat akan keharamanya. Karena mudharatnya lebih besar
dari pada maslakhahnya.
Dalam hal ini
meskipun penikahan beda agama di perbolehkan dan telah diatur oleh undang-undang, namun para ulama’ tetap
tidak menyukai (memakhruhkan) pernikahan seperti itu.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an Tarjamah
Schacht, Jhosep. An Introduction to Islamic Law. (London:The
Chalendon Press.1971)
Tim Penyusun Ensiklopedia. Ensiklopedia hukum islam. (Jakarta
:Cet. Ichiat van Hoeve)
Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia
(Jakarta:PT. Ichtiar Baru Van Hauve. 1989)
Al-Habsi, Muhammad Bagir. Fiqih Praktis al-Qur;an, As-sunnah,
dan pendapat para ulama’ (Bandung:Mizan Anggota IKAPI)
Abubakar, Zainal Abidin. Kumpulan Peraturan perundanga undangan
dalam lingkungan peradilan agama (Jakarta: Pustaka Pelajar. 2001)
Rusli dan R. Tama. Perkawinan beda agama dan masalahnya (Bandung:
Shantika Dharma.1984)
Baidan, Nasrudin. Tafsir Maudhu’i, solusi Al-Qur’an atas masalah
kontemporer (Jogjakarta: Pustaka Pelajar.2001)
Ali Al-Shabuni, Muhammad. Tafsir Ayat Al-Ahkam. (Makkah:
Dar-Al-Qur’an. 1972)
Al-sayis, Ali. Tafsir ayat Al-Ahkam. (Mesir:matba’ah
Muhammad ali Sabih wa auladah. 1953)
Al-Jaziri. Kitab Al-Fiqih ala mazabil Ar’ba’ah. (Beirut: Dar
Ihya al Turas Al-Arabi. 1996)
Husen, Ibrahim. Fiqih perbandingan (Jakarta: yayasan Ihya’
Ulumuddin Indonesia. 1971)
Qudaman, Ibnu. Al-Mughni. ( Riyad: Al-Maktabah Al- Riyad
al-hadisah)
Sabiq, Sayyid. Fiqih Al-sunnah, (Beirut: dar kitab al-arabi.
1973)
[1] Jhosep Schacht. An Introduction to Islamic Law. (London:The
Chalendon Press.1971). hal. 1
[2] Tim Penyusun Ensiklopedia. Ensiklopedia hukum islam. (Jakarta :Cet. Ichiat van Hoeve). hal. 1864
[3] Undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Bab 1 pasal 1
[4] Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia (Jakarta:PT. Ichtiar Baru Van Hauve. 1989) hal. 744-788
[5] Teks pasal 66 UU No: Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan undang-undang ini, maka dengan berlakunya undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam kitab undang-undang hukum perdata (Bluenggerlijk Wrtbuek), Ordinasi perkawinan indonesia Kristen (Huwelij ordinatic christen Indonesia S 1933 Nomor 74), dan peraturan perkawinan campuran (regeling op de gemengde Huwelijken bS. 1898 No. 1580. dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku. Lihat H Zainal Abidin Abubakar, SH, Kumpulan peraturan peundang-undangan dalam lingkungan peradilan agama (jakarta:Pustaka PElajar. 2001). Hal. 139
[6] Rusli dan R. Tama. Perkawinan beda agama dan masalahnya (Bandung: Shantika Dharma.1984).
[7] Prof. Dr. Nasrudin Baidan. Tafsir Maudhu’i, solusi Al-Qur’an atas masalah kontemporer (Jogjakarta: Pustaka Pelajar.2001). hal. 23
[8] Qs. Al-baqarah ayat 221 dan Qs. Al-Maidah ayat 5
[9] Muhammad Ali Al-Shabuni. Tafsir Ayat Al-Ahkam. (Makkah: Dar-Al-Qur’an. 1972)hal. 536
[10] Lihat Muhammad Syatul, Al-Fatwa, (Kairo:Dar Al-Kalam,II). hal. 270-280 dan Rasyid Ridha. Tafsir Al-Manar (Mesir;Matba'ah al-Qahirah, 1380). hal. 186-187
[11] Lihat Rasyid Ridha. Tafsir Al-Manar, VI. hal. 190
[12] Ibid. hal 186-187
[13] Ali Al-sayis. Tafsir ayat Al-Ahkam. (Mesir:matba’ah Muhammad ali Sabih wa auladah. 1953). hal. 168
[14] Al-Jaziri. Kitab Al-Fiqih ala mazabil Ar’ba’ah. (Beirut: Dar Ihya al Turas Al-Arabi. 1996),IV. hal. 190
[15] ada yang mengatakan wanita-wanita yang merdeka
[16] Prof. Kh. Ibrahim Husen. Fiqih perbandingan (Jakarta: yayasan Ihya’ Ulumuddin Indonesia. 1971). hal. 201-204
[17] Ibid. hal. 202
[18] Ibnu Qudaman. Al-Mughni. ( Riyad: Al-Maktabah Al- Riyad al-hadisah).VI. hal. 590
[19] Al Jaziri, Op.cit. hal. 76
[20] Sabiq, Sayyid. Fiqih Al-sunnah, (Beirut: dar kitab al-arabi. 1973). hal. 101
[21] Muhammad Bagir Al-Habsi. Fiqh praktis menurut Al-Qur'an, As-Sunnah dan pendapat para ulama'. (Bandung: Mizan Anggota IKAPI). hal. 122
[2] Tim Penyusun Ensiklopedia. Ensiklopedia hukum islam. (Jakarta :Cet. Ichiat van Hoeve). hal. 1864
[3] Undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Bab 1 pasal 1
[4] Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia (Jakarta:PT. Ichtiar Baru Van Hauve. 1989) hal. 744-788
[5] Teks pasal 66 UU No: Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan undang-undang ini, maka dengan berlakunya undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam kitab undang-undang hukum perdata (Bluenggerlijk Wrtbuek), Ordinasi perkawinan indonesia Kristen (Huwelij ordinatic christen Indonesia S 1933 Nomor 74), dan peraturan perkawinan campuran (regeling op de gemengde Huwelijken bS. 1898 No. 1580. dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku. Lihat H Zainal Abidin Abubakar, SH, Kumpulan peraturan peundang-undangan dalam lingkungan peradilan agama (jakarta:Pustaka PElajar. 2001). Hal. 139
[6] Rusli dan R. Tama. Perkawinan beda agama dan masalahnya (Bandung: Shantika Dharma.1984).
[7] Prof. Dr. Nasrudin Baidan. Tafsir Maudhu’i, solusi Al-Qur’an atas masalah kontemporer (Jogjakarta: Pustaka Pelajar.2001). hal. 23
[8] Qs. Al-baqarah ayat 221 dan Qs. Al-Maidah ayat 5
[9] Muhammad Ali Al-Shabuni. Tafsir Ayat Al-Ahkam. (Makkah: Dar-Al-Qur’an. 1972)hal. 536
[10] Lihat Muhammad Syatul, Al-Fatwa, (Kairo:Dar Al-Kalam,II). hal. 270-280 dan Rasyid Ridha. Tafsir Al-Manar (Mesir;Matba'ah al-Qahirah, 1380). hal. 186-187
[11] Lihat Rasyid Ridha. Tafsir Al-Manar, VI. hal. 190
[12] Ibid. hal 186-187
[13] Ali Al-sayis. Tafsir ayat Al-Ahkam. (Mesir:matba’ah Muhammad ali Sabih wa auladah. 1953). hal. 168
[14] Al-Jaziri. Kitab Al-Fiqih ala mazabil Ar’ba’ah. (Beirut: Dar Ihya al Turas Al-Arabi. 1996),IV. hal. 190
[15] ada yang mengatakan wanita-wanita yang merdeka
[16] Prof. Kh. Ibrahim Husen. Fiqih perbandingan (Jakarta: yayasan Ihya’ Ulumuddin Indonesia. 1971). hal. 201-204
[17] Ibid. hal. 202
[18] Ibnu Qudaman. Al-Mughni. ( Riyad: Al-Maktabah Al- Riyad al-hadisah).VI. hal. 590
[19] Al Jaziri, Op.cit. hal. 76
[20] Sabiq, Sayyid. Fiqih Al-sunnah, (Beirut: dar kitab al-arabi. 1973). hal. 101
[21] Muhammad Bagir Al-Habsi. Fiqh praktis menurut Al-Qur'an, As-Sunnah dan pendapat para ulama'. (Bandung: Mizan Anggota IKAPI). hal. 122
ConversionConversion EmoticonEmoticon